“Hanya satu hal yang pasti tentang kopi: di mana pun ia tumbuh, dijual, diseduh, dan dikonsumsi, akan selalu ada ramai kontroversi, opini yang tegas, dan percakapan-percakapan yang baik.” Begitu ujar Mark Pendergrast, seorang penulis buku Amerika mengenai sejarah minuman berkafein.
Pendergrast memang benar. Kopi sekarang ini sudah hampir berubah menjadi kata kerja, bukan sekadar kata benda. Ketika kebanyakan orang berkata hendak pergi ‘ngopi’, maka berarti ia tak sekadar hendak meminum kopi. Ada pula aktivitas berkumpul dan diskusi yang mengiringinya. Bahkan kadang, ‘ngopi’ tak harus meminum kopi. Menikmati teh manis, pisang goreng, dan bercengkrama di beranda rumah, bisa disebut ‘ngopi’ juga oleh beberapa kalangan.
Apapun santapannya, saya selalu menikmati ngopi. Seperti senja yang saya alami di Desa Sumber Agung, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sepulang saya dan beberapa kawan mengikuti rangkaian acara, saya memesan segelas kopi khas di warung. Sengaja saya minta kopi yang tak terlalu manis, supaya citarasanya tak tenggelam. Tak berapa lama, kopi hitam pun tersaji.
Kehangatan menyelimuti kami yang diskusi wara-wiri tentang banyak hal—dari teori politik hingga ular siluman. Mungkin seperti itu pula suasana kedai kopi tahun 1450-an ketika kedai-kedai kopi mulai populer di Turki. Para politikus, filsuf, seniman, pendongeng, pelajar, wisatawan, hingga pedagang ngopi sambil menonton pertunjukan musik. Mereka juga kerap mendiskusikan soal-soal politik, sosial, dan keagamaan sambil minum kopi.
Saya menyeruput kopi dalam gelas yang kepulan asapnya masih kentara di udara. Lamat-lamat saya cecap rasa pahit di bibir. Kopi itu warna hitam pekat dan nihil aroma fruity seperti kopi gunung Jawa Barat yang biasa saya minum. Namun kopi jenis baru itu cocok di lidah. Saya pun mengalihkan diri dari lawan bicara sejenak sambil berpikir tentang keagungan kopi khas Sumber Agung itu. Sore sebelumnya saya sempat mengunjungi kebun kopi itu, coffea liberica—satu dari empat jenis kopi yang diperdagangkan bebas di dunia.
Menurut Jurnal Bumi, keempat jenis kopi itu berasal dari tiga spesies tanaman kopi. Arabika dihasilkan oleh tanaman Coffea arabica. Robusta dihasilkan tanaman Coffea canephora. Sedangkan liberika dan excelsa dihasilkan oleh tanaman Coffea liberica, persisnya Coffea liberica var. Liberica untuk kopi liberika dan Coffea liberica var. Dewevrei untuk kopi excelsa. Kopi yang tumbuh di tanah gambut Sumber Agung adalah Coffea liberica var. Liberica.
Sore di kebun kopi itu, saya konsentrasi melangkah di jalan semen setapak yang becek. Lumpur rasanya mengikat telapak sepatu saya. Tak terlalu detil saya memperhatikan rimbun tanaman kopi yang menjulang. Rasanya tak ada yang berbeda dari tanaman kopi lain. Beda hanya ada pada tanah tempatnya menancap. Sebab, tanaman kopi di Sumber Agung tumbuh di lahan gambut. Bagi saya, itu hal baru. Orang awam pun tahu bahwa lahan gambut selama ini dinilai kurang produktif karena tingkat keasamannya yang tinggi.
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia pasca 1990-an mulai identik dengan industri bubur kertas dan kertas, serta kelapa sawit. Industri ini identik dengan tempat bersandarnya kehidupan kelas pekerja. Pada 2016 lalu, ada 1,49 juta tenaga kerja dalam industri—baik langsung maupun tak langsung—yang menghidupi sekitar 5,96 juta jiwa.
Sebetulnya sejak tahun 1988—sesaat setelah transmigrasi—warga Sumber Agung sudah menanam kopi. Sepuluh tahun kemudian, kebun kopi mencapai ribuan hektar. Ketika tahun 1999 api melalap separuh dari tanaman kopi itu, tanaman kopi tak ditanam lagi. Baru kemudian dewasa ini, sekitar empat ratus hektar kebun kopi telah ditanam kembali di seluruh Sumber Agung.
