Mendengar kata propaganda, mungkin secara langsung akan mengantarkan persepsi kita terhadap suatu kegiatan atau tindakan yang berkonotasi negatif. Secara sederhana propaganda akan dianggap sebagai suatu “kelicikan” untuk menjatuhkan orang lain demi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Bahkan propaganda selalu dianggap sebagai kegiatan yang persoalan pokoknya tidak terlepas dari “How to influence and to control the mind’s of men”.
Persepsi negatif terhadap propaganda semakin memuncak tepatnya di abad ke 18. Hal tersebut dikarenakan propaganda lebih banyak digunakan dalam ajaran politik, bidang ekonomi sampai pada upaya untuk mengubah ide, sikap dan tindakan sesorang yang dipelopori langsung oleh para politisi terutama di negara-negara totaliter komunis.
Pada waktu itu propaganda dianggap sebagai sesuatu yang sangat urgen dalam upaya memperoleh, mempertahanakan dan menyebarluaskan kekuasaan.
Memahami tentang konsep propaganda tentunya kita harus mencermati sekaligus melakukan pendekatan terhadap pemaknaan propaganda itu sendiri dari beberapa ahli, seperti ilmu jiwa sosial, Sosiologi, Politik dan Komunikasi.
Bahkan dalam ilmu komunikasi, khususnya definisi terkait substansi makna propaganda itu sendiri sangatlah banyak dapat kita jumpai tergantung dari sudut pandang para ahli dalam mencermatinya.
Begitu banyaknya definisi terkait konsep propaganda, Norman John Powell dalam (Moeryanto Ginting Munthe & R.M. SImatupang, 2017:48) menjelaskan bahwa Propaganda adalah “the art of influencing, manipulating, controlling, promoting, changing, inducing or securing the acceptance of opinions, attitudes, action or behavior”. Propaganda adalah seni mempengaruhi, muslihat, memajukan, mengubah, menggerakkan atau menjamin diterimanya pendapat, sikap dan tindakan atau tingkah laku.
Sebagaimana kita maklumi bahwa sebenarnya istilah propaganda semakin populer sejak tahun 1622 silam, ketika Paus Gregorius ke XV mendirikan badan sebagai Perhimpunan Suci untuk Penyebaran Agama (Kristen Roma Katolik) atau yang dikenal dengan nama Congregatio de Propaganda fide.
Para missioner yang tergabung dalam lembaga tersebut ditugasi untuk menyebarkan doktrin agama (nilai-nilai kebaikan) kepada masyarakat luas.
Artinya jika memahami secara komprehensif tentang sejarah lahirnya propaganda di atas, tentunya kita akan melihat secara jelas apa sebenarnya yang menjadi goals dari kegiatan propaganda.
Sederhananya ialah propaganda dijalankan dengan harapan agar orang lain dapat menerima ide atau pendapat yang kemudian akan menjadi sebuah sikap (afektif), yang pada akhirnya akan direalisasikan berupa tindakan sesuai yang diharapkan.
Lantas, pertanyaannya apakah propaganda sudah “pasti” sesuatu yang negatif? Jawaban atas pertanyan tersebut tentunya adalah tidak. Karena pada dasarnya propaganda itu tidak melulu soal kejahatan, akan tetapi menurut hemat penulis propaganda lebih tepat dipandang sebagai suatu medium dan atau strategi untuk mewujudkan misi atau keinginan sesuai yang diharapkan.
Terlepas apapun feedback sebagai implikasi dari praktek propaganda adalah sebuah konsekuensi yang sangat dipengaruhi oleh tahapan dan keseruisan dari tindakan propaganda tersebut.
Sayangnya, keharusan memanfaatkan propaganda sebagai sarana untuk mempengaruhi orang lain dalam memahami nilai-nilai kebenaran telah “disalahgunakan” untuk tujuan tertentu. Sehingga ada istilah yang mengatakan bahwa, propaganda dilahirkan kaum agama, tetapi yang merawat serta membesarkannya adalah kaum politisi.
Seiring berjalannya waktu, propaganda semakin dipandang sebagai sesuatu yang penting bahkan suatu keniscayaan bagi negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan (kekuasaan).
