Mungkin salah satu cara untuk membuat diri kita terkenal atau viral di hadapan publik adalah melontarkan kata-kata atau tulisan yang cukup membuat publik geram dan ingin melancarkan protes sebagaimana yang dilakukan kawan-kawan kita beberapa tahun lalu.

Misalnya, Rocky Gerung yang sukses membuat dirinya naik daun dengan ucapannya yang kontroversial dengan mengatakan, kitab suci itu fiksi. Dan di tahun dua ribu dua kita juga bisa menyaksikan gus Ulil Abshar Abdalla, sekarang pengampu ngaji Ihya, harus menuai banyak protes (bahkan ada yang mengharuskannya dihukum mati) gara-gara berusaha menghidupkan kembali pemikiran Cak Nur dengan tulisannya yang berjudul, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam. Sekedar info tulisan beliau yang dimuat di kompas ini baru bisa saya baca tiga tahun lalu saat duduk di bangku SMA.

Jika memang benar apa yang saya ungkapkan pada dua paragraf diatas maka selanjutnya dengan tulisan ini saya akan mengajak anda sekalian pembaca untuk membenarkan judul yang saya tawarkan. Kitab suci hanyalah otobiografi Tuhan. Otobiografi, riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri, begitu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

Dengan demikian kitab suci dalam pandangan saya adalah riwayat hidup Tuhan yang ia tulis untuk dikenalkan kepada ciptaannya.

Istilah otobiografi Tuhan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru sehingga saya bisa didapuk sebagai ilmuwan hebat. Karena kata-kata ini hanyalah sebuah temuan saya saat membaca novel pengantar filsafat, Dunia Sophie, karangan Jostein Gardeer. 

Namun sekalipun itu istilah bukan baru Anda tidak akan menemukannya saat searching di mbah google. Jadi bisa dikata, istilah lama yang baru muncul di pencarian google.

Oke! Saya mulai kronologinya. Kenapa ada ungkapan demikian dalam novel Dunia Sophie?

Awalnya, Sophie dan Alberto Knox, dua tokoh penting dalam novel itu, membicarakan tentang filsafat Aristoteles yang membenarkan adanya satu Tuhan. Namun dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Tuhan. Perlu bergantung pada kitab suci, menurut Alberto.

Keberadaan Tuhan memang mutlak adanya. Namun manusia terus memperdebatkannya. Sebagian orang pada zaman Aquinas berkata bahwa Tuhan tidak dapat dikenali eksistensinya dengan akal. Namun Aquinas punya pikiran yang visioner. Ia berani membuktikan eksistensi Tuhan atas dasar filsafat Aristoteles. Menarik bukan?

Dengan akal -ujar Aquinas- kita dapat mengetahui bahwa segala sesuatu di sekitar kita pasti memiliki sebab formal. Atau dalam bahasa gus Baha, alam yang kita tempati ini pasti diciptakan oleh zat yang maujud. Sebab menurut beliau, tak mungkin sesuatu yang ada diciptakan oleh sesuatu yang tidak ada.

Tuhan tentu ada. Dan ia mengungkapkan jati dirinya kepada umat manusia melalui 'kitab suci' dan juga 'akal' -lanjut Thomas Aquinas. Oleh karena itu, menurutnya, ada 'teologi iman' dan 'teologi akal'. Dalam akidah Asyairah kita mengenalnya dengan  istilah dalil naqli dan aqli.

Demikian pula mengenai aspek moral. Tuhan memang mengajarkan kita melalui kitab sucinya tentang kebaikan. Namun ia juga tak lupa mengajarkannya melalui kesadaran yang memungkinkan kita membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Meski kita sudah bisa menemukan Tuhan melalui akal kita masih belum bisa mendeteksi sifat-sifat dan pribadinya. Persis seperti ketika kita membaca novel. Kita bisa tahu sekilas tentang penulisnya dengan membaca novelnya. Namun tidak secara detil, tak ada tanggal lahir dan data-data pribadi mengenai penulis di sana. Kita butuh semacam biografi atau otobiografi untuk mengetahuinya.