Masyarakat desa Sumber Agung beruntung bisa sadar kopi sejak awal. Pada awalnya, alasan penanaman kopi mungkin hanya sekadar upaya bertahan hidup, karena kopi dihasrati sebagai tonggak dasariah peradaban. Kopi adalah bahan penting untuk kumpul sosial.
Ketika kemudian industri besar masuk dan menciptakan kelas-kelas, bisa jadi penanaman kembali kopi di lahan gambut merupakan simbol perlawanan. Sekian lama masyarakat berada pada stigma buruh yang bekerja keras, lagi tertindas. Kopi bisa menghapus citra itu. Kopi dapat memandirikan hidup masyarakat. Apalagi sejarah mencatat, ekonomi kolonial sejak VOC hingga tanam paksa telah melahirkan masyarakat pekerja. Prof. Jan Breman mengungkap, penanaman kopi sempat dijalankan melalui kerja paksa, mobilisasi penduduk, hingga perampasan biji kopi yang telah dipetik.
Pemungkin tergagasnya simbol perlawanan bisa datang dari upaya konservasi alam. Kini, konservasi dengan pendekatan lanskap diterapkan di Sumber Agung. Komunitas Sampan mendampingi masyarakat Sumber Agung dalam mengelola dan memproduksi potensi alam. Potensi yang ada ditingkatkan, yang masih tersembunyi digali lebih dalam. Dalam pendekatan lanskap, tujuan pembangunan dan konservasi berjalan beriringan secara lintas sektoral.
Efeknya, tak akan ada lagi tumpang tindih tugas di antara para pemangku kepentingan. Masyarakat menjadi bagian dalam proses pengambilan keputusan. Hak-hak dan tanggung jawab tiap pemangku kepentingan pun menjadi lebih jelas. Masyarakat desa tidak lagi bergerak sekadar sebagai pekerja industri atau pekerja tanam kasar. Mereka punya andil dalam menentukan tata kelola ekonomi jangka panjang.
Memberdayakan kopi gambut di bentang alam Kubu Raya adalah sebuah perlawanan. Ia adalah pelaksanaan demokrasi tanpa kata-kata. Melalui kopilah masyarakat bersuara tentang hak kelola lingkungan hidupnya sendiri. Bersama dengan pelaku bisnis, masyarakat mengatur siapa yang melakukan apa dalam proses pengolahan produksi kopi dan hasil bumi lain.
Dengan pendekatan lanskap, perkara produksi dan proteksi alam menjadi seimbang. Manusia memanfaatkan alam, sekaligus berpikir untuk melestarikannya. Di perkara produksi, misalnya, kopi jadi bukti bahwa masyarakat bisa hidup dari alam yang dikelola dan dilindungi dengan baik. Dewasa ini, kafe kopi sedang subur-suburnya di seluruh pelosok negeri. Kopi gambut a la Sumber Agung bisa dinikmati sebagai bagian dari tren speciality coffee (kopi khusus), yaitu ketika citarasa kopi tidak lagi mengandalkan racikan, tetapi mengikutkan citarasa khas daerah asal.
Di samping dapat menjadi komoditas yang diperjual-belikan, kopi gambut juga menjadi identitas sakral. Ia mewakili perkembangan peradaban pesisir Kapuas dan lika-liku masyarakat pekerja yang seringkali memperoleh citra termakan industrialisme. Kopi gambut mulai bangkit. Itu adalah bukti bahwa produksi kopi dan perlindungan gambut dapat menjadi upaya demokrasi.
Ternyata, sungguh kompleks nuansa segelas kopi gambut. Diskusi saya dan teman—dengan gelas-gelas kopi gambut—berlangsung hingga pukul tiga dinihari. Saya merasa telah menghabiskan malam yang lezat. Tak keliru Paus Clement VIII sempat menyebut kopi sebagai minuman setan. Kopi sanggup menyandera jiwa-jiwa lupa diri dalam dialog. Ia sanggup menghangatkan yang dingin dan sepi—maupun yang terlalu bising karena pekik walet.***