“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.
(QS. Annisa:75)
Sekitar satu minggu yang lalu, ada seorang kawan yang membawa cerita pedih dari kampung halamannya. Cerita itu hingga detik ini masih tersimpan rapi dan utuh dalam ingatan. Tak pernah terhapus dan terlupakan. Tak pernah sedikit pun rontok dan tertindih dengan ingatan-ingatan yang lain. Persis seperti apa raut wajahnya saat ia bercerita, benar-benar masih membekas dengan kuat di balik tempurung kepala ini.
Ya, waktu itu ia bercerita dengan rilih dan penuh hayat; tentang lahan-lahan di desanya yang saat ini sebagian besar telah terrampas dan dikuasai pemodal. Ia pun juga bercerita, sebagian masyarakat di desanya telah mulai khawatir dan resah: bagaimana kelak masa depan anak-cucu mereka jika tanah-tanah tempat ia dilahirkan dulu telah ludes dikuasai investor?
Sebagian mereka sadar. Mereka tak mau menjadi babu di tanah kelahirannya sendiri, menjadi marginal di tanah kekuasaannya sendiri. Tetapi mereka juga bingung: siapa/apa yang bisa menolong mereka?
Proses borong lahan oleh sejumlah investor di Sumenep kini hampir terjadi di semua pesisir kabupaten ujung timur pulau Madura ini. Awal tahun 2017 silam, sempat ada aksi solidaritas besar-besaran antara petani dan sejumlah mahasiswa untuk menolak investor yang melahap habis lahan di Sumenep itu.
Tetapi sayang, aksi tersebut tak membawa hasil yang signifikan. Pemerintah daerah malah semakin menggelar “karpet merah” untuk para investor,proses penguasaan dan privatisasi lahan tetap berlangsung, seiring waktu terus melangkah. Beberapa lahan yang sudah terbeli, kini banyak dibangun tambak udang. Penduduk di sekitar tambak mulai gelisah atas limbah dan penutupan beberapa akses jalan karena pembangunan industri tambak tersebut.
Zaini, panggilan akrab kawan yang sempat cerita tentang desanya tadi itu, menghentikan keluh kesahnya dengan pertanyaan putus asa: “siapa yang bisa menghentikan ini semua?”
Waktu itu, saya juga bingung dan merasa tolol untuk memberikan jawaban. Karena perampasan ruang hidup tersebut bukan masalah sepele. Peristiwa itu terjadi bukan karena penduduk desa yang bodoh dan tak berpendidikan. Aksi borong lahan tersebut justru berlangsung melalui logika-logika premanisme, melalui pendisiplinan umat oleh aparatus negara (misalnya: militer, dalam kampanye anti-radikalisme), dan melalui skema-skema filantropis: pembangunan daerah, peningkatan ekonomi kerakyatan, kesejahteraan umat, dst.
Tepat dalam kondisi inilah, para penduduk desa—sang pemilih lahan—mengalami apa yang dalam istilah Michel Foucault, disebut, “the deth of human” (kematian manusia); satu keadaan dimana mereka mati dalam sistem diskursif, lantaran dominannya “kesadaran” yang dirumuskan secara hegemonik oleh kekuasaan (wacana dan politik).
Ternyata, di tempat yang lain, kasus seperti ini, polanya juga sama. Alih-alih untuk pembangunan dan kemajuan ekonomi, tetapi justru yang terjadi orkestrasi perampasan ruang hidup, penggusuran rumah warga dan penghancuran Sumber Daya Alam. Konflik agraria seperti ini telah berlangsung di berbagai pelosok Negeri ini. Bukan hanya di Sumenep.
Mari kita sebut satu persatu: kasus Kendeng di Jawa Tengah, kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi, Kasus Reklamasi di Bali, Proyek Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo Yogyakarta, penggusuran rumah warga Taman Sari di Bandung adalah problem agraria yang sukses membuat rakyat hanya gigit jari di hadapan arogansi dan rakusnya pemodal borjuis.
Inilah ironi kemanusiaan hari ini. Yang melanggengkan diskriminasi, penindasan dan meremukkan kedaulatan rakyat-rakyat kecil. Saat negara sudah pro-pemodal, tak peduli nasib rakyat, kita sah bertanya: ke mana mereka akan menyandarkan diriuntuk berlindung? Kita tahu, rakyat-rakyat kecil yang terbelit problem agraria tersebut adalah umat muslim yang taat. Seperti penduduk muslim di Sumenep. Siapa yang tak tahu religiuitas mereka dalam beragama, misalnya?
