“Perempuan yang berjilbab belum tentu baik, namun perempuan baik sudah pasti berjilbab”. Kutipan ini tentu tidak asing kita baca, jika kita mau membuka akun media sosial kita yang entah kenapa akhir-akhir ini penuh ajakan untuk “berhijrah” bagi para muslimah. Berhijrah yang dimaksud tentu bukannya melakukan perjalanan dari Mekkah ke Madinah seperti yang pernah dilakukan Rasulullah SAW, namun bergerak dari tidak berjilbab menjadi berjilbab.
Hm, saya lupa kalau istilah yang ngetren sekarang itu “hijab”, bukan lagi “jilbab”. Untuk seterusnya saya akan memakai kata “hijab”.
Kampanye mengajak perempuan muslim, khususnya di Indonesia untuk menutupi aurat dengan hijab tentu bukan hal yang buruk, namun kutipan di atas sangat mengganggu saya. Jujur, daripada mengganggu, lebih terasa membingungkan.
Saya tidak tahu orang mana yang awalnya menulis kutipan tersebut, tapi mari kita nalar. Pertama, mungkin memang benar bahwa banyak perempuan berhijab di Indonesia belum tentu baik, dalam hal prilaku. Saya pikir ini terjadi karena gelombang perkembangan komoditi hijab belakangan ini begitu deras, didukung dengan banyaknya selebritis yang awalnya tidak berhijab, kemudian berhijab. Mereka mengklaim diri mereka telah “berhijrah”.
Hal ini tentu saja membuat perempuan Indonesia banyak yang mengikuti jejak mereka, maka menjamurlah pedagang yang menjual hijab dengan berbagai model dan harga. Saya menyaksikan sendiri banyak dari teman perempuan saya akhirnya berhijab setelah aktivitas ini menjadi tren. Tentu, jangan lupakan peran media sosial, termasuk Instagram yang dijadikan tempat untuk menunjukkan aktivitas berhijrah tersebut.
Sayangnya, “hijrah” busana yang terjadi oleh beberapa teman saya tidak diikuti dengan hijrah prilaku yang semakin keislam-islaman. Banyak di antara mereka yang masih melakukan “lepas-pasang” hijab, dimana ada saat mereka berhijab kemana-mana, ada pula saat mereka kemana-mana dengan membiarkan rambut mereka terurai.
Bolong melaksanakan sholat wajib, menceritakan hal vulgar yang dilakukan bersama pacar, atau bergosip, bukan jenis kebaikan dan dilakukan oleh beberapa hijabers di sekitar saya. Tentu, kita pernah mendengar kasus mesum yang dilakukan remaja di tempat umum dengan perempuannya mengenakan hijab. Dan jangan lupakan koruptor seperti Ratu Atut. Maka, untuk hal ini, saya setuju pada bagian “Perempuan berjilbab belum tentu baik.”
Pada penggalan kalimat berikutnya yakni “Namun perempuan baik sudah pasti berjilbab”, saya merasa mengandung ambiguitas yang dalam. Begini sederhananya, bukankah beberapa ketidakbagusan prilaku yang saya sebutkan di atas dilakukan oleh hijabers? Bergosip, melakukan hal mesum di tempat umum, korupsi, bolong sholat wajib. Ini semua dilakukan oleh perempuan berhijab yang diklaim “perempuan baik sudah pasti berjilbab?”
Kutipan tersebut menurut saya sangat tidak adil, karena seakan menempatkan perempuan-perempuan muslim yang tidak berhijab sebagai perempuan yang "tidak baik" karena "yang baik sudah pasti berhijab". Mungkin kita perlu melihat lebih luas, bahwa banyak juga perempuan yang tidak berhijab tapi baik prilakunya. Contoh pertama saya letakkan pada Malala Yousafzai. Gadis Pakistan ini adalah aktivis yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak, terutama anak perempuan.
Ia pernah ditembak di pelipis kirinya oleh anggota Taliban karena vokal memperjuangkan pendidikan, namun berhasil selamat dan melanjutkan perjuangannya, berbicara pada dunia tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak dan perempuan.
Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan Nobel di bidang perdamaian dan menjadi penerima Nobel termuda di dunia karena saat itu ia masih berusia 17 tahun. Sehari-hari, Malala hanya mengenakan kerudung yang tidak menutupi rambutnya secara utuh.
Contoh kedua mungkin pantas diberikan kepada Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau lekat dikenal dengan Yenny Wahid, anak kedua dari Almarhum Gus Dur. Yenny saat ini menjabat sebagai Direktur di The Wahid Insitute, lembaga yang meneruskan cita-cita Gus Dur untuk menciptakan toleransi, demokrasi, dan multikulturalisme di Indonesia, bahkan dunia.
Cita-cita terciptanya toleransi antar umat beragama diwujudkan Yenny salah satunya dengan berbagai dialog antaragama yang membuka kesempatan untuk kesalingpengertian dan penghormatan. Usaha-usaha tersebut ingin menunjukkan wajah Islam yang damai, tentu saja.
Sama seperti Malala, sehari-hari Yenny hanya mengenakan kerudung yang menutupi sebagian kepala, dengan bagian dahi dan rambut terlihat.
Selain kedua orang di atas, tentu masih ada Najwa Shihab, jurnalis cerdas yang bahkan tidak menutupi kepalanya sama sekali, lalu ada aktivis perempuan Nawal El Saadawi. Saya rasa, di luar orang-orang terkenal itu, kita dapat menemukan dengan mudah perempuan yang tidak berjilbab, tapi baik, seperti seorang teman saya yang membentuk sebuah organisasi peduli satwa, yang kerap menyelamatkan anjing dan kucing yang tersiksa.
Di sisi lain, tentu juga banyak perempuan baik yang berhijab, contohnya mbak-mbak Keluarga Mahasiswa Islam di kampus saya yang murah senyum dan selalu menyediakan makanan berbuka lalu mengajak orang seperti saya berbuka bersama saat bulan puasa kemarin. Atau teman-teman saya yang tetap istiqomah dan sabar berhijab meski sering dihujat tidak pantas mengenakan hijab karena punya pacar. Maka saya pikir kutipan “Perempuan berjilbab belum tentu baik, tapi perempuan baik pasti berjilbab” lebih baik dihapuskan saja. Dunia ini warna-warni, klaim seperti ini seperti hanya menempatkan dunia dalam foto hitam putih.