2021 sudah angkat kaki, namun resistensi pemerintah dalam memberantas korupsi masih stuck disitu-situ saja. Tidak mengantongi progress berarti.
Sulit ditampik, sepanjang tahun 2021, banyak catatan kelam kasus korupsi besar-besaran yang menyeret sejumlah nama orang-orang penting dan terpelajar, termasuk beberapa kepala daerah.
Komisi Pemberantasan Korupsi disingkat KPK mengaku sudah menangani 101 perkara korupsi dengan menjerat 116 tersangka hingga November 2021. Menurut Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, penanganan perkara korupsi yang ditangani lembaga KPK pada tahun ini lebih banyak dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2020, KPK menangani 91 perkara dengan 110 tersangka. (Sumber : liputan6.com)
Adapun laporan dugaan korupsi, KPK mengantongi sebanyak 3.708 laporan sejak Januari hingga November 2021. Dari 3.708 laporan tersebut, sebanyak 3.673 telah rampung diproses verifikasi oleh KPK.
Laporan dugaan korupsi terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 471 aduan dugaan korupsi. Kedua, wilayah Jawa Barat sebanyak 410 aduan; disusul Sumatera Utara 346 aduan; Jawa Timur 330 aduan; dan Jawa Tengah dengan 240 aduan. (nasional.sindonews.com)
Angka hanyalah digit yang bisa dijangkau pendataan. Data tidak selalu mampu merepresentasikan sepenuhnya fakta di lapangan. Probabilitas yang sangat potensial bahkan mungkin menjadi keyakinan universal adalah kasus korupsi di Indonesia justru lebih banyak dari angka yang mampu dideteksi oleh KPK.
Masih terkatung-katung dalam ingatan, kasus korupsi Bansos (Bantuan Sosial) yang menyeret nama mantan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. Ternyata sekalipun masyarakat mengalami kemerosotan finansial berjamaah akibat kebijakan-kebijakan pembatasan aktivitas terkait pandemi Covid-19, tetap saja tidak menghilangkan kemungkinan munculnya niatan korupsi.
Bantuan sosial di kala pandemik yang seharusnya sampai kepada masyarakat sesuai dengan nominal sebenarnya, mereka dengan tidak tahu malunya malah meminta fee Rp 10.000 tiap paket bansos Covid-19 dari perusahaan penyedia. Total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar.
Beda cerita dengan Harun Masiku. Manusia sakti yang tidak mampu ditemukan batang hidungnya oleh aparat kepolisian se-Indonesia. Buronan Internasional ini menyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dapat dimudahkan langkahnya melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR jalur PAW. Kasus ini nyaris berulang tahun yang kedua, namun belum ada titik terang terkait realisasi konsekuensi hukum kepada tersangka.
Pertanyaan pentingnya; sudahkan pelaku tindak pidana korupsi di negeri ini memikul hukum yang memberikan efek jera? Sudahkan pemerintah menerapkan solusi efektif yang tidak hanya sebatas mengawal pelaku korupsi tapi juga menerapkan sebuah sistem dan kebijakan-kebijakan yang mampu mencegah potensi korupsi yang masif.
Kalau ditelaah hingga ke akar-akarnya, korupsi tidak lagi melibatkan kesembronoan individu semata, namun korupsi adalah kerusakan sistemik yang berlangsung panjang. Jika korupsi hanya dilakukan satu dua orang, maka itu adalah kesalahan personal, namun jika korupsi masif menggerogoti nurani banyak orang maka itu adalah kesalahan metode yang tengah diemban.
Korupsi ibarat penyakit yang berkomplikasi dan menular. Sulit dihindari oleh mereka yang memilih menceburkan diri ke dalam pusaran politik. Bagaimana bisa tidak korupsi sedang untuk menduduki suatu jabatan tertentu harus melalui prosedur-prosedur yang menggeramus ongkos teramat mahal.
