Dalam pelajaran biologi dasar, salah satu ciri dari makhluk hidup adalah: berkembang biak. Memperbanyak diri. Maka masuk dalam kategori ini: tumbuhan, hewan, dan manusia. Pada dua golongan pertama, tumbuhan dan hewan, berkembang biak adalah suatu mekanisme yang sederhana. Tumbuhan menyebarkan benihnya lewat biji atau tunas. Mereka memperbanyak diri tanpa basa-basi. Di tanah mana benih mereka jatuh, di sana mereka tumbuh.
Lalu hewan, suatu organisme yang hampir serupa manusia, juga berkembang biak tanpa ribut. Secara garis besar, hewan memperbanyak diri dengan cara yang mirip dengan manusia dalam mempertahankan keturunannya, hubungan seksual. Namun hewan lebih sederhana, tak bertele-tele. Hubungan seksual mereka dibangun atas dasar berahi semata. Ketika betina bertemu jantan, dan mereka saling terpikat satu sama lain, saling terangsang, maka mereka langsung berasyik masyuk dalam percintaan.
Hewan hanya mengenal konsep kawin, bukan nikah. Mempertahankan keturunan bagi mereka adalah naluriah, bukan komitmen antara dua belah pihak. Maka kita lihat induk kucing mengawini darah dagingnya sendiri bukanlah masalah. Oleh karena itu, bisa kita lihat dari ketiga jenis makhluk hidup yang ada, manusialah yang paling rumit dalam ciri berkembang biaknya. Bukan dalam prosesnya menghasilkan keturunan, tapi dalam prosedur untuk sampai kepada tahap legalitas hubungan seksual.
Konsep legalitas dalam perkara seksual hanya dipakai manusia. Legalitas ini dibangun melalui kerangka adab dan etika. Hewan dan tumbuhan tak mengenal istilah ini karena tak dikaruniai akal. Manusia yang diberikan akal, membatasi hubungan seksual mereka hanya kepada yang sah, dan setelah melewati prosedur yang sah. Maka kita mengenal istilah pernikahan. Suatu akad legalitas untuk dapat berhubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan.
Jika boleh dibilang, pernikahanlah yang membedakan antara manusia dan hewan. Maka ciri berkembang biak pada manusia selalu menimbulkan problematika dan dilema. Karena tidak seperti hewan yang hanya menjunjung berahi saat berhubungan seksual, manusia dibelenggu dengan komitmen dan tanggung jawab pasca hubungan badan. Maka diperlukan sebuah janji pengikat komitmen dan tanggung jawab ini, janji yang tak hanya terbuat dari nafsu berahi, namun juga cinta.
Begitulah makna pernikahan, akad legalitas hubungan seksual, janji pengikat dua insan. Konsep ini berkembang menjadi suatu budaya pada masyarakat. Menjadi sebuah konsensus yang disepakati bersama. Seiring perkembangannya, timbul pasang-surut persoalan yang menyertainya. Yang paling klasik, poligami. Ketika seorang suami memperistri lebih dari seorang perempuan. Dan tak bisa dipungkiri, kenapa masalah ini terus berlarut-larut dalam perbincangan adalah karena ada campur tangan agama di dalamnya.
Pada masa lampau, praktek poligami banyak dilakukan raja-raja dengan mengangkat banyak selir. Jumlahnya terserah raja. Dewasa kini, poligami identik dengan islam—selaku agama yang dianggap gencar menyuarakan legalitas poligami. Padahal, jika merunut sejarah dan budaya masyarakat Arab sebagai tempat penyebaran pertama agama islam di bumi, nilai utama yang ingin dibangun islam pada masa itu adalah justru pembatasan praktek poligami. Dikisahkan dalam Sunan Tirmizi, pada masa itu ada seorang sahabat bernama Gailan ats Tsaqofi memperistri sepuluh orang sebelum masuk Islam. Oleh Nabi Muhammad, ia diperintahkan memilih hanya empat istrinya, dan menceraikan yang lain dengan baik-baik.
Dari sini seharusnya bisa kita simpulkan, pada masa itu, syariat islam yang membolehkan poligami maksimal empat orang, target utamanya bukanlah menganjurkan seorang suami yang telah beristri satu untuk berpoligami (menambah istri), melainkan perintah kepada mereka yang beristri lebih dari empat untuk mengurangi jumlahnya sampai batas yang telah ditetapkan. Ini ditegaskan dalam Alquran yang menekankan syarat adil dalam poligami dan meneruskannya dengan kalimat, “Jika kalian takut tidak berlaku adil, maka cukup satu!” (An Nisa: 3)
Mengantisipasi penolakan poligami dari sejumlah pihak (terutama istri), biasanya para pelaku atau pendukung poligami berdalih bahwa Nabi Muhammad juga berpoligami. Dan oleh mereka yang ingin memperkeruh suasana, pernyataan ini ditambahkan dengan kalimat, “Bahkan lebih dari empat!” Padahal harus diketahui, bahwa beberapa syariat berbeda untuk Nabi Muhammad dan umatnya. Sebagian syariat justru memberatkan Nabi Muhammad, seperti wajibnya salat malam baginya, dan puasa wishal (terus-menerus tanpa berbuka) yang justru diharamkan kepada umatnya.
Hukum poligami dalam Islam, bagaimanapun perdebatannya, tentu tetap boleh. Yang harus diperdebatkan bukanlah hukum poligami tersebut, melainkan syarat adil dan etika berumah tangga, hubungan antara suami dengan istri yang bukan sekadar nafsu berahi. Yang marak terjadi kini, justru mereka yang bersembunyi di balik topeng sunnah untuk memuaskan hasrat seksualnya, tanpa mendengar pendapat istri. Yang begini sudah melenceng jauh dari apa yang hendak dibangun dari sebuah akad pernikahan: keluarga yang berbahagia.