“Abi, Abi. Nanti kalau naik motor lewat depan rumah Bu Haji jangan ngebut-ngebut ya. Jalanannya licin. Banjir soalnya.” Celetuk anak saya yang masih balita itu dengan logat khas anak kecil menasihati bapaknya. Saya pun tidak habis pikir dengan kerusakan jalan yang berulang itu, karena sebab musebabnya sangat kentara oleh mata.
Pemerintah daerah sudah beberapa kali memperbaiki kondisi jalan raya. Tapi apadaya kondisinya balik lagi seperti semula. Ajaibnya, kerusakan masih terjadi disitu-situ juga. di depan rumah Ibu Hajah.
Kondisi jalanan tidak sekadar berlubang, tapi sudah laksana danau di tengah jalan. Dalam. Penuh genangan. Dan siapapun yang melintas di sana sangat berpotensi “tenggelam” akibat terperosok, tersandung, atau terpeleset bebatuan di sekitaran area jalan yang sudah tidak layak disebut jalan lagi.
Setiap kali hujan turun maka kondisinya terlihat semakin parah. Juga berbahaya. Air yang turun dari langit seharusnya mengalir menuju aliran pembuangan. Drainase. Got. Dan di sini ternyata letak masalahnya.
Hak air untuk mengalir dihambat. Drainase untuk air melintas dibiarkan hilang tanpa bekas. Jejak peninggalan aliran buangan sebelumnya menghilang entah ke mana.
Padahal di sekitar ruas jalan masih ada sejengkal tanah yang sejatinya bisa dijadikan aliran buangan air dari jalanan. Terlebih letak kerusakan jalan itu tidak terlalu jauh dari saluran irigasi sawah. Bukankah dengan menggali sedikit saluran pembuangan supaya air membuang dirinya sendiri ke sawah-sawah itu sudah bisa menuntaskan persoalan?
Dugaan saya, para warga di desa pinggiran kota itu sepertinya masih belum siap menyambut keberadaan jalan raya beraspal ataupun cor beton. Sebelum-sebelumnya, air hujan yang turun dan mengalir di jalanan dibiarkan susut dengan sendirinya. Bisa. Karena dulu jalanan di sana hanya beralaskan tanah. Akan tetapi, anggapan serupa sekarang tak lagi berguna.
***
Pembaharuan yang terjadi dalam beberapa aspek kehidupan kita, baik itu di lingkungan pribadi ataupun di lingkungan masyarakat sekitar terkadang berada di luar ekspektasi. Bukan pada pembaharuannya, melainkan pada konsekuensi atau efek yang ditimbulkan dari pembaharuan itu sendiri.
Pembaharuan adalah bagian dari perubahan. Dan perubahan merupakan suatu keniscayaan yang cepat atau lambat akan terjadi dan dialami semua orang. Namun, sayangnya tidak semuanya siap menghadapi perubahan itu. Bahkan kalaupun perubahan tersebut sudah dirancang dan dipersiapkan sendiri.
Ketika dulu saya masih belum memiliki sepeda motor sendiri untuk menunjang mobilitas, ingin sekali rasanya memilikinya. Segenap daya upaya pun dilakukan. Uang tabungan dikumpulkan. Semua demi mendapatkan sepeda motor impian. Sampai akhirnya apa yang didamba mewujud menjadi realita.
Selanjutnya bisa Anda tebak. Di samping untuk biaya perawatan, sepeda motor juga butuh bahan bakar supaya bisa dioperasikan. Butuh Pertalite atau Pertamax yang diproduksi pertamina. Yang disubsidi oleh negara. Saat harga-harga mulai naik gegara subsidi ditarik, maka saya pun mengeluh. Mungkin demikian juga anda.
Para pemilik kendaraan yang sebelumnya “mengonsumsi” Pertamax lantas menurunkan standar konsumsinya menjadi Pertalite saja. Syukur-syukur kalau Premium masih ada.
Tidak jauh berbeda dengan para pemilik mobil yang rela menambah cicilan bulanannya demi mendapatkan mobil baru. Tapi kemudian cuma bisa menggerutu lantaran harga bahan bakar berfluktuasi turun naik (meskipun banyak naiknya), atau ketika si mobil perlu jajan akibat mengalami kerusakan. Yang harusnya “minum” Pertamax memilih turun “kasta” menggunakan Pertalite juga.
Agak aneh memang, padahal sebelum kita membeli kendaraan itu sebenarnya kita sudah tahu konsekuensi dan risikonya. Punya kendaraan berarti butuh pengeluaran tambahan. Punya kendaraan berarti harus melakukan penyesuaian. Seperti halnya ketika jalanan dibangun dengan aspal dan beton membutuhkan penyesuaian keberadaan drainase untuk pembuangan aliran air.
Tapi, kebanyakan dari kita sepertinya belum siap dengan semua konsekuensi itu. Masih tetap berharap pengeluaran biaya tetap sedikit biarpun punya mobil baru di rumah. Masih berharap pengeluaran kecil sementara anggaran untuk beli bensin dan perawatan kendaraan meningkat. Masih berharap air mudah susut biarpun dilapisi beton dan aspal.
Parahnya, kita cenderung abai dengan hal-hal penting lain yang seharusnya perlu diperhatikan sebagai imbas dari terjadinya pembaharuan. Misalnya, para pemilik mobil berbahan bakar pertamax yang justru mengorbankan umur mesin mobilnya dengan berganti ke Pertalite.
Ketidaksiapan kita terhadap pembaharuan menjadikan kita lengah atau “terpaksa” mengambil keputusan yang salah. Aneh bin ajaib memang, sejak jauh-jauh hari kita berharap meraih sebuah tujuan. Akan tetapi tatkala tujuan itu benar-benar terwujud kita malah banyak menggerutu.
Tingkah polah serupa tampak dari seorang rekan kerja yang sudah mendapatkan gaji melebihi UMK. Berstatus sebagai supervisor di tempat kerja, besaran gajinya tentu lebih besar dari kebanyakan orang di sana yang mayoritas di bawah UMK.
Ketika pandemi COVID-19 mencapai puncaknya beberapa waktu lalu, dan pemerintah memberikan bantuan subsidi gaji dengan syarat minimal pendapatan di bawah UMK, sang rekan tersebut nyatanya masih saja ngiri dan nyeletuk protes kalau orang-orang dengan gaji sepertinya alias tidak jauh-jauh amat di atas UMK harusnya bisa mendapatkan fasilitas serupa.
Singkat kata, gaji yang sudah level “ksatria” masih mengharap fasilitas yang ditujukan untuk kelas “sudra” di kalangan para pekerja. Sepertinya ia masih belum siap menerima kenyataan bahwa sebagai pemilik jabatan tinggi dirinya tidak lagi masuk dalam daftar orang yang berhak menerima subsidi gaji dari pemerintah.
***
Apa yang kita dapatkan hari ini berupa fasilitas, pangkat, harta benda, dan sejenisnya bisa jadi merupakan wujud perubahan yang dulu pernah kita damba-dambakan. Tanpa pernah mempertimbangkan efek dan konsekuensi yang ditimbulkan dari perubahan itu. Kita hanya siap dengan hal baiknya saja. Sedangkan untuk hal “buruk”-nya kita tidak siap.
Saat beranjak dari satu hal yang lama menuju sesuatu yang baru mestinya kita tahu bahwa akan ada yang kita tanggalkan dan sekaligus kita tunaikan. Ada hak dan tanggung jawab yang berbeda untuk setiap peristiwa, dan kita harus siap menerimanya.