Sejarah telah mencatat bahwa pada Perang Dunia I yang berlangsung pada tahun 1914 sampai tahun 1918 adalah fakta yang nyata bahwa “perang propaganda” telah terjadi. Perselisihan antara kubu Inggris, Jerman dan sekutu adalah pertarungan yang mengisahkan pelajaran penting bagi negara-negara di dunia yang memiliki kaitan langsung dengan propaganda. Inggris secara nyata telah berhasil melakukan aksi propaganda yang ditujukan pada tiga objek dari propaganda itu sendiri.
Pertama, Inggris melakukan propaganda yang ditujukan kepada rakyat mereka sendiri dengan melakukan indoktrinisasi bahwa melakukan perang terhadap Jerman adalah tindakan yang benar.
Kedua, Inggris juga melakukan tindakan propaganda yang ditujukan keluar yaitu kepada pihak netral (salah satunya Amerika Serikat) membangun dan memperkuat keyakinan pihak netral bahwa selain mereka berada pada tindakan yang benar,Inggris telah meyakinkan bahwa mereka pasti menjadi pihak yang menang.
Terakhir, propaganda yang dialamatkan kepada pihak musuh sendiri yaitu Jerman, untuk menjatuhkan dan semangat tempur Jerman dan sekutunya.
Kenyataannya benar bahwa Inggris mampu menjadi “pemenang” dalam konflik terbesar tersebut. Bahkan ironisnya, Amerika Serikat yang sebelumnya mengklaim sebagai pihak yang netral, dengan kelihaian dalam memainkan teori propaganda, akhirnya Amerika Serikat menyatakan sikap untuk berpihak kepada Inggris dan sekutu. Ini adalah fakta yang pernah terjadi dalam proses peradaban umat manusia.
Menariknya, sejarah telah mencatat bahwa kekalahan Jerman pada PD I, menjadi awal kebangkitan bagi Jerman itu sendiri. Seorang Adolf Hitler yang dikenal sebagai sang propogandis telah menginisasi kebangkitan Jerman melalui teori-teori propaganda itu sendiri. Dalam setiap kesempatan ia mampu membangkitkan (kembali) semangat masyarakat Jerman yang kian terpuruk akibat dari kekalahan Perang Dunia I.
Kepiawaian Adolf Hitler dalam mengubah keadaan sulit menjadi semangat tersendiri bagi masyarakat Jerman adalah real action dari tindakan propaganda itu sendiri. Menyebarluaskan paham Nasionalis-Sosialisme (Nazi-isme) kepada masyarakat yang secara psikologi tertekan tentunya bukanlah suatu hal yang mudah.
Namun, Hitler telah membuktikan bahwa ia mampu mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakatnya secara luas bahawa nilai yang ia perjuangkan patut untuk didukung. Sampai pada akhirnya masyarakat Jerman hadir sebagai bangsa yang baru dengan berkiblat pada ideologi Nazi-isme.
Lagi-lagi fakta sejarah telah memberi pelajaran yang sangat menarik bahwa praktek propaganda sangatlah “ampuh” dalam melawan propaganda itu sendiri dengan cara mempengaruhi pandangan, sikap dan tindakan orang lain baik dalam sekala kecil maupun massa yang jumlahnya sangat besar.
Maka tidak salah jika dikatakan bahwa berbagai fenomena sosial yang terjadi disepanjang masa hampir dapat dipastikan selalu dipengaruhi oleh tindakan propaganda yang dilakukan oleh propagandis.
Agar tidak bias, kita perlu memahami bahwa tindakan yang dapat disebut sebagai propaganda para ahli telah sepakat setidaknya memenuhi lima unsur utama, yaitu, source (sumber), communicator (propagandis), message (pesan), media dan effect (akibat).
Namun, lima unsur ini tentunya tidaklah bersifat mutlak, karena dalam peristiwa-peristiwa tertentu dapat dikatakan sebagai aksi propaganda meskipun tidak memenuhi kelima unsur tersebut.
Misalnya ketika propaganda berupa simbol-simbol saat perang di hutan, lazimnya tidak serta merta unsur-unsur propaganda sebagaimaan disebut diatas lengkap. Namun, ia tetap dikatakan sebagai tindakan propaganda karena memiliki tujuan untuk mempengaruhi sikap dan tindakan orang lain (musuh).
