Berbicara mengenai konsep Al-Qur’an tentang Tuhan, sering terjadi pertanyaan mengapa penggunaan kata Tuhan bagi umat Islam menggunakan penyebutan dengan nama Allah.

Penyebutan nama Allah ini sudah diakui dari zaman terdahulu. Uraian di atas, disalah artikan oleh kaum Jahiliyah. Mereka mengartikan bahwa Allah adalah segolongan Jin, memiliki anak-anak dan tidak ada satu pun manusia yang dapat berkomunikasi kepada Allah, maka dari itu mereka menyembah berhala sebagai perantara hal tersebut.

Eksistensi Tuhan dalam Q.S Al-Araf (7):172

Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini."(Q.S Al-Araf 172).

Kata Akhadza menurut Thabatthaba’i mengisyaratkan adanya pemisahan dari sesuatu, sehingga yang diambil itu terpisah dari asalnya serta menunjukan adanya kemandirian yang diambil, makna yang sesuai konteks ini adalah pengambilan.

Menurut Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi : “ Dan (ingatlah) ketika tuhanmu mengeluarkan,” maksudnya adalah ingatkanlah orang-orang Yahudi itu mengenai perjanjian yang dituliskan dalam kitab suci mereka, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh seluruh makhluk pada saat diciptakan dulu.

 menurut Sayyid Ibrahim : dari sulbi (tulang belakang) mereka, (pengganti sebagian untuk mengganti keseluruhan).

Menurut Ibnu Katsir : Anak keturunan mereka, maksudnya, menjadikan keturunan mereka dari generasi ke generasi, dari kurun ke kurun. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut : yang menjadikanmu Khalifah di bumi.(QS.An-Naml:62)

Penulis menyimpulkan mengenai uraian di atas bahwasanya Allah mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah, bahkan menciptakan mereka dalam keadaan memiliki fitrah kesucian dan pengakuan atas keesaan itu.

Tuhan tidak berbilang Q.S Al-Anbiya (21):22

Artinya : Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.

Menurut Ibnu Katsir : Allah SWT mengabarkan bahwa jika terdapat ilah-ilah lain selain-Nya. Nicaya rusaklah langit dan bumi. Maska Allah berfirman “Sekiranya ada pada keduanya ila-ilah selain Allah,” yaitu di langit dan di bumi.

Menurut Tafsir Jalalain (tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa) maksudnya akan menyimpang dari tatanan biasanya sebagaimana yang kita saksikan sekarang, hal itu disebabkan adanya persaingan dianatara dua kekuasaan yang satu sama lainnya tiada bersesuaian : yang mempunyaiunyai ketentuan sendiri dan yang lainnya demikian pula.

Menurut Al-Farra bermakna lain. Karena masing-masing memiliki kekuasaan untuk bertindak, maka saat itu terjadilah pertikaian dan pertentangan, dan itu menyebabkan kerusakan.

Penulis menyimpulkan uraian di atas bahwasanya apabila tuhan alam semesta ini berbilang , maka akan terjadi perselisihan dan pertentangan pendapat dalam mengatur roda kehidupan dunia.

Penegasan bahwa Tuhan itu Allah Q.S Fussilat (41):30

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”

Menurut Tafsir Al-Qadir : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah”,yakni Allah semata tidak ada sekutu baginya.

Menurut Tafsir Al-Qurtubi "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan , “Tuhan kami ialah Allah “ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Atha berkata, dari Ibnu Abbas RA, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar RA. Yakni, orang-orang musyrik mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan kami, dan para Malaikat adalah anak-anaknya. Mereka itu pemberi syafa’at kami di hadapan Allah SWT. Artinya, orang-orang musyrik itu tidak istiqamah untuk tetap teguh mengatakan bahwa Tuhan kami adalah Allah SWT.

Menurut Tafsir Jalalain :(“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan,” Tuhan kami adalah Allah “, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka) dalam ajaran Tauhid dan lain-lainnya yang diwajibkan atas mereka.

Menurut Tafsir At-Thabari : Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata : Ahmad menceritakan kepada kami, ia berkata Ashbath menceritakan kepada kami tentang ayat ini “Dan gembirakanlah mereka dengan Jannah.”Maksudnya adalah janji ketika masih di dunia.

Penulis menyimpulkan uraian di atas bahwasanya Tuhan itu adalah Allah SWT, dan barang siapa yang beriman kepada Allah lalu dia istiqomah, maka Allah menjanjikan surga kepadanya.

Manusia tidak akan bisa lepas dari konsep ketuhanan, karena manusia akan berpikir dan mencerna apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahwa adanya ciptaan adanya perwujudan manusia dan alam seisinya sebagai bentuk rasa Rahman dan Rahim dari Allah dan setiap manusia akan selalu berhubungan dengan tuhan sebagai bentuk keyakinan atau ketauhidan terhadap Tuhan yang maha esa.

Sumber Buku :

Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jilid4(Cet2, Jakarta: Pustaka Lentera hati,2002) 

Al-Hifnawi, M.Ibrahim, Tafsir Al-Qurtubi, jilid7(Jakarta: Pustaka Azam,2007)

Al-Hifnawi, M.Ibrahim, Tafsir Al-Qurtubi, jilid15(Jakarta: Pustaka Azam,2007)

Sayyid Ibrahim, Tafsir Fathul Qadir, jilid4(Cet2, Jakarta: Pustaka Azam,2013)

Sayyid Ibrahim, Tafsir Fathul Qadir, jilid7(Cet2, Jakarta: Pustaka Azam,2013)

Muhammad, Alu Syaikh Abdullah, Tafsir ibnu Katsir, jilid3(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’e,2008)

Muhammad, Alu Syaikh Abdullah, Tafsir ibnu Katsir, jilid5(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’e,2008)

Mahalli, Jalaludi As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, jilid2 (Bandung: Pustaka Sinar Baru Algensindo,2014)

Ath-Thabari,Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari,(Jakarta: Pustaka Azam,2007)