Demikian pula dengan Tuhan. Sekalipun kita sudah bisa mengetahui eksistensinya melalui alam yang ia ciptakan kita tetap saja masih belum bisa mengenali pribadinya. Kita butuh pada kitab suci, yang oleh Alberto disebut dengan otobiografi Tuhan, karena di dalamnya kita dapat mengenali pribadinya.


Mungkin cerita di atas cukup untuk memantapkan Anda sekalian untuk tidak takut-takut lagi menyebut kitab suci sebagai otobiografi Tuhan. Tetapi bukan santri kucluk namanya jika belum mengulik pembuktiannya langsung dari Al-Quran. Sumber kitab suci yang dibuat pegangan umat Islam dan penulis.

Jika kita cermati betul kitab Al-Quran maka kita akan menemukan nilai kebenaran pada ungkapan saya di atas. Dalam Al-Quran kita akan sering-sering menemukan Tuhan memperkenalkan dirinya dan juga ceritanya kepada kita, si pembaca sekaligus makhluknya. Tujuan Tuhan saat menyebutkan riwayat hidupnya cukup variatif.

Terkadang Allah memperkenalkan dirinya sebagai wujud sangat mengasyikkan yang akan memberi imbalan tak terhingga kepada hambanya yang taat. Tujuannya saat itu adalah untuk menambah rasa cinta hambanya supaya lebih giat dalam beribadah. Contoh ini bisa kita temukan dalam surat An-Nahl ayat 97.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki atau perempuan, dalam keadaan beriman maka akan kami beri kehidupan yang baik dan balasan pahala  yang lebih besar daripada yang ia lakukan".

Terlihat sekali dalam ayat ini Allah hendak mengabarkan bahwa dia punya karakter sangat baik yang ditampilkan kepada hamba-hamba shaleh. Tentu ini bukan kebetulan. Karena inilah kehendak Tuhan.

Terkadang pula Allah memperlihatkan wujudnya sebagai zat penguasa yang tidak segan-segan menyiksa hambanya yang menyekutukan dirinya sebagai pencipta tunggal. Tujuannya saat itu adalah memperingati hambanya yang telah nyeleweng dari jalan yang benar. Allah sebenarnya tahu bahwa ada sebagian dari mereka yang tidak mungkin kembali ke jalan yang lurus. Karena memang Tuhan lah pemegang skenario kehidupan manusia.

Lalu kenapa Allah tetap saja memberi peringatan? Dalam kitab tipis berjudul Waraqat karangan Imam Al-Juwaini, seorang teolog muslim terkenal di zamannya, saya menemukan jawaban yang cukup unik menurut saya. Allah tetap memberikan perintah dan peringatan kepada non muslim sekalipun ia tahu bakal nggak diikuti karena satu alasan. Yaitu, supaya Tuhan tetap punya alasan saat menyiksa hambanya yang miring kehidupannya.

Biar lebih terang kebenaran ucapan saya mari kita tampilkan sebuah contoh tentang itu. Surat Ali Imran ayat 141 menjadi saksi, akan sikap tegas Allah dalam menyikapi hambanya. “Dan agar Allah bersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir". Tampak jelas karakter garang Tuhan dalam ayat ini saat menghadapi hambanya yang secara teologi keliru. Dan Allah memang sedang sengaja menegur mereka yang kapir.

Mungkin argumentasi saya sekali lagi bisa dibilang cukup untuk mempertahankan kebenaran judul tulisan saya.

Kedengarannya dua karakter Tuhan yang ia ceritakan dalam otobiografinya sangat kontradiktif. Namun sebenarnya tidak sama sekali, ia zat yang maha adil dan memiliki karakter absolut nan lengkap. Tuhan memiliki sifat yang saling kontradiktif guna menciptakan kehidupan yang berwarna. Karena jika sifat Tuhan baik saja tentu kehidupan akan lurus dan baik-baik saja. Nggak ada asyiknya.

Kembali soal tulisan ini. Akankah sah saya menyebut, kitab suci sebagai otobiografi Tuhan?