Menjadi Propagandis
Propaganda tidak akan sukses dijalankan tanpa adanya propagandis. Sederhananya propagandis adalah pihak (aktor) yang melakukan tindakan propaganda itu sendiri. Propagandis juga dapat diartikan sebagai pihak (komunikator) yang melakukan indoktrinisasi kepada pihak lain, dengan harapan untuk mempengaruhi pandangan, sikap dan tindakan orang lain sesuai yang diharapkan. Intinya Propagandis adalah bagian penting dari propaganda.
Sebelumnya penulis ingin menyamakan persepsi kita dengan kembali menegaskan bahwa propaganda pada dasarnya tidak selalu negatif dan tidak pasti hanya terjadi dalam perang fisik. Itu semua tergantung pada tujuan dan cara propagandis dalam melakukan tindakan propaganda itu sendiri.
Kehidupan di abad ke 21 ini hampir setiap hari kita selalu dihadapkan dengan tindakan propaganda (non fisik) seperti terlalu gencarnya penyebaran informasi-informasi hoax, yang dengan mudahnya melalui kekuatan the power off screenshoot, kita selalu terkecoh bahkan tidak jarang “panik” merespon informasi yang seoalah-olah benar dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan hidup.
Kemudian kita juga telah berhasil “dimanjakan” oleh keadaan, sehingga sikap dan tindakan kita diarahkan sedemikian mungkin sehingga menjadi sasaran empuk untuk menjadi generasi yang “pemalas” sekaligus “konsumtif”, dengan dalih modernisasi.
Bahkan James E. Combs & Nimmo dalam catatan propaganda baru menyebutkan bahwa pada saat sekarang ini produk-produk komersial tidak terlepas dari tujuan propaganda.
Misalnya kehadiran boneka Bar*ie yang sangat disukai anak-anak perempuan. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan boneka cantik tersebut. Rambut pirang, wajah cantik, bulu mata yang sangat menawan dengan postur tubuh yang langsing, seolah-olah menggambarkan beginilah idealnya seorang wanita.
Wanita yang diharapkan hanyalah wanita muda yang berpenampilan ala Bar*ie, selebihnya tidak sempurna. Boneka cantik tersebut memberi pesan (secara terus menerus) bahwa idealnya wanita harus seperti itu dalam berpenampilan.
Namun, sayangnya mereka lupa bahwa wanita diciptakan di muka bumi ini tidak hanya sepuluh atau dua puluh, tetapi jumlahnya sangatlah banyak dengan ciri khas masing-masing. Bahkan perlu diingat bahwa penampilan tidak serta merta memiliki korelasi dengan kepiawaian wanita dalam berkarier dan menjalankan tugas sebagai istri dan ibu untuk anak-anaknya.
Masih banyak lagi keadaan di sekitar kita tanpa disadari adalah wujud dari tindakan propaganda misalnya permainan issue oleh oknum media informasi, rutinitas politik, sektor ekonomi, sosial, bahkan sampai pada persoalan keyakinan.
Tidak bermaksud untuk menolak kemjuan zaman (modernisasi), akan tetapi berupaya mengajak kepada kita untuk bersifat kritis dangan mengedapankan prinsip kehati-hatian yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan.
Sikap ini tentunya boleh-boleh saja. Untuk melawan itu semua maka kita harus melakukan “perang propaganda”, dengan menjadi propagandis. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menyebarkan kebaikan sebagai seorang propagandis, misalnya melalui gagasan lisan maupun tulisan, pesan-pesan moral dalam seni, melalui lirik lagu-lagu yang dapat memberi motivasi bahkan tidak kalah penting pada saat kongkow-kongkow di warung kopi.
Menjadi propagandis itu adalah suatu keharusan, tetapi tidak harus menjadi propagandis yang brutal melawan arus modernisasi, itu namanya konyol.
Kita cukup bersikap bijak dan kreatif dalam menyikapi keadaan dan perubahan zaman. Harapannya adalah kita akan tetap hidup dengan prinsip-prinsip kebenaran yang sudah ada pada diri kita masing-masing.
Intinya persoalan ilmu pengetahuan kita harus saling melengkapi, untuk hal kebaikan kita harus saling menguatkan. Selamat menjadi propagandis dalam kebaikan.