Tidak dapat dipungkiri bahwa menikah dengan seseorang yang dicintai merupakan cita-cita semua orang. Namun, kadang agama dan peraturan menjadi penghalang di antara pasangan tersebut. 

Masalah yang kadang menghambat tersebut adalah perkawinan beda Agama. Dalam perkawinan beda agama, selain agama, undang-undang dan masyarakat juga masih tidak menerima perbedaan agama dalam suatu hubungan perkawinan.

Menurut Islam, perkawinan dengan orang musyrik dan kafir adalah masalah besar. Lain halnya dengan Ahli Kitab, sesuai dengan Al-Qur'an dan praktik Nabi, pernikahan ini diperbolehkan dengan catatan sesuai dengan tujuan (Maqasid syariah). 

Para ulama klasik dan sebagian ulama modern tidak mengesahkan perkawinan beda agama. Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia, pernikahan beda agama masih belum diatur secara tegas. Jika pun ada, aturan itu bersifat multitafsir. 

Ada yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama termasuk perkawinan campuran dan ada pula yang menyatakan tidak ada peraturan yang mengatur pernikahan beda agama, sehingga ada yang berpandangan bahwa pernikahan beda agama diperkenankan selama tidak ada yang mengaturnya.

Perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan. Selain karena banyak ulama dan pakar hukum yang cenderung tidak menghendaki, juga karena mudarat yang menyertainya. Selain itu, tujuan perkawinan adalah terciptanya suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Masuknya hukum Islam ke dalam hukum perkawinan nasional, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan yang mempunyai muatan makna bahwa perkawinan masyarakat Indonesia yang terjadi di Indonesia hanya dapat dilangsungkan ketika pasangan tersebut adalah pasangan yang seagama walaupun berbeda ras, suku, ataupun bangsanya. 

Menurut Jumhur ulama dan para pakar hukum Islam dari berbagai mazhab (terutama mazhab empat yang populer) telah sepakat mengenai kebolehan seorang laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahli al-Kitab, yaitu wanita yang beragama Yahudi dan Nasrani, meskipun sebagian kalangan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah menghukuminya makruh. 

Dasar hukum yang dipedomani oleh Jumhur Ulama adalah Al Qur’an surat Al Maidah ayat 5. 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M. 

Yang pada pokoknya isinya melarang (menyatakan tidak sah) perkawinan beda agama dan juga mengharamkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al- Kitab (menurut Pendapat mu’tamad).

Bahkan sebelum itu, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia juga telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa mengenai persoalan ini. 

Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya adalah haram. 

MUI memang menyatakan bahwa perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli al-Kitab terdapat perbedaan pendapat. Namun setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.

Menurut K.H. Ahmad Azhar Basyir, dalam buku beliau Kawin Campur, Adopsi dan Wasiat Menurut Hukum Islam, diperbolehkannya laki-laki muslim mengawini perempuan ahl al-kitab disebabkan adanya titik-titik persamaan antara ajaran-ajaran agama mereka dengan ajaran Islam. 

Hal itu disebabkan karena kedua agama itu berasal dari satu sumber, yaitu wahyu Allah yang mengajarkan iman kepada Allah, kepada akhirat, kepada kitab-kitab Allah, kepada malaikat dan kepada para rasul. 

Tetapi menurut beliau kebolehan itu tidaklah mutlak, karena masih ada kaitannya dengan jaminan keselamatan agama si suami sendiri dan anak-anaknya. 

Apabila dalam perkawinan itu suami yang muslim tersebut tidak mampu memegang pimpinan rumah tangga karena keadaan atau posisinya yang lemah, sehingga justru isteri yang ahli al-Kitab tersebut yang memegang kendali pimpinan keluarga, sedang sang suami tunduk kepada isterinya dan bahkan anak-anaknya pun akan tersalur pendidikannya untuk mengikuti agama sang isteri, atau bahkan sang suami dikhawatirkan akan mengikuti agama isterinya dan meninggalkan agama Islamnya, maka kebolehan tersebut (menikahi perempuan ahl al-kitab) tidak berlaku baginya.

Lebih lanjut, dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 40 huruf (c) dengan tegas melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. 

Sementara itu, Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam juga memberikan penegasan tentang larangan perkawinan bagi seorang wanita muslim dengan seorang laki-laki non-muslim, yang bunyi pasalnya menyatakan : 

“bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

Selain pendekatan normatif dengan mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an dan kajian yuridis dengan berdasarkan pada undang-undang perkawinan beserta Kompilasi Hukum Islam, praktik perkawinan beda agama jika dikaji dengan pendekatan aspek sosial pun akan dapat menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. 

Dalam ilmu fikih terdapat satu kaidah yang cukup populer yang menyatakan bahwa "mencegah kemudharatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada mengambil Kemaslahatan". 

Oleh karenanya, Perkawinan beda agama akan melahirkan banyak akibat, baik bagi pasangan hubungan suami isteri tersebut, maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Di antara akibat-akibat yang timbul dari perkawinan beda agama adalah sebagai berikut :

a. Soal keabsahan perkawinan tersebut, yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri (hak isteri terhadap nafkah dan harta bersama).

b. Status anak yang dilahirkan, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja.

c. Hak kewarisan (karena perbedaan agama menggugurkan hak saling mewarisi).

d. Masalah pengadilan tempat menyelesaikan sengketa rumah tangga (Lembaga peradilan di Indonesia selain mengenal kewenangan absolut dan kewenangan relatif, juga mengenal asas personalitas.

Meski sekilas tampak bahwa Undang-Undang Perkawinan relatif jelas menolak kebolehan orang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan, hal ini tidak berarti lepas dari masalah. 

Sebaliknya, ia mengundang berbagai penafsiran. Minimal ada tiga penafsiran terhadap ketentuan itu:

Pertama, penafsiran bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 

Dalam penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1 tidak ada lagi perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut.

Kedua, perkawinan antar-agama itu sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. 

Alasannya, pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Ketiga, perkawinan antar-agama sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan, sehingga berdasarkan pasal 66 Undang-undang tersebut, persoalan perkawinan beda agama dapat dirujuk pada peraturan perkawinan campuran.

Pasal 2 ayat (1) menyatakan : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 

Menurut penulis hal tersebut bermakna bahwa persyaratan pertama dan utama atas keabsahan sebuah perkawinan adalah mengacu pada hukum dan aturan agamanya masing-masing.

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.