Perayaan lebaran atau hari raya Idulfitri dengan umat Islam memang tidak bisa dilepaskan. Melintasi sekat temporal dan sektoral, lebaran dirayakan umat Islam dalam beragam bentuk produk budaya.

Merayakan hari raya Idulfitri,  selain karena keberadaan hari khusus tersebut jatuh setahun sekali, atau perayaan tersebut sebagai momentum berbuka paling purna setelah sebulan penuh menahan segala bentuk nafsu (baik jasmani ataupun rohani) di bulan suci Ramadan, adalah bentuk implementasi dari keyakinan bahwa lebaran merupakan aktualisasi kemenangan.

Selain sebagai sebuah momentum kemenangan, jumhur ulama klasik menafsirkan Idulfitri sebagai kembali fitrah atau kembali suci. Artinya, melalui adanya lebaran, umat Islam dibawa menuju lembaran hidup baru yang lebih baik – yang seharusnya secara praktik dapat melahirkan keseharian baru yang membawa lebih manfaat dalam hidupnya.

Melihat dua segi makna yang menjadi identitas lebaran – kemenangan dan fitrah – lahirlah produk-produk budaya yang mengandung makna tak jauh dari dua kata sakral tersebut. Seperti kirab takbir keliling dengan gegap gempita mengelilingi kampung atau ruas jalanan kota sebagai bentuk menuangkan kemenangan besar yang patut dirayakan, atau tradisi sungkem pada kedua orang tua sebagai bentuk makna fitrah paling sederhana yakni kembali mengakui dan menghormati sosok yang selama ini menghidupi.

Namun berbeda dengan produk budaya umat Islam kontemporer, lebaran melahirkan produk budaya baru yang lebih universal dan diamalkan oleh hampir semua umat Islam di belahan dunia, yakni sebuah perayaan konsumerisme besar-besaran.

Umat, Pasar, dan Kapitalisme

Baudrillard mengartikan konsumerisme adalah sebuah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Keyakinan ini lahir dari rahim kapitalisme yang makin diimani oleh manusia-manusia, barangkali sebagai agama kedua.

Keberadaan kapitalisme dengan arus perkembangannya yang sangat radikal – tanpa batas – membuat produksi barang-barangnya yang makin meningkat. Demi menyelamatkan dirinya, kapitalisme membutuhkan hasrat konsumsi yang tinggi pada masyarakat untuk keseimbangan laju keuntungan dari laba-laba produksi industri kapitalis.

Segudang strategi komoditasi berupa iklan-iklan dalam beragam bentuk di berbagai platform media turut mendorong perubahan masyarakat menjadi masyarakat konsumsi, tak terkecuali umat Islam.

Sebuah rahasia umum, kapitalisme mampu tumbuh pesat seiring keberadaan pasar yang makin luas. Produk-produk yang makin beragam ditunjang adanya arus globalisasi yang makin menyuburkan distribusi informasi mengenai gaya hidup, membuat pasar-pasar makin berlipat dan menunjukkan peranan agungnya membentuk budaya konsumerisme.

Keberadaan umat Islam dengan jumlah populasi yang sangat besar di Indonesia menjadikan umat Islam sebagai objek pasar kapitalisme yang menguntungkan. Sebagai masyarakat mayoritas, kapitalisme berkewajiban menciptakan kebutuhan-kebutuhan pasar tersebut melalui produk-produknya.

Seperti, pasar membutuhkan pakaian untuk menutup aurat, industri kapitalisme menyediakannya dengan beragam jenis – katakanlah jilbab/kerudung.

Pasar membutuhkan dorongan hasrat untuk mengonsumsi produk tersebut. Industri kapitalisme menyediakan iklan yang menarik dan diskon yang menggiurkan. Hubungan pasar dan industri yang makin massif memutar roda kapitalisme makin intens. Konsumerisme menjadi sebuah budaya baru.   

Sebuah Perayaan Konsumerisme

Keterkaitan umat Islam sebagai pasar dalam lingkaran kapitalisme yang makin mesra menciptakan sebuah pola baru yang terus berkembang. Hubungan timbal balik antara pasar dan kapitalisme yang berlebihan membuat konsumerisme tak mampu lagi dihindarkan.

Budaya konsumerisme dalam umat Islam tersebut menjadi sangat kaffah ketika lebaran Idulfitri jatuh tempo. Lebaran yang sebelumnya dimaknai sebagai suatu yang fitrah dengan penuh kemenangan, kesederhanaan, dan kesahajaan dalam beragam bentuk budaya, seperti mudik atau pulang kampung untuk kembali berkumpul dengan keluarga.

Adanya peranan kapitalisme mulai bergeser ke arah konsumsi produk yang berlebihan. Umat berbondong-bondong membanjiri berbagai ruang belanja untuk menukarkan penghasilan yang tidak seberapa dengan produk-produk khas lebaran – seperangkat pakaian – untuk menjawab nafsu konsumsinya.

Konsumerisme makin nyata dan mudah untuk dijamah ketika agen-agen industri kapitalisme tersebut membungkus jeratan konsumsi berlebihan tersebut dengan beragam diskon atau potongan harga yang besar serta divalidasi dengan istilah momentum kemenangan. Seolah-olah semua orang berada dalam taraf hidup yang serba cukup, berlebihan, sehingga wajar untuk merayakannya.

Kebiasaan tersebut makin berkembang mengikuti arus waktu yang mengantarkan kapitalisme dengan buah konsumerismenya tidak lagi hanya menjamah masyarakat urban melainkan berhasil menyentuh lapisan masyarakat desa. Semua seolah tergiring dengan narasi bahwa lebaran adalah kewajaran untuk menghambur-hamburkan uang.

Pasar, produk, iklan, diskon hari ini telah memasuki ruang-ruang sempit dalam diri setiap individu umat dan menancap sebagai identitas fana lebaran. Konsumerisme menjulang sebagai budaya yang dirayakan setiap orang atas nama hari kemenangan.

Barangkali sebagian beralasan sebagai bentuk rasa syukur  -- merayakannya dengan suka cita, sebagian lainnya korban dari kapitalisme yang begitu cerdik memanfaatkan momentum dalam mengapitalisasi agama. Keduanya turut mereduksi makna agung hari raya sehingga ke depannya lebaran yang akan datang adalah lebaran-lebaran yang tak lagi fitrah.