Menurut narasi standar Sejarah Nasional Indonesia, perlawanan bersenjata pasukan Pattimura terhadap pendudukan kompeni Belanda dimulai dengan penyerbuan benteng Duurstede tanggal 15 Mei 1817. Dua kali penyerbuan belum berhasil karena tembakan-tembakan meriam dari benteng tidak dapat ditandingi senjata pemberontak berupa klewang, bedul, tombak, pedang namun karena kehabisan mesiu akhirnya tentara dalam benteng menyerahkan diri. Setiap penghuni benteng, termasuk residen Van Den Bergh beserta keluarganya musnah, kecuali seorang putranya yang berumur lima tahun.

Di luar narasi sejarah nasional Indonesia tersebut terdapat kisah kemanusiaan yang terlupakan dari heroisme Pattimura. Kisah itu yang dipentaskan DELTADUA dan Moluuca Bamboowind Orchestra (MBO) pada pementasan tanggal 19 November 2015 di Erasmus Huis, Kedutaan Belanda.

Sumber utama naskah drama berasal dari novel “The Cray of White Cockatoo” karangan Johan Fabricius yang terinspirasi dari kisah hidup Jean Lubbert Van Den Bergh, salah satu karakter utama dalam pentas ini.

Pada penyerbuan Benteng Duurstede tersebut para prajurit Pattimura membunuh seluruh orang yang ditemui dengan kejam termasuk residen Van Den Bergh, istrinya yang sedang hamil, anak perempuannya dan anak-anaknya yang lain.

Hanya Jean Lubbert Van Den Bergh, putra residen, berusia 6 tahun (5 tahun dalam versi standar Sejarah Nasional Indonesia) saat itu, yang berhasil selamat dari peristiwa tersebut. Jean Lubbert diselamatkan oleh Salomon Pattiwael, salah seorang pegawai [atau tepatnya pembantu rumah tangga(?)] residen Van Den Bergh.

Jean Lubbert kemudian bergaul baik dengan Maria, perempuan yang dianggap putri Salomon Pattiwael namun ternyata adalah putri dari sersan Belanda, Verhagen. Pada awalnya Maria iri kepada Jean Lubbert yang tampak lebih dikasihi Salomon namun pada akhirnya terbangun hubungan emosional persaudaraan yang kuat antara Maria dan Jean Lubbert.

Bertahun-tahun kemudian setelah peristiwa tragis di benteng Duurstede, Jean Lubbert kembali ke Saparua mencari kuburan orang tuanya dan memulai pergulatan emosi guna menyelesaikan kenangan buruk di masa lalu yang menghantuinya.

Drama ini berkisah tentang kemarahan orang-orang Maluku karena penindasan kompeni Belanda lalu berpuncak pada penyerbuan benteng Duurstede yang berakibat pada terbunuhnya keluarga Van Den Bergh secara tragis dan bagaimana Jean Lubbert berdamai dengan masa lalunya.

Semua karakter di sini berjuang dengan pertanyaan dan kemarahannya masing-masing. Pattimura menggugat kolonialisme Belanda dengan marah namun menyadari bahwa dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi di benteng Duurstede.

Jean Lubbert menyimpan dan mengeluarkan kemarahan serta dendam atas pembantaian keluarganya namun pada akhirnya dibenturkan kepada ketidakadilan kolonialisme yang dialami Pattimura bersama orang-orang yang menyerbu benteng.

Jean Lubbert akhirnya menambahkan “Van Saparoea (dari Saparua)” sebagai nama belakang sehingga nama lengkapnya menjadi Jean Lubbert Van Den Bergh Van Saparoea. Pertanda dia memiliki kenangan dan sudah menyelesaikan segala kemarahan serta dendam masa lalu di Saparua.

Drama ini mampu menampilkan kompleksitas Pattimura dan pemberontakan yang dipimpinnya. Pattimura yang dalam sejarah nasional Indonesia digambarkan sebagai pahlawan yang menentang penjajajah ternyata dituntut bertanggung jawab atas pembunuhan tragis keluarga residen Van Den Bergh.

Penyerbuan benteng Duurstede yang dalam narasi sejarah nasional disebut sebagai titik awal pemberontakan Saparua melawan penjajah ternyata bisa disebut sebagai peristiwa pembantaian dari perspektif korban seperti Jean Lubbert.

