Tidak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari Dewa Zeus. Menyadari itu, Zeus tahu ia harus menghentikan permainan kotor para Dewa untuk memenangkan jagoan mereka dalam perang Troya. Akhirnya tiba masa di mana Zeus melarang seluruh Dewa untuk membantu kedua kubu. “Jika kalian melanggar perintahku, akan aku kirim kalian ke Tartarus!” tegasnya kepada para Dewa itu.

Meski mereka semua khawatir dengan hasil akhir perang ini—utamanya Hera dan Athena yang sejak awal mendukung Akhaia, tapi tak satu pun dari mereka berani melawan Zeus. Mereka tahu betul bagaimana Zeus membunuh ayahnya sendiri, Cronus sang Waktu, dengan membuangnya ke Tartarus. Ya, Tartarus yang begitu menakutkan itu, sebuah jurang tanpa akhir. 

Zeus sudah memutuskan bahwa kini ia-lah yang memegang kendali. Lantas ia mengambil timbangan untuk menentukan siapa pemenang dari peperangan ini. Hasilnya adalah kemenangan bagi Troya.

Sampai di sini, Dewa Zeus terlihat sebagai sosok Dewa yang adil. Pertama, ia melarang dewa-dewi untuk ikut campur akibat sudah terlalu banyak korban perang berjatuhan karena ulah mereka. Kedua, meski ia mengambil kendali, Zeus mencoba bersikap adil dengan menimbang antara Akhaia dan Troya. Timbangan yang menjadi lambang keadilan itu menjadi dasar bagi Zeus untuk memberikan bantuan bagi pasukan Troya. 

Namun, ketika pasukan Akhaia sudah berada di ambang kekalahan, ketika Diomedes pejuang terkuat mereka pun seakan tak berdaya, ketika Nestor sang orator ulung tak mampu lagi membangkitkan semangat pasukannya, Athena yang sedang marah besar karena apa yang terjadi kepada Akhaia menyatakan kepada Hera bahwa Zeus memilih untuk memenuhi janjinya kepada Dewi Thetis untuk mengalahkan Akhaia agar mereka merindukan kehadiran Akhilles dalam medan perang.

Ini mengingatkan kita pada buku pertama The Iliad yang menceritakan tentang pertarungan antara Agamemnon dan Akhilles. Raja Agamemnon merebut Briseis, perempuan hasil rampasan perang yang dimiliki Akhilles. Demi mempertahankan kehormatannya, Akhilles marah dan menolak ikut dalam peperangan. Ia pun berdoa kepada ibunya, seorang Dewi bernama Thetis untuk meminta kepada Dewa Zeus agar Akhaia kalah sampai mereka memohon kepada Akhillles, pejuang terhebat yang dimiliki Akhaia, untuk ikut bertarung kembali. 

Di sinilah menariknya kisah dalam buku kedelapan The Iliad yang diceritakan Homerus. Dalam kisah ini, terdapat kontradiksi yang ditonjolkan oleh Zeus. Di satu sisi, Zeus mengambil timbangan yang bisa diartikan sebagai lambang keadilan. Di sisi lain, Athena menyatakan bahwa ini adalah pemenuhan janjinya kepada Thetis.

Merujuk pada buku kedua The Iliad, Zeus memang memiliki tekad untuk memenuhi janjinya kepada Thetis. Athena menduga bahwa kekalahan Akhaia adalah taktik Zeus agar Agamemnon dan pasukannya meminta Akhilles kembali bertarung. Pertanyaannya kemudian, apakah sebenarnya Zeus bersikap adil atau memang betul apa yang dinyatakan Athena bahwa ini sekadar pemenuhan janji? 

Ketika kita ingin menjawab pertanyaan apakah Zeus adil atau tidak, maka akan muncul pertanyaan berikutnya: siapa yang punya kuasa untuk menentukan hasil dari timbangan tersebut?

Tidak ada yang lebih tinggi dari Zeus. Dia adalah Raja para Dewa. Dewa terkuat yang bisa mengendalikan apa pun. Bahkan Dewa seperti Athena dan Apollo pun harus meminta restu Zeus sebelum turun membantu pasukan Akhaia dan Troya. Baik Akhaia dan Troya, keduanya juga kerap mengorbankan kambing dan sapi agar mendapat restu kemenangan dari Zeus. 

Jika Zeus adalah Dewa tertinggi yang kekuatan dan kekuasaannya tak tertandingi, jika Dewa dan manusia membutuhkan restu Zeus untuk melakukan sesuatu, mungkinkah hasil dari timbangan itu berada di luar kuasanya?

Sulit rasanya untuk menyatakan demikian. Zeus terlalu kuat untuk dikalahkan dengan hasil timbangan. Apa pun hasil dari timbangan tersebut, semua itu berada di bawah kendalinya. Zeus dengan kekuasaan yang ia miliki dapat memastikan bahwa hasil timbangan tersebut akan memenangkan Troya.

Pertanyaan lainnya, jika Zeus sudah memiliki keputusan sejak awal, untuk apa ia tetap menimbang? Mungkin jawaban sederhananya: pembenaran.

Sebagai seorang Raja Dewa, ia perlu melakukan pembenaran atas keputusan yang ia ambil. Meski sebenarnya apa yang ia lakukan merupakan pemenuhan janji kepada Dewi Thetis seperti yang dinyatakan Athena, Zeus tak mungkin mengambil sikap semaunya sendiri. Untuk menenangkan para Dewa agar tak mengeluh karena bantuan yang ia berikan kepada Troya, timbangan kemudian menjadi pembenaran bahwa ia sebenarnya sudah bersikap adil.

Kontradiksi Zeus yang tercermin dalam buku ini mirip seperti beberapa kasus di mana proses hukum berjalan, tapi keadilan tak didapatkan. Timbangan Zeus merupakan simbol pencarian keadilan, tapi ia tak mencerminkan keadilan. Sungguh menyedihkan karena keadilan hanya dimaknai secara simbolis, bukan diaplikasikan secara nyata.