Tetapi, apakah keberislaman mereka—dan keberislaman orang-orang di sekitar mereka—mampu menyelamatkan mereka? Tidak. Keberislaman kita hari ini berada dalam problem klasik: Islam kita belum sungguh-sungguh hadir sebagai malaikat penyelamat bagi mereka yang tertindas.
***
Umat muslim hari ini lebih senang tenggelam dan terhanyut dalam arena politik elektoral, terlibat dalam perdebatan-perdebatan politik identitas, dengan saling melempar kebencian, fitnah, hoax, demi mendukung calon politiknya masing-masing. Dengan ini semua, kita bisa mengatakan dengan nada kecut: keberislaman kita hari ini berlangsung sangat borjusitik, yang melanggengkan egoisme, ketamakan, kepentingan pribadi dan kemewahan materil, diatas sifat kemanusiaan yang tersingkirkan.
Ya, pada titik inilah, keberislaman kitaterlempar dari problem-problem kemanusiaan. Islam yang bisu dari realitas. Ia hanya menjadi rongsokan dogma yang populer tapi tidak populis. Ia menjadi doktrin-doktrin yang hanya terdengar keras di mimbar-mimbar masjid, di khotbah-khotbah jum’atan, tapi tak pernah menemukan perwujudannya secara progresif di tengah-tengah ummat.
Sesuatu yang remuk dalam keberislaman kita ini adalah keberpihakannya terhadap problem-problem rakyat tertindas. Dengan kata lain, keberislaman kita hari ini mengalami pergeseran ideologis yang sangat berarti:dari ruang-ruang sosial, dari problem riil kerakyatan, yang lebih sengit dan terbuka, ke ruang-ruang yang secara struktural cenderunglebih tertutup: kampus, kegiatan seminar, forum diskusi, simposium, dst.
Konsekuensinya, wacana Islam akan lebih tampak sebagaikeahlian akademik tingkat tinggi yang terlalu berorientasi ke dalam, menjadi kesibukan birokratik yang rutin, dan lupa pada peran sentralnya di luar, pada publik yang lebih luas,sebagai nalar dan spirit pembebasan.
Atau dalam spirit Gramscian, kita sedang kehilangan etos keberagamaan yang organik, yakni: sebagai subjek intelektual yang mampu terlibat secara aktif dalam menerjemahkan ide-idenya ke dalam praksis dan kenyataan sehari-hari. Bukan seperti saat ini; kondisi dimana Islam sibuk di atas menara gading, yang sifatnya elitis, dengan merasa perlu mengajarkan pencerahan kepada umat yang dianggap sedang terpuruk dalam kegelapan intelektual, namun tanpa mereka sendiri terlibat dalam kerja-kerja pencerahan itu secara langsung di akar rumput.
Dalam kondisi inilah, proses terputusnya antara ajaran keislaman dan kondisi-massa dengan mudah terjadi. Alih-alih mencerahkan, tetapi justru menggelapkan. Semakin membuat umatnya teralienasi dari problem-problem lokal dirinya sendiri. Seperti yang terjadi dalam kasus perampasan ruang hidup di atas tadi.
Diakui atau tidak, dari sejumlah konflik agraria yang hari ini terjadi, hampir tidak ada ormas-ormas besar yang mengambil sikap tegas dan “pasang badan”dalam membantu nasib buruh tani muslim proletar tersebut, yang hari benar-benar terdiskriminasi atas nama pembangunan. Salah satu kasus terbaru, yakni di Kulonprogo. Demi pembangunan bandara internasional di Yogyakarta tersebut, penduduk tani miskin di sana rumahnya tergusur, rata dengan tanah.
***
Tentu, penduduk disana tidak butuh wacana-wacana “langit” para akademisi studi Islam, tidak butuh stempel haram/halal MUI, orasi-orasi murahan “NKRI harga mati”, atau teriakan takbir di jalanan. Yang mereka butuhkan hanya solidaritas perlawanan agar mereka dapat mempertahankan tanah kelahirannya yang hari ini penuh dengan puing reruntuhan bangunan yang baru saja dirobohkan.
Sama juga dengan kasus di Sumenep. Yang mereka butuhkan hari ini lebih dari sekedar do’a-do’a kita di masjid. Ya, yang mereka butuhkan adalah keberislaman kita yang progresif, spirit keimanan beragama yang mewujudkan diri dalam geraka-gerakan emansipasi kerakyatan.
Nah, untuk sampai ke arah itu memang tidak mudah. Butuh waktu, totalitas dan konsistensi yang mapan. Dan kita dapat memulai itu semua pelan-pelan sejak detik ini. Pelan tapi pasti. Wallahua'lam...