Tahun kemarin, publik dipertontonkan sebuah penghakiman atas seorang komedian tanah air bernama Tuan AT. Kenapa? Oleh siapa? Ada yang dukung AT? Banyak penasaran muncul.
Buntut tahun kemarin, AT akhirnya konon “diistirahatkan” dari program acaranya di salah satu televisi swasta di negara hukum RI. Ini katanya bini saya punya teman kepada bini saya. Bahkan, AT minta maaf atas "ujaran kelucuan" itu (saat AT meniru lakon politikus pantang nyerah jadi presiden RI, dan saat menyebut merek sepatu seorang tokoh di salah satu agama).
Padahal pesan dalam ujaran kelucuan itu sangat luar biasa. Comedy menjadi sebuah alat untuk dapat menyampaikan pesan-pesan yang membosankan secara formal oleh para politikus di tanah air kita, yang saban kita tonton dari model prime-time news dan debat-debat formalistik yang dipertontonkan mereka-mereka yang berpendidikan.
Saya, akan dengan lancang bilang kalau AT, adalah lelaki setengah burung, tetap kita (ekh, saya) coba pahami posisi AT dan pimpinan N*T yang menjegal dia (dengan atau tanpa kata sepakat), karena lawannya itu segerombolan massa yang saban dikawal beraksi beringas hingga trengginas oleh oknum.
Publik bisa melihat beberapa pelawak yang dijadikan korban oleh mereka yang merasa tersakiti oleh penyampaian ujaran kelucuan ala AT. Para pelawak ini malang karena ujaran kelucuannya.
Ngomong-ngomong, sempat saya, kalau nyari bahan buat tawa, menonton videonya Arif Si Fales, apalagi pas dia duet sama cewek cantik manis yang bersuara fantastis. Ingin ku-UUITE-kan, setiap Arif memainkan rasa dan alunan nada di tiap kata yang dinyanyikan beliau. Tapi, pikiran dan hati saya bilang tidak pas.
Negara jawasentris, alias Indonesia ini, punya beberapa catatan, komedian yang berurusan dengan penguasa, karena ujaran kelucuannya, semisal: Alm. Tuan Jojon yang dirindukan. Tahukah kita lelucon monyet di uang lima ratus rupiah yang mencari “bapak monyet?” Se-Indonesia tentu tahu, karena ujaran kelucuan itu, abadi. Hingga saat saya menulis ini pun masih senyum-senyum. “Memang Bapak Monyet!”
Sebelum kembali ke soal tragedi AT, saya akan menceritakan sebuah cerita tentang Aristophanes, The Father of Comedy. Bapak Komedi dari Athena.
Ucapan Aristophanes pada seorang pejabat Athena, bernama Kleon, sekitar tahun 425 SM yang sangat menggugah: “I’m a comedian, so I’ll speak about justice, no matter how hard it sounds to your ears.”
Begini laku Si The Father of Comedy, di masa sebelum kelahiran Jesus itu. Kalau dia lahir pas Zaman Yesus, mungkin Yesus pun akan menjadi lawakan realitasnya.
Sekitar tahun 426 SM dalam festival drama tahunan di Athena, drama komedi berjudul The Babylonian ditulis oleh penyair muda bernama Aristophanes, dan menjadi juara satu.
Masalahnya, drama tersebut dinilai melecehkan Athena semasa dalam Perang Peloponnesian setelah pentas usai. Seorang politisi bernama Kleon menuntut Aristophanes ke pengadilan dengan tuduhan: “menghina rakyat Athena di hadapan orang asing”.
Dia kembali dua tahun kemudian dengan lakon “The Knights”. Dalam sandiwara ini, dia dengan terang-terangan menyerang si Kleon tadi. Akhir cerita karakter Kleon, dalam sandiwara ini, berakhir dengan bekerja sebagai penjaja saus keliling di luar gerbang kota.
Gaya satire adalah konsekuensi dari demokrasi tanggung di Athena pada Abad ke-5, sekarang disebut “old comedy”.
Lakon karya Aristophanes adalah paling awal dari perjuangan drama sandiwara, yang diisi oleh ragam parodi, lagu, lawakan seks dan imajinasi absurd.
Karyanya sering menggunakan imajinasi liar, situasi absurd, seperti sang pahlawan naik ke surga dengan menunggangi lebah mabuk, atau jaring perangkap yang menutupi sebuah rumah hanya untuk supaya ayah pemilik rumah terjebak di dalamnya, untuk mengalihkan atau memancing penasaran para pemirsa pertunjukan.
Sejak itu, Aristophanes telah memberi bentuk, menciptakan sejarah, bagaimana seni komedi itu ditulis dan dipertunjukkan.
Kata “comedy” berasal dari Yunani kuno yakni: “komos” – berarti bersukaria dalam kesukaan dan “oide” – berarti menyanyi, dan itu sungguh berbeda jauh dengan “sohib” dekatnya, seni pertunjukan bentuk “tragedy” dalam banyak hal. Tragedi Athena sering membawa isu kejatuhan dan tewasnya mereka, orang-orang yang mulia dan agung. Komedi biasanya berakhir bahagia.
Tragedi bahkan sering meminjam cerita dari tokoh legenda yang ada. Komedi nyaman dengan kejadian-kejadian faktual keseharian.
Karya pertunjukan sandiwara Aristophanes merayakan, memuja orang-orang biasa dan menyerang orang-orang yang punya kekuasaan dan kekayaan.
Sasaran lawakannya adalah para politisi arogan, jenderal gila perang dan haus darah, intelektual yang hanya peduli diri sendiri, tepat! Mereka orang-orang yang duduk dalam kursi depan pertunjukan di gedung teater, di mana setiap penonton bisa melihat reaksi para sasaran ini.
Hasilnya, mereka itu lazim dikenal komoidoumenoi, yaitu mereka yang menjadi objek tertawaan di lakon sandiwara.
Ujaran kelucuan Aristophanes yang jahat dan menyerang intelektualitas ini, membuat para pemimpin harus menimbangnya, merefleksi tanggung jawabnya. Ujaran kelucuan itu seperti penguji komitmen mereka atas daerah yang mereka pimpin.
Kemudian, dalam “Lysistra.” Dalam sandiwara ini, para perempuan Athena sangat muak akan perang dan melakukan demonstrasi dalam bentuk “perlawanan no sex”. Tujuannya sampai suami mereka berhenti berperang, dan melakukan perdamaian.
Lakon lain sejenis yang juga adalah skenario fantastis yang harus diperhatikan sesuai kondisi dan topik yang update, di masanya, seperti “Clouds”, saat Aristophanes menyindir para filsuf yang berpikir mewah dan wah di awang-awang.
Pahlawannya bernama Strepsiades, yang mendaftar di Sekolah Filsafat yang didirikan Socrates, di mana Strepsiades belajar bagaimana membuat dan membuktikan bahwa salah itu adalah benar dan sebuah hutang atau kewajiban bukanlah hutang atau kewajiban.
Tidak peduli bagaimana uniknya alur yang ada, sang pahlawan akan selalu menang di akhir cerita. Selalu menang, semua penonton akan gembira ria.
Dengan pencarian ide baru dan mendorong kritik ke dalam masyarakat Athena, Aristophanes juga menyindir penduduk yang bahkan mendukungnya, tapi terang, bahwa Aristophanes mengubah bentuk alami dari komedi itu sendiri.
Beberapa cendekiawan menyebutnya sebagai Bapak Komedi, jejak langkah kreativitasnya terlihat dalam semua teknik lawak di mana pun di dunia, dari model slapstick, peran ganda, meniru tokoh tertentu hingga satire politik.
Kebebasan berpendapat adalah alasan utama, dalam mengusung perayaan terhadap pahlawan-pahlawan yang kebetulan orang-orang biasa yang selalu ditulisnya. Setiap karyanya membuat pemirsanya sekaligus berpikir saat mereka tertawa.
Kemudian, kita melihat pelawak bernama AT tadi, dia dijegal oleh sebagian masyarakat atas ujaran kelucuannya dalam ruang yang semua tentu sepakat itu lawakan. Taruhlah kita sepakat kalau yang melapor itu ada setengah dan yang pro ada setengah. Apakah, kemudian, ruang tafsir dalam seni lawakannya harus membuatnya dibungkam?
Masalahnya, lawakan seperti ini memberi kita ruang berpikir, bahkan sekadar menyegarkan ingatan kembali, bahwa si objek lawakannya harusnya merefleksi, dan masyarakat yang disuguhi harus kritis berpikir.
Jika ada yang keberatan atas penjegalan kepada AT ini, sepatutnya seluruh pelawak di dunia keberatan, setidaknya para pelawak di Indonesialah, atau pelawak di N*T. Atau? Baiklah, saya akan keberatan sendiri.
Saya akan menggelitik kesadaran publik untuk sepakat bahwa lawakan itu sarana paling efektif menjangkau masyarakat, semua lapisan, atas ketabuan di negara ini yang harus diketahui.
Tidak semua orang bisa kita senangkan. Tapi menyenangkan orang dengan kebenaran melalui ujaran kelucuan tentu seharga untuk Indonesia yang lebih baik.
Buat para comedian: “You are a comedian, so You’ll speak about justice, no matter how hard it sounds to our ears.”
Tapi, khusus buat Tuan AT, tidak apa memilih diam dan mundur ketika tiada yang mendukung, apalagi sudah menyangkut istri, yang tidak akan lepas konsekuensi pada anak kemudian; keutuhan keluarga.
Setiap orang Indonesia paham itu, karena ada UU ITE. Bukankah pantas kita bertanya, tidakkah itu UU, gacoan mereka para aparat dan/atau politikus pintar, yang di bibir bilang cinta akan kritik?! Nyatanya? Ambyarrr!
Barusan juga, Tuan AT dilaporkan kembali atas ujaran kelucuan tersangkut dengan marga artis PL, yang semua kondisi ini mengerucut pada sebuah ide. Seharusnya setiap pelawak memiliki hak imunitas—seperti setiap anggota perwakilan rakyat—atas setiap ujaran kelucuan yang keluar dari mulutnya.