Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Hal ini sangat berkaitan dengan agenda pembangunan nasional.

Pemilikan tanah kemudian menjadi persolan yang tiada hentinya. Sering kita mendengar pemberitaan di media tentang konflik yang dilatarbelakangi persoalan tanah. Dipahami secara bersama, konflik dalam bahasa sederhana sering diartikan sebagai perbedaan pendapat, cekcok, perkelahian, dll.

Namun, bagi (Prihandono, B,K 2005 dalam Josef ,J, Darnawan 2005), konfilk tak hanya dipahami secara sederhana bahwa kesenjangan ekonomi dan politik adalah persoalan struktural yang menyediakan peluang bagi terciptanya ketidakpuasan dan merupakan pemantik bagi meledaknya konflik-konflik sosial. Untuk itu, bukan tidak mungkin jika soal sanah dan lahan juga sarat akan konflik di dalamnya.

Konflik ini tidak hanya terjadi di masa sekarang ketika manusia sudah punya kontrak sosial dan dipimpin oleh seseorang. Kala itu, masa feodalisme, di mana tuan tanah sebagai raja menguasai seluruh lahan atau tanah di wilayahnya. Menjadi persoalan, rakyat hanya bekerja pada tuan tanah tanpa imbalan yang sepadan.

Masuk di masa kolonialisme, hal yang sama pun terjadi. Cuma berganti aktor. Sampai kapan rakyat menderita, tanah yang ditempati dan digarap seakan menjadi tamu bagi dirinya sendiri.

Jauh melangkah ke depan, dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 adalah salah satu alat negara untuk mengatur bagaimana proyeksi pembangunan nasional yang dijalankan oleh dan untuk rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33. Dalam hal ini, Nazir Salim menyebut bahwa “UUPA adalah semangat kebangsaan yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa".

Tahun 1960an, struktur kekuasaan atas tanah di Indonesia sudah timpang. Di daerah, tanah sebagian besar dikuasai oleh para ambtenaar (Pegawai Negeri Sipil zaman Hindia Belanda) dan para pemuka agama. Sedang di sisi lain, masih banyak petani miskin yang kesulitan menafkahi keluarganya jika hanya bergantung pada luas lahan pertanian yang sempit atau bekerja sebagai buruh tani.

Oleh karena itu, melalui UUPA, negara memfasilitasi distribusi atas tanah kepada petani-petani miskin di daerah agar supaya dapat mennyejahterakan keluarganya. Sasaran dari UUPA adalah tanah absente dan tanah kelebihan maksimum yang ditetapkan sesuai kondisi lokal suatu wilayah, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Perppu Land Reform tahun 1960.

57 tahun berlalu setelah disahkannya UUPA, kondisi ketimpangan agraria belum jua teratasi. Badan Pertanahan Nasional mencatat, 56% aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dimonopoli oleh hanya 0,2% penduduk Indonesia. 175 juta hektar (setara dengan 93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh pemodal swasta/asing.

Lalu, menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sekitar 35% daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa tambang, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Sementara itu, jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) di Indonesia sebanyak 31,7 juta keluarga (Badan Pusat Statistik, 2013). Ketimpangan agraria berbanding lurus dengan banyaknya jumlah konflik agraria.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sejak 2004 hingga 2012, terjadi 618 konflik agraria di Indonesia. Pada tahun 2016 sendiri, terjadi sedikitnya 450 konflik agraria pada wilayah seluas 1,2 juta ha dan melibatkan 86.745 kepala keluarga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meningkat dari 252 konflik pada 2015. Jika di rata-rata, setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 ha lahan terlibat dalam konflik.

Data lain menggambarkan bahwa dalam enam tahun terakhir, HuMa mencatat konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara separuh Sumatera Barat.

Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan kehutanan ini mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun. Sektor perkebunan 119 kasus dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedang sektor kehutanan 72 kasus dengan luas area mencapai 1,2 juta hektar lebih.

Salah satu isu yang terhangat soal agraria terjadi di Kulon Progo. Konflik agraria yang terjadi di daerah Yogyakarta ini kembali mencuat ke permukaan.

Rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sebenarnya sudah ada isunya ketika pemerintahan bupati periode sebelumnya, yaitu pada saat Pak Hasto menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Pada penghujung 2011, mulai muncul isu akan dibangunnya bandara baru. Pada tahun 2012, isu pembangunan bandara ini semakin santer terdengar dan mulai menimbulkan pertentangan di masyarakat (pro dan kontra).

Setidaknya enam tahun belakangan ini masyarakat di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo mengalami pergolakan, karena disebabkan oleh adanya pembangunan bandara baru yang nantinya akan menggantikan bandara lama, yaitu Bandara Adisutjipto sebagai bandara komersil. Sedikitnya ada lima desa yang terdampak pemabangunan bandara, yaitu Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Desa Jangkaran. Dari lima desa itu ada dua desa yang memang terkena dampak paling luas, yaitu Palihan dan Glagah.

Penolakan pembangunan bandara dilakukan oleh mereka yang benar-benar menolak adanya bandara, yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT). Ada juga masyarakat yang mendukung (pro), namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka ajukan.

Di antara syarat yang harus dipenuhi, yaitu masalah ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis. Namun, dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I, yaitu mengenai relokasi gratis.

Hingga saat ini, konflik agraria di Kabupaten Kulon Progo masih berlangsung. Penggusuran rumah, seperti yang dikutip dari Tirto.id, jumlah warga yang masih gigih menolak menyerahkan lahannya untuk lokasi Bandara Kulon Progo memang tak banyak lagi. Jauh merosot dibanding lima tahun lalu saat rencana proyek ini muncul.

Kini, tersisa 38 rumah atau 250-an jiwa dengan sejumlah bidang pekarangan dan ladang yang belum diserahkan ke PT Angkasa Pura 1. Eskalasi konflik meningkat di lapangan yang berujung penangkapan 15 aktivis pada Selasa, 5 Desember 2017. Mereka baru dikeluarkan pada pukul 10 malam.

Penanganan konfilk agraria yang dilakukan di berbagai banyak tempat juga cenderung refresif. Tujuannya untuk menangani konflik, akan tetapi justru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak sipil politik ketika melakukan penanganan terhadap masyarakat yang menuntut hak atas tanah melalui aparat hukum seperti Polisi dan tantara.

Bagaimana arah reforma agraria dan penyeleaian konflik ke depan? Ini menjadi pertanyaan sekaligus tantangan bagi pemerintahan saat ini.

Referensi:

Wibowo, L. dkk. 2009. Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria. Alfamedia. Yogyakarta.

Mojok, 2017, Kulon Progo dalam Pusaran Kekerasan dan Konflik Agraria, (diakses di https://mojok.co/redaksi-mojok/komen/status/kulon-progo-dalam-pusaran-kekerasan-dan-konflik-agraria/ )

BEM KM UGM, 2017 ( Prahara Mega Proyek Pembangunan Bandara Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi Dan Resolusi) diakses di http://bemkm.ugm.ac.id/2017/09/12/opini-prahara-mega-proyek-pembangunan-bandara-kulon-progo-anatomi-eskalasi-dan-resolusi/ 2017 )

Saturi, S. 2013. Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan Kehutanan Di akses http://www.mongabay.co.id/2013/02/16/tersebar-di-98-kabupaten-konflik-agraria-didominasi-sektor-perkebunan-dan-kehutanan/ )