Kampanye menuntut calon pejabat untuk mencari sokongan modal yang tidak sedikit. Kursi kekuasaan dijadikan ajang pertarungan habis-habisan, tidak lagi berangkat dari niat sepenuhnya mengurusi rakyat.
Untuk melenggang menduduki kursi kekuasaan dalam sistem demokrasi diupayakan dengan melalui serangkaian taktik-taktik licik seperti money politic atau transaksi jual beli suara dalam pemilu. Selama money politic berlaku, selama itu pula korupsi akan sulit ditekan.
Pasalnya, rakyat didera suatu kondisi ekonomi yang rongsok sehingga menjadikan money politic itu laku di pasaran. Kondisi ini seolah dirancang agar siapapun yang berlimpah harta mampu membeli murah suara mereka. Perut yang telah terbiasa lapar tidak lagi sanggup memikirkan apa itu kedaulatan.
Pasca menduduki jabatan, terjadilah aktivitas bagi-bagi kursi sebagai salah satu tanda terima kasih atas sokongan pihak sponsor kampanye. Padahal dalam Islam, jelas bahwa setiap peran dalam sektor publik harus diserahkan kepada ahlinya, bukan diserahkan kepada “yang ada uangnya”.
Sebab jika suatu kedudukan diberikan kepada seseorang yang tidak berkompeten dalam posisi itu, maka kebobrokan yang akan menjadi ujung pangkalnya.
Korupsi tidak akan pernah menemui kesudahan jika kita hanya melawannya dengan model regulasi seperti sekarang. Hukuman yang tidak memberikan efek jera, berat sebelah dan rawan tawar-menawar tidak akan pernah menghentikan laju kasus korupsi.
Jika pun nanti di sistem seperti ini, data menunjukkan bahwa angka kasus korupsi menurun, maka sejatinya bukan kasus korupsi yang betul-betul berkurang, namun karena orang yang ketahuan korupsi makin sedikit. Mereka yang tidak ketahuan korupsi tentu karena makin terampil sehingga sulit dijangkau radar pendataan.
Akar korupsi adalah sistem. Maka untuk memberantas korupsi harus dimulai dengan melakukan perubahan sistem, bukan sekadar tambal sulam kebijakan. Dalam sistem Islam, politik dikaitkan dengan istilah Siyasah yang berarti mengatur urusan umat. Berbeda dengan sistem hari ini, di mana politik diekspektasikan ke dalam orientasi kekuasaan.
Dalam pemilihan pemimpin pun, Islam memiliki pengaturan yang teramat rinci dan agung, mengajukan syarat telak dan tidak mengenal mahar politik. (Membahas konsep politik dan pemerintahan dalam Islam itu tidak mampu terbahas sepenuhnya dengan tulisan singkat, dibutuhkan aktivitas belajar yang intensif).
Selain itu, prinsip-prinsip Islam sangat menghinakan tindakan korupsi. Hukum potong tangan berlaku jika memenuhi syarat-syarat ditunaikannya. Korupsi bernominal fatal, menyangkut hidup banyak orang dan sarat bukti konkret akan makin melebarkan kemungkinan dikenakannya sanksi potong tangan.
Ketetapan hukum ini memberikan efek jera, sehingga yang didera hukuman merasakan penyesalan sepanjang umurnya dan yang memiliki niatan korupsi menjadi urung karena membesar ketakutannya.
Beberapa pihak menganggap Islam menetapi hukum-hukum yang tidak manusiawi. Lebih tidak manusiawi mana, memotong tangan satu manusia atau membiarkan ratusan juta orang dibelenggu kepapaan?
Saat meneliti tentang kemiskinan, maka usah menautkannya dengan mental orang miskin, inflasi, krisis moneter atau kata-kata intelektual lainnya. Sebab korupsi lah yang paling dekat dengan kemiskinan. Metode perampokan yang dilakukan orang-orang terpelajar memberatkan kehidupan orang banyak hingga sampai kepada pergantian generasi.
Memberantas korupsi dan solusi Islam. Keduanya, genting untuk segera dikawinkan.