Adegan-adegan dialog imajiner Pattimura yang berdebat dengan Jean Lubbert tentang kemarahan akibat kolonialisme melawan kemarahan karena keluarga yang terbunuh serta perdebatan imajiner Martha Christina dan Jean Lubbert ketika putra residen Belanda itu menggugat kematian orang tua dan saudara-saudaranya akibat pembantaian di benteng Duurstede yang dibalas pejuang perempuan muda itu dengan mengatakan bahwa ia pun menyaksikan ayahnya, Paulus Tiahahu, digantung kompeni sebagai akibat penjajahan kompeni, cukup menggetarkan.

Ada luapan emosi kehilangan, kemarahan, keinginan balas dendam sekaligus penyesalan dari masing-masing pihak yang dapat dirasakan. Dari perdebatan itu bisa ditarik benang merah, “jika tak terjadi kolonialisme, kita tidak perlu kehilangan keluarga kita”.

Teater musikal ini dipentaskan oleh DELTADUA pimpinan Anis De Jong dan MBO yang didirikan oleh Rence Alfons. DELTADUA adalah satu-satunya kelompok teater musik Maluku-Belanda di Belanda. Sejarah Maluku pada masa kolonial dan migrasi mereka ke Belanda merupakan sumber-sumber inspirasi mereka.

Sedangkan MBO diantaranya terdiri dari pensiunan, mahasiswa, pekerja dari berbagai profesi yang punya minat besar pada pelestarian musik tradisional Maluku. Dalam pementasan kali ini MBO dipimpin oleh Direktur Artistik DELTADUA dan pendiri MBO, Rence Alfons, alumnus Institute Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1997. Pada pementasan Pertempuran/Kruit terseleksi beberapa musisi dari 130 musisi MBO.

Naskah Pertempuran/Kruit ditulis oleh Frank Den Os, karakter Pattimura diperankan Alex Lekatompessy, tokoh pahlawan perempuan muda Martha Christina Tiahahu diperankan oleh Julya Lo’ko, Rob Laloli memerankan sang putra residen, Jean Lubbert Van Den Bergh Van Saparoea, Nel Lekatompessy memerankan Maria dan tokoh pendeta Risakotta yang menarasikan cerita secara netral diperankan Francois Pical.

Sayang sekali teater musikal ini disajikan dalam bahasa Belanda dan bahasa Daerah Maluku (yang bercampur dengan Bahasa Indonesia) sehingga bagi penonton yang tidak memahami kedua bahasa tersebut akan terganggu menikmati pentas.

Sangat mengganggu jika harus menonton akting para aktor dan aktris di pentas sambil membagi konsentrasi membaca dan memahami terjemahan dialog di layar terjemahan karena walaupun bahasa Maluku yang ditampilkan juga menggunakan campuran beberapa kosakata bahasa Indonesia tetap saja untuk memahami keseluruhan konteks dialog perlu dicerna lagi.

Jika pentas menggunakan setidaknya terjemahan bahasa Inggirs mungkin akan lebih nyaman bagi penonton yang tidak berbahasa Belanda dan tidak paham bahasa daerah Maluku, mengingat, saat ini, orang yang mengerti bahasa Inggris di Indonesia tampaknya lebih banyak dibandingkan orang yang mengerti bahasa Belanda dan bahasa daerah Maluku.

Di luar ketidaknyamanan terkait bahasa, akting para pemeran dalam pentas ini sangat apik sehingga membantu mengurangi kendala bahasa tersebut. Kita dapat merasakan ekspresi-ekspresi kemarahan, dendam, penyesalahan dan pemaafan dengan kuat. Aransemen musik yang ditampilkan juga sangat menarik.

Teater musikal ini perlu dipentaskan lebih luas. Bagi penonton Indonesia teater ini mampu menyibak kisah yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar dari narasi standar kepahlawanan Pattimura. Bahwa ternyata di dalam tindakan kepahlawanan berupa pemberontakan melawan penjajah tersempil tragedi kemanusiaan.

Pentas ini juga mengungkap akibat tragis dari kolonialisme yang dapat menimpa bukan hanya bagi yang dijajah tapi juga pihak penjajah (dalam hal ini terbantainya keluarga Van Den Bergh). Deskirpsi luapan kemarahan para tokoh yang dilanjutkan dengan rekonsiliasi di antara mereka juga dapat membantu kita merefleksikan hal yang mirip pada peristiwa 1965. Memang ada kemarahan, dendam yang dapat dilepaskan namun pada akhirnya kita perlu meminta maaf serta memaafkan untuk berdamai dengan masa lalu.

Sumber bacaan:

  1. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV cet VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm 156.
  2. Surat elektronik dari [email protected] tanggal 16 November 2015.
  3. Keterangan tertulis teater musikal Pertempuran/Kruit pada pementasan tanggal 19 November 2015.