Alquran menarasikan perempuan sebagai perhiasan dunia dengan figur maratus salihah atau wanita salihah, wanita yang baik budi pekertinya. Beberapa hadis juga telah menjadikan perempuan sebagai objek birahi atau mazinah sahwat, di mana suami dapat memuaskan hasrat birahinnya.

Redaksi-redaksi Alquran juga siap menjadikan perempuan sebagai ladang yang siap dicangkul dari arah mana pun. Ladang yang dimaksud adalah maudhu' al walad atau tempat anak (rahim).

Begitu pula redaksi hadis telah menjelaskan bahwa perempuan (istri) sebagai solusi akhir keterangsangan liar saat pria (suami) melihat perempuan lain yang mampu membangkitkan syahwatnya.

Begitu menariknya redaksi sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi ini saat Rasulullah saw masuk ke Masjid Nabawi dalam keadaan rambut masih basah setelah mandi besar.

Kemudian Rasulullah saw bersabda kepada para sahabat: jika engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu.

Bagaimana jika terbalik, ketika perempuan (istri) yang terangsang? Apakah dia akan dengan bersegera mendatangi suaminya yang bisa jadi jauh bekerja di luar rumah?

Probabilitas atau nilai kemungkinan keduanya, baik suami atau istri, adalah kecil keterlaksanaannya jika itu terjadi atau dikaitkan dalam sebuah tatanan strata wanita karier ataupun pria pekerja.

Telah jamak terjadi bias dalam seksualitas patriarki, khususnya hal koitus (sex intercourse). Bias pada koitus patriarki terjadi pada saat mereka berhadapan dengan pemahaman dari teks-teks lingua sacra. 

Bias itu bisa saja bersumber dari pembacaan male centrist sebuah kitab suci, ataupun referensi-referensi sakral lainnya. Bias tersebut kemudian diangkat ke dalam isu generasi dan isu moralitas yang akan terus-menerus memengaruhi generasi berikutnya.

Isu ini juga berdampak pada pemahaman di mana wanita yang baik-baik dan bermoral adalah dia yang dikonsepsikan mampu menjaga kehormataan tubuhnya sendiri dan harus selalu siap sedia melayani sang suami bagaimanapun keadaannya.

Penjagaan diri di saat terangsang juga menjadi soroton pengemban konsep koitus patriarki dalam beberapa solusi yang dianggap menjadi solver atau pemecah kebuntuan.

Contoh menariknya ketika keadaan membalik, di saat perempuan (istri) terangsang oleh sesuatu apa saja hingga ingin menyelesaikannya dalam bentuk pemuasaan seksual. Sementara dalam redaksi hadis, tidak dijelaskan keadaan yang berbalik arah tersebut.

Tidak ada pula ada anjuran untuk lari ke suami. Apakah ini implisit atau tersirat yang artinya redaksi hadis itu juga berlaku vice versa? Ataukah pula terhalang karena kesopanan? Yang pasti, ini akan bermasalah ketika keduanya (suami dan istri) tidak pada perimeter dekat.

Hingga, terbitlah beberapa riwayat walaupun lemah tentang bagaimana usaha perempuan dalam masturbasinya. Paling tidak, riwayat ini telah menjadi wacana bagaimana detailnya koitus patriarki memandang perempuan dalam segala hal hingga sangat mendetail sekali.

Riwayat lemah tersebut kemudian didampingi dan dikuatkan oleh riwayat lainnya untuk bisa memproduksi fatwa tentang haramnya masturbasi pada perempuan.

Adapun riwayat lemah tersebut ada dalam kitab Badiu Fawaid yang dengan probabilitas kejadian fenomenanya yang cukup tinggi saat itu jika dikaitkan dengan keterhubungan kebiasaan masa kekinian.

Apalagi dalam keadaan perang ataupun safar (perjalanan) yang cukup memenuhi syarat probabilitas keterlaksanan pemuasan seksual dari sebuah LDR (Long Distance Relationship) ataupun non-LDR. 

Adapun riwayat lemahnya tersebut adalah sebagai berikut: bagi seorang perempuan yang tidak memiliki suami, dan jika nafsunya memuncak, maka berkata sebagian sahabat kami, boleh bagi mereka (perempuan) untuk mengambil kulit lunak yang berbentuk batang zakar (penis) atau mengambil ketimun atau terong berukuran mini lalu ia masukkan ke dalam kemaluannya.

Fenomena yang dikatakan sebagai riwayat lemah itu tentunya saat ini bukan barang baru lagi, bahkan kuat dengan melihat gestur-gestur pemuasan mandiri era kekinian.

Riwayat lemah di atas paling tidak sudah menunjukkan bagaimana kuatnya budaya koitus patriarki yang begitu mendetail sorotannya jika berurusan dengan perempuan.

Termasuk pula isu generasi tentang pemahaman bahwa wanita harus tetap perawan dan belum pernah disentuh sampai saat pernikahan dalam rangka menyenangkan sang suami di malam pertama dan juga untuk menjaga kehormatan keluarga.

Model pepatah: rumput tetangga kelihatan lebih hijau dari halaman sendiri, ini juga termasuk dominasi berbau koitus patriarki yang mewakili pengalaman berbagai rasa “rumput” yang pernah dicicipi. Lebih jelasnya, tergambar pada diskursus biner poligami-poliandri.

Dalam pembacaan-pembacaan lingua sacra yang lebih lanjut, perempuan bisa jadi dianggap sebagai tempat di mana setan bersemayam untuk menggoda laki-laki yang salih. Ini juga pola-pola dari sebuah pemahaman koitus patriarki yang demonic association.

Pembacaan-pembacaan model di atas jelaslah cara male centrist. Ini bukan hanya berbahaya untuk semangat keadilan dengan mengaburkan nilai-nilai sakral dalam hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga mengakibatkan distorsi dan memberikan konsepsi akan keberpihakan Tuhan pada satu entitas gender tertentu saja.

Hal lainnya yang menunjukkan dominasi koitus patriarki disebutkan dalam kitab-kitab klasik dan populer tentang bagaimana ditekankan untuk tidak melakukan WoT (Women on Top). Termasuk pula aturan azl (coitus interuptus) atau koitus terputus yang sangat koitus patriarki sekali.

Pria dengan seenaknya mencabut kemaluannya saat akan ejakulasi, sementara saat-saat itulah kenikmatan terjadi karena jaringan sponge penis membesar maksimal hingga menyesakkan liang senggama.

Apa yang terjadi? Namanya juga “terputus”, maka pria akan meninggalkan raungan dan gerak-gerak otot peristaltik liang senggama perempuan yang hebat berkedut tanpa ada yang diremas atau yang diisap. Di situlah derita yang tiada tara bagi perempuan.

Maka dengan melihat fenomena di atas, nyatalah bahwa ada sisi dominasi koitus patriarki dalam sebuah pembacaan yang sangat male centrist sekali.

Seksualitas adalah bawaan lahir, sedang moralitas yang dibangun oleh teks-teks lingua sacra adalah konstruksi sosial. Sedangkan koitus patriarki dan pembacaan male centrist hanya melihat dari satu sisi konstruksi sosial saja dan ini semestinya tidak absolut.

Artinya, moralitas itu sangatlah susah atau bahkan tidak bisa diseragamkan.