Al kisah disebuah pelosok desa di Negara Indonesia ada seorang Dai yang sedang khutbah Jum’at. Dengan berapi-api ia mengutip sebuah Hadits yang akan dijadikan bahan utama dalam khutbahnya.

Hadits tersebut menjelaskan tentang segala musibah yang diturunkan Allah kepada manusia ditujukan sebagai peringatan agar mereka kembali kepada