Kita sepakat
Di sebuah kafe yang
Demam asap-asap modernisme
Kita ingin jadi sepasang Lobster
Memberi kenikmatan
Di mulut orang-orang berdasi
Sampai mereka lupa
Hidup bukan dari
Ketulusan melayani
Tapi dari setiap pembohongan
Yang tak pernah
Lekang oleh rupiah
Kupang, 2020
Kaca Jendela
: Robertilde
Sebagai apa kau dapat memasukiku?
Sebagai perempuan
Yang tidak ingin terluka
Dari kaca jendela hatimu
Kupang 2020
Tidur Adalah Latihan Mati
Cahaya lentera
Menarik engkau membaca mantra
Di dinding tikar kesedihanku
Anyaman bambu sebagai cermin
Memantulkan bunyi dari fasih mulutmu
Aku tertidur
Di tengah keinginanku yang pendek
Sementara di luar
Angin melebur seluruh hasratku
Tidur adalah latihan mati
Melupakan janji-janji manis
Penguasa rakyat
Sepanjang tepi aspal
Seperti pemukiman baru
Orang-orang Malaka
Seluruh rumah serupa tenda-tenda darurat
Juga mirip gereja
Yang terkenal dengan sunyi
Tak ada suara
Semuanya seperti tertidur
Dan entah kapan lapuk di dalam waktu
Di sana
Kita sepasang makluk
Yang berdandan sepi
Tidak ada bisingan deru mobil
Pun nyanyian oras loro malirin atau
Tumbukan jagung bose
Dari dapur-dapur perindu
Engkau tertidur di dinding kesedihanku
Membacakan mantra
tentang pikiran yang buntu
Atau kehendak yang panjang
Sedang cahaya lentera
Menembus kepalamu
Melahirkan makna-makna asing
Di telingaku
Sekali lagi aku tertidur
Di tengah keinginanku
Yang pendek
Sementara di luar
Angin melebur seluruh hasratku
Tidur adalah latihan mati
Cara sederhana bagiku
Melupakan janji-janji manis
Penguasa rakyat
Kupang, 2019
Aku Membakar Segala Yang Aku Punya
Kuyub basah di antara
Sela-sela menanak jagung
Dan menanam kacang hijau
Adalah cara kau
Menghidar dari kelam dunia maya
Di kebun kacang hijau
Menguraikan tubuhnya
Sebagai nikmat yang kau sesah
Dengan jerih payah
Sedang di mana-mana
Maklumat menyesuaikan diri
Dengan elemen-elemen hukum
Bergemah ke seisi nusantara
Tapi, di matamu
Hari yang pergi
Dan kembali pulang
Menumbuhkan bayang-bayang semu
Sebagai wasiat
Menciptakan sekat
Dengan tipu daya beelzebul
Dan alasan-alasan sentimental
Jauh melampaui horizon
Kalimat Aku mencintaimu
Bergema senantiasa di dadaku
Hingga melebarkan makna
Di lorong-lorong sunyi:
Ke kamar ibu-ibu dapur Yang suka menyulam tawa
Menyusup ke celah kantong sirih pinang
Para leluhur milik ina-ina Malaka
Atau ke dalam tuak bai-bai jelata
Yang pandai bersilat lidah
Persis seperti bagaimana kau mengenangku:
Emosional, dingin,Dan mudah dilupakan
Tapi, Aku mencintai apa saja
Termasuk kebencian
Yang tumbuh membeludak
Di sepanjang hidupmu
Di mataku.
Aku membakar segala yang aku punya.
Doaku di tengah badai dan gelombang
berharap tumbuh
Jadi abu harapan
yang tertiup menuju hatimu
Sebab aku mencintaimu
Hingga ahkir jasadku
Kupang, 2019.
Merayakan Kepulangan Di Tungku Api
Aku lelaki perantau
Punya banyak cara
Merayakan kepulanganku:
Minum sopi moke buatan ama di kebun
Mencicipi sei babi baun ala kadarnya
Atau
melapangkan dada
Di jalan-jalan kampung
sambil meronggeng tebe songket
Di kepalaku
Perihal merantau
Tidak ada yang tidak ingin pulang
Tidak ada yang tidak ingin
Merayakan kepulangan
Semua orang ingin merayakannya
Di mana saja
Dengan naluri yang pendek
Dan hasrat yang panjang
Tetapi
merayakan kepulangan di tungku api
Adalah caraku merawat Keperkasaan
Dan harga diri
Caraku mencintai
Tradisi leluhur
Sebagai orang kampung
Yang tidak ingin terlibat
Dalam muara kesombongan
Kupang, 2019.
Di Lima November
Tato di lengan engkau
Wangi sei babi baun
Atau lombok merah
Sebagai pelepas
Semangkok jagung bose
Adalah kebencian
Berkuasa atas
tubuh engkau
Yang resah
Di mataku
Kebencian mengalir
Dari pikiran-pikiran krusial
Dan kalimat panjang
Tentang siapa wajib berkuasa
Dari deru para sukuisme
Diserbuki debu-debu kota
Yang kita namai
provokasi
Hari itu lima November Aku
mengajak engkau
Berjalan di tengah-tengah para sukuisme
Keterpakasaanmu berjalan
Adalah keiginanku yang lama kusimpan
Dalam kelewang raja Malaka
Tepat Di ufuk barat
terdengar dendang bolelebo
Bergema lantang
Hidup sekali waktu adalah
Pembalasan kepada tubuh engkau
Yang memelihara benci
Kupang, 2019.
Seperti Berjalan Di Tengah Hutan
Sepasang tanganmu
Menyeret helai-helai
Jemariku
Untuk menulis puisi
Kau ingin jadi apa?
Sedang debar angin di beranda
Menyusup masuk
Ke dalam sum-sum tulang
Mengetarkan bibirmu
Aku harus jadi apa?
Lalu pada deretan panjang
Patung-patung gereja
Menyebar keharuman sederhana
Dalam waktu yang selalu abadi
Kita ingin jadi diri sendiri
Dan diam-diam
Mata kita menyimpan rahasia yang lain:
Tangan memar
Dengan aneka perjuangan
Kaki yang diwarnai
Bilur luka
Kepala Dengan kuyub basah
Adalah nama dan kenangan
Yang tumbuh berlilitan,
Menua, lalu mati di dalam diri
Sebab seperti
Berjalan di tengan hutan
Masa depan adalah
Petualangan jatuh-bangun
seorang diri
Masa depan adalah
Merayapi usaha-usaha
yang tabah
Bergerak perlahan
Ke tepian proses
Hingga mulut kita
Yang fana
Merapalkan doa
Mengundang rasa syukur
Dengan sedikit air mata
Kita jaya di hari esok
Sampai aku kembali surut
Dan kau pun harus menjauh
Kembali masing-masing
Ke istana ahkirat.
Kupang, 2019