Hassan Hanafi adalah seorang pemikir kelahiran Mesir pada 13 Februari 1935. Dalam pengantar buku Hassan Hanafi Studi Filsafat 2 Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern, dijelaskan bahwa sejak kecil Hassan Hanafi mempunyai kerisauan tentang realitas dunia Islam, khususnya di Mesir, yang dianggapnya stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan. Oleh karena itu, ia berusaha mengembangkan kesadaran keagamaan dan filosofis.

Hassan Hanafi sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berhenti pada teks dan warisan masa lampau. Hassan Hanafi sendiri merupakan seorang pemikir yang sangat konsen pada persoalan-persoalan riil masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan dan perampasan yang banyak terjadi di dunia Islam.

Bagi Hassan Hanafi, sebuah pemikiran, bahkan risalah keagamaan tidak akan ada artinya, bahkan bukan merupakan pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan. Hassan Hanafi dikenal mempunyai sense of reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya, seperti Ad-Din wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqidah ila ats Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, dan karya-karya lainnya.

Membedah Gagasan ‘Kiri Islam’ Hassan Hanafi

Dalam buku Epistemologi Kiri (2007)Listiyono Santoso menjelaskan bahwa istilah kiri merujuk kepada wacana pemikiran dan gerakan yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang nakal untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika Ziaul Haque dalam buku Wahyu dan Revolusi (2000) berpendapat bahwa sejak semula Islam adalah ajaran kiri karena selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif.

Salah seorang pemikir Islam pun, yakni Hassan Hanafi mengemukakan gagasan tentang ‘kiri Islam’ yang tertuang dalam karyanya yang berjudul Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami. Menurut Abad Badruzaman dalam bukunya Kiri Islam Hassan Hanafi (2005), Hassan Hanafi memahami Islam sebagai ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan setara.

Lebih lanjut, Hassan Hanafi berpendapat bahwa Islam bukanlah suatu ide baku atau suatu sistem ritual-ritual, upacara-upacara dan lembaga-lembaga yang kaku, melainkan suatu prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama. Inti dari ajaran para nabi (meski mungkin lembaga-lembaganya berubah, ada variasi-variasi dan sebagainya), tapi kesemuanya menegaskan kebenaran satu sama lain, yakni prinsip masyarakat yang adil, egaliter, persaudaraan dan sebagainya.

Menurut Eko Prasetyo dalam buku Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial (2003), kiri Islam yang digagas oleh Hassan Hanafi merupakan suatu kesadaran keagamaan yang menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran), yakni tafsir atas kesadaran yang humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik.

Eko Prsetyo pun mengemukakan, bahwa dalam melihat al-Qur’an, Hassan Hanafi berpandangan kalau Quran lebih baik dilihat dan berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi sebuah tindakan.

Oleh karena itu, penafsiran atas teks Quran harus didasarkan pada ‘persepsi kehidupan manusiawi’. Hassan Hanafi kemudian mengajukan apa yang disebutnya sebagai ‘hermeneutika sosial’, di mana yang diutamakan bukan sekedar menjelaskan, melainkan juga memahami; tidak hanya mengetahui tapi sekaligus menyadari.

Dengan mengutip Kazuo Shimogaki dalam bukunya Kiri antara Islam Modernisme dan Posmodernisme (1994), dijelaskan bahwa sosok penafsir bukan hanya menerima teks, tapi juga memberi makna. Pemaknaan tersebut kemudian diletakkan dalam struktur yang rasional dan nyata.

Lebih lanjut, Eko Prasetyo menambahkan, bahwa bagi Hassan Hanafi, perlu ada ‘revolusi’ keyakinan keagamaan yang diawali dengan pemahaman mendasar terhadap apa yang disebut sebagai tauhid. Tauhid, dalam pemahaman Hassan Hanafi, adalah jihad dan penaklukan. Tauhid terbagi ke dalam dua sisi, yakni tauhid ucapan dan tauhid perbuatan yang berimplikasi pada dua tindakan mendasar.

Adapun tindakan yang dimaksud, yakni tindakan meniadakan yang bermula dari syahadat yang pertama, bahwa “tiada Tuhan selain Allah” harus dipahami juga bahwa seseorang hendaklah membebaskan manusia dari segala pemaksaan, penganiayaan, otoritarian dan kekejaman. Sementara kalimat syahadat yang kedua, “bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, adalah pernyataan tentang kesempurnaan wahyu.

Oleh karena itu, syirik bukan semata-mata tindakan yang ujudnya adalah penyembahan berhala, melainkan juga penguasaan manusia atas manusia lannya termasuk syirik. Bagi Hassan Hanafi, selama dalam sistem sosial masyarakat masih ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin, adanya golongan penindas dan tertindas, maka selama itu pula masyarakat dibalut oleh paham syirik.

Kita tahu, dewasa ini, kita mengenal apa yang disebut sebagai globalisasi ekonomi yang berbasiskan kapitalisme-neoliberal. Sedikit menyinggung pandangan William I. Robinson, seorang profesor Sosiologi menulis buku Promoting Polyarchy Globalization, US Intervention and Hegemony (1996), di mana dijelaskan bahwa Amerika Serikat dalam upayanya untuk semakin menghegemoni dunia, mereka turut mengekspor apa yang disebut oleh Robinson sebagai ‘poliarki’, yang sebenarnya merupakan usaha untuk melegitimasi ‘ketidaksetaraan’ dan merupakan upaya dari Amerika agar demokrasi sejalan dengan kepentingan pasar bebas.

Oleh sebab itu, dalam situasi yang sebagaimana digambarkan oleh Robinson tersebut, saya berpandangan bahwa gagasan ‘kiri Islam’ ini masih relevan dan bisa digunakan sebagai wacana kritik bahkan menjadi antitesis terhadap tatanan kapitalisme neo-liberal yang terbukti melanggengkan ketidaksetaraan. Dengan demikian, ‘kiri Islam’ diharapkan mampu menginterupsi dominannya pasar bebas tersebut.