Sore ini saya mengalami perbincangan menarik dengan beberapa kenalan di Twitter (Kak Yoyen dan Kak Ruth, terima kasih banyak) mengenai pendidikan seksual. Masalah pendidikan seksual ini adalah masalah yang “ngeri-ngeri sedap” untuk dibahas. Kenapa saya bilang “ngeri-ngeri sedap”? Topik tentang pendidikan seksual adalah topik yang paling mudah dipelintir.

Penulis atau pencetus ide pendidikan seksual bisa dibilang liberal atau malah disebut sebagai pendukung seks bebas yang akan menghancurkan moral anak bangsa. Pandangan seperti itulah yang membuat masyarakat kita begitu resisten terhadap ide pendidikan seksual.

Apalagi yang menentang pendidikan seksual (atau setidaknya menentang sebagian isi dari pendidikan seksual) akan mengambil contoh negara-negara maju yang menurut mereka hidup bergelimang dosa. Semakin bertambahlah alasan untuk menolak ide tentang pendidikan seksual di kehidupan bermasyarakat di negara ini.

Melihat banyaknya kasus pemerkosaan, kehamilan usia dini, hubungan seksual di luar nikah yang terjadi pada remaja, saya berpikir pendidikan seksual sudah menjadi satu keharusan yang diberikan pada adik-adik kita yang berusia remaja. Bahkan seharusnya sudah dimulai ketika mereka belum memasuki masa puber.

Dari hal yang sederhana saja. Tentang alat kelamin sendiri, dan alat kelamin lawan jenis. Tentu saja penjelasannya disesuaikan dengan umur si penanya atau penerima informasi. Itu saja sudah merupakan pendidikan seksual yang dapat diberikan untuk anak. Lalu pendidikan seksual seperti apa yang harus kita berikan untuk adik-adik kita yang remaja?

Adik-adik kita yang memasuki usia remaja, secara fisiologis mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari alat kelamin sekunder yang terlihat lebih jelas (jakun pada laki-laki, payudara pada perempuan, rambut kemaluan/ketiak pada keduanya), yang perempuan mendapatkan menstruasi untuk pertama kalinya, sementara yang laki-laki mimpi basah untuk pertama kalinya.

Seiring dengan perubahan yang nampak pada fisik mereka, di dalam tubuh mereka juga terjadi perubahan secara hormonal. Perubahan-perubahan tersebut salah satunya membuat mereka lebih reseptif terhadap lawan jenis (atau orang yang mereka anggap menarik).

Maka mulailah dikenal cinta monyet. Mulailah mereka berpacaran. Manusia yang saling memiliki perasaan yang kuat satu sama lain pasti memiliki keinginan untuk berdekatan, bersentuhan dengan pasangannya. Keinginan ini kemudian terwujudkan dengan berpegangan tangan dengan malu-malu, lalu berlanjut dengan berpelukan, berciuman, dan byar akhirnya bersetubuh.

Mending kalau setelah bersetubuh tidak terjadi apa-apa. Kalau kemudian terkena penyakit seks menular? Hamil? Lalu karena ketakutan akan dimarahi oleh keluarga, dikeluarkan dari sekolah, dan dikucilkan masyarakat akhirnya memilih untuk aborsi? Iya kalau selamat saat aborsi, kalau meninggal karena proses aborsi yang tidak aman? Kalaupun tidak aborsi, lalu hamil, punya anak, berhenti sekolah, tidak punya keahlian apa-apa. Mau jadi apa?

Celakanya, masyarakat kita hanya fokus pada “bersetubuh sebelum menikah adalah dosa!” tapi tidak pernah mau mengerti bahwa keinginan untuk bersentuhan itu sulit dibendung, bahkan tidak semudah dengan merapal mantra “bersetubuh itu dosa bersetubuh itu dosa bersetubuh itu dosa.”

Pada remaja, dengan influks hormon yang begitu kuat, keinginan ini semakin sulit dibendung. Mereka hanya tahu bahwa melakukan itu memberi rasa nikmat. Selesai sampai di situ. Mereka tidak peduli bahwa ada risiko dan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan.

Di situlah pentingnya kita memberikan pendidikan seksual pada adik-adik kita yang berusia remaja, yang mengalami masa pubertas, masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

Pendidikan seksual mengajarkan pada adik-adik remaja apa yang menjadi pembeda antara tubuh laki-laki dan perempuan. Mengapa mereka memiliki keinginan untuk bersentuhan dengan lawan jenis yang mereka sukai. Lalu dijelaskan apabila ingin berhubungan seks, apa yang terjadi pada proses tersebut.

Apa konsekuensi dan risiko dari berhubungan seks (baik sebelum menikah atau setelah menikah). Penyakit seks menular dan kehamilan yang tidak diinginkan yang menjadi penekanan risiko apa yang mungkin muncul.

Dari situ baru dijelaskan mengapa melakukan hubungan seks sebaiknya menggunakan alat kontrasepsi berikut dengan alat kontrasepsi apa saja yang bisa digunakan, dan mana yang memiliki efektivitas paling tinggi, mana yang cocok digunakan di usia mereka.

Yang tak kalah penting juga, dalam pendidikan seksual ditekankan kepada remaja perempuan bahwa mereka berhak menolak untuk melakukan hubungan seks apabila mereka tidak yakin atau belum siap. Mereka berhak bahkan harus menolak apabila mereka tidak ingin berhubungan seks. Bagi remaja pria ditekankan bahwa mereka harus menghormati keinginan pasangan mereka yang tidak ingin melakukan kontak fisik lebih jauh atau hubungan seks.

Termasuk juga dijelaskan dalam pendidikan seksual tersebut, kondisi masyarakat tempat para remaja ini hidup. Bila mereka melakukan hubungan seks di luar nikah, maka apa yang akan terjadi secara sosial. Apakah mungkin ada hukuman baik karena ada peraturan yang tidak membolehkan atau hukuman sosial, dan sebagainya.

Bahkan, seorang kenalan saya di Belanda bercerita, di kelas pendidikan seksual di sekolah anaknya, sampai ada sesi berbagi cerita oleh perempuan yang hamil di usia dini. Dia bercerita suka dan duka hamil di usia remaja.

Memberikan pendidikan seksual seperti yang saya maksud di atas bukan mengajarkan apalagi menyuruh adik-adik atau anak-anak kita untuk berhubungan seks. Tapi kita menyiapkan bekal bagi mereka. Siapa yang bisa terus mengawasi pergaulan anak-anaknya?

Bekal pendidikan agama dan segala ceramah tentang dosa sudah tidak mempan lagi pada anak-anak kita. Mungkin iya, untuk beberapa waktu, pendidikan agama dan ceramah tentang dosa bisa membuat mereka takut dan menahan diri, tapi tidak untuk selamanya.

Kita akui saja itu. Maka yang dapat kita lakukan adalah menyiapkan bekal bagi mereka, agar apabila mereka memutuskan untuk melakukan hubungan seks, mereka melakukannya karena betul-betul yakin, betul-betul siap dengan segala risiko dan konsekuensinya.

Dan ketika mereka melakukannya, mereka melakukannya dengan aman. Aman dalam arti menggunakan alat kontrasepsi, dan tidak bergonta-ganti pasangan dengan orang yang tidak jelas status kesehatan kelaminnya.

Kita sering merasa perlu menjadi komandan yang mengatur apa saja yang dilakukan oleh anak-anak kita. Dia harus melakukan A, tidak boleh melakukan B, tanpa kita berikan informasi mengapa A itu baik dilakukan atau B tidak baik untuk dilakukan.

Kita merasa bahwa kita bisa mengatur anak-anak kita hingga ke aktivitas-aktivitas pribadi dia. Kita merasa bahwa kita bisa mengawasi pikiran-pikirannya. Kita lupa bahwa pada akhirnya, anak-anak kita, adalah manusia yang memiliki pikirannya sendiri, yang memiliki keinginan untuk membuat keputusan sendiri. Mereka adalah manusia yang merdeka.

Sama seperti kita. Maka yang bisa kita lakukan adalah memberikan arahan dan bekal yang dapat mereka gunakan dalam pengambilan keputusan dalam hidup mereka. Dengan melarang atau menentang pendidikan seksual, kita telah berbuat semena-mena pada anak kita.

Iya kalau mereka hingga dewasa berhasil menjaga diri mereka sendiri karena telah memutuskan bahwa mereka tidak mau melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kalau tidak? Kalau mereka penasaran lalu coba-coba? Dan akhirnya mereka juga yang menanggung akibatnya?

Kita salah bila kita tidak memberikan bekal. Dan kita lebih salah lagi bila kita menyalah-nyalahkan mereka padahal kita tak pernah memberikan hak mereka sebelumnya.

Ada baiknya kita mengurangi egoisme dalam diri kita. Ini bukan tentang kita dan moralitas kita. Ini tentang anak-anak kita dan bagaimana mereka nantinya akan menjalani kehidupan.