Koneksi atau lazim digunakan untuk menyebut praktik perantara yang membantu orang yang tengah melamar pekerjaan; atau sedang mengurus perizinan atau mendapat pelayanan dari pemerintah atau perusahaan swasta.
Lalu apa hubungan antara koneksi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)? Kaitannya tak lain karena koneksi alias mediator, atau perantara dalam upaya memfasilitasi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan fasilitas dari pemerintah dan kekuasaan tidak jarang menggunakan uang, sogok, dan gratifikasi.
Karena itu, meski praktik perantara atau koneksi dapat dipandang sebagai bentuk ‘tolong-menolong’ di antara wasit dengan orang sesama karib kerabat, suku, atau bahkan sesama alumni dari lembaga pendidikan tertentu, terbukti turut menumbuh-suburkan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Praktik tolong-menolong tanpa melibatkan uang, hadiah, atau gratifikasi oleh sebagian ahli disebut sebagai koneksi positif. Misalnya, bila seorang profesor merekomendasikan mahasiswanya yang istimewa dalam aplikasi kuliah lanjutan atau melamar pekerjaan. Jadi, koneksi atau perantara positif menjadi semacam jaminan tentang kualitas orang yang direkomendasikan.
Namun, koneksi atau perantara positif bisa berubah jadi negatif jika orang yang direkomendasikan tidak atau kurang memiliki kapasitas; inilah yang disebut koneksi atau perantara negatif.
Praktik koneksi atau perantara negatif lazimnya merajalela dalam dunia kerja, baik dalam pemerintahan maupun swasta. Sering orang mendapat promosi jabatan dan posisi tertentu karena lobi koneksi, perantara atau mediator; bukan karena keunggulan kapasitasnya. Praktik ini tak lain adalah KKN.
Bukan rahasia lagi, praktik koneksi, perantara atau mediator yang tercakup dalam KKN merupakan hal biasa di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan atau swasta. Upaya pemberantasan tampaknya belum banyak berhasil memberantas praktik tersebut di Indonesia.
Berlanjutnya praktik koneksi, perantara atau mediator di Indonesia, terkait dengan kenyataan, intermediasi masih merupakan mekanisme utama bagi alokasi sumber daya pada institusi publik negeri maupun swasta. Dengan begitu, intermediasi membuat kompetisi yang adil dan meritokrasi tidak bisa menguat.
Dalam keadaan seperti ini, masyarakat Indonesia terus berada dalam transisi antara pola budaya tradisional, seperti koneksi, perantara atau mediator, dan modernitas, baik dalam kehidupan pemerintahan maupun swasta.
Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan dan dunia usaha mengalami distorsi; segala sesuatunya menjadi mahal, khususnya dalam dunia usaha terjadilah apa yang disebut sebagai high-cost economy—ekonomi biaya tinggi. Distorsi akibat koneksi, perantara atau mediator negatif mengakibatkan ekonomi tidak bisa berkembang baik; tetap terkebelakang.
Itulah sekilas gambaran tentang koneksi, perantara atau mediator dan KKN dalam dunia kerja. Banyak pencari kerja merasa optimis kadang pesimis ketika memasuki dunia kerja, karena di sanalah pertempuran hidup katanya segera dimulai.
Di saat-saat itulah maka hal yang tak terpikirkan akan dialami, banyak orang mulai menyadari bahwa rupanya yang pintar, cerdas, yang berpendidikan tinggi belum tentu dilirik dan dibutuhkan.
Dunia yang rasanya sungguh paradoks bahkan tidak adil. Bagaimana mungkin yang sewaktu di bangku sekolah atau di bangku kuliah tidak tahu apa-apa, levelnya selalu ada di bawah. Ia malah duluan dipanggil, bahkan tanpa lamaran kerja ia bisa lenggang masuk menyingkirkan banyak saingannya yang lebih berbobot, lebih berpotensi, dan berkualitas.
Kadang menjadi lelucon ketika orang masih mengandalkan kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya, maka banyak orang kemudian tertawa atas kenaifanmu. Katanya, “hari gini…mengandalkan kemampuan?, ha…ha…ha”. Maka hal itu kedengaran cukup menyakitkan bagi siapa pun.
Ketika ia mencari-cari tahu apa kelebihan orang lain dibandingkan dirinya, maka ia harus tercengang dan berkata, “dunia memang tidak adil dan kejam.” Ternyata karena mereka punya koneksi, ada yang mempromosikannya. Lalu siapa yang bisa kuandalkan? Andalkan diriku sendiri tak memberi hasil apa-apa.
Kadang muncul rasa pesimis untuk apa aku dulu sekolah mati-matian? Mungkin demikianlah yang terlintas di benak banyak orang yang sedang binggung mencari pekerjaan.
Saat-saat seperti itu, banyak yang kemudian pasrah pada keadaan. Kecewa karena tak seorang pun yang bisa untuk diandalkannya, tak seorang pun yang bisa mempromosikan. Butuh uang sebagai modal utama untuk masuk ke dunia kerja.
Uang untuk masuk kerja dan bekerja untuk uang? Lingkaran setankah itu? Aneh tapi nyata. Lalu karena belum bekerja uang untuk masuk kerja dari mana?
Bahkan harta orang tua pun rupanya sudah habis untuk sekolah. Selama menganggur berbulan-bulan bahkan bertahun masih meminta untuk dibiayai orang tua. Ada rasa yang bercampur aduk di dalam hati, maka makin terasalah kekecewaan itu.
Bagi pencari kerja sekarang ini, ketika menghadapi situasi itu, jangan pernah menyerah. Tetaplah berusaha dan terus berdoa.
Orang lain bisa mengandalkan koneksi untuk mempromosikannya, bisa mengandalkan uang orang tuanya untuk membeli posisinya, tapi yakini bahwa masih ada yang senantiasa bisa untuk diandalkan, yang selalu setia menjadi koneksi terdekatmu, yang punya kuasa untuk mempromosikan dirimu.
Siapakah dia itu? Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa Allah Swt, Dia yang punya segalanya di bumi ini? Dia yang maha kaya, maha memberi rezeki, lalu apa yang sulit bagiNya? jika sekedar mempromosikanmu?
Tidak ada yang sulit cuma butuh keintiman denganNya. Bawa semua bebanmu dan mintalah Ia mempromosikan dirimu, maka sinar kemuliaan akan melingkupimu akan membuka hati banyak orang untuk menerimamu bekerja.
Jika sekarang ini banyak orang berkata, “semua harus pakai uang, kalau gak ada uang …mana mungkin bisa kerja?” Jangan tergoda dengan ucapan seperti itu, karena mereka yang berkata seperti itu hanya mengadalkan uang atau mengandalkan manusia atau segala sesuatu.
Mereka yang masih mengandalkan uang dan atau bergantung penuh kepada manusia kadang melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara alias bisa berbuat curang. Jangan biarkan kecurangan melekat dan mendarah daging dalam diri. Jangan sampai anak cucu kita mengikuti jejak yang memalukan seperti itu.
Kejujuran harus diterapkan dari awal. Jangan biarkan dunia menguasai kita dan kita menjadi budak dan diperalat sesuatu.
Kebobrokan mental sudah hal yang tak asing lagi sekarang ini. KKN di mana-mana. Jadi ajarkan anak-anak dan generasi muda kita cara hidup yang benar, mencari sandaran hidup yang benar, menjadi manusia yang berkualitas seutuhnya. Jangan sampai pola laku yang salah dicontoh kemudian diceritakan dari generasi ke generasi.
Mulailah sandarankan semuanya kepada pemilik kehidupan ini agar kita tidak diombang-ambingkan keadaan hidup sekarang ini. Bangun hidup ini dengan keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah Swt maha segalanya. Segala yang tidak mungkin akan menjadi mungkin.
Mengingat koneksi, perantara atau mediator negatif merupakan praktik lazim di Indonesia, wajar jika muncul pertanyaan tentang peran agama jelas melarang praktik KKN, termasuk koneksi, perantara atau mediator negatif. Tapi, masih saja mempraktikkan koneksi, perantara atau mediator negatif dan berbagai bentuk tindakan KKN lain.
Menapa sampai demikian? Tak lain karena kuatnya motif pragmatis dan oportunistik untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, dan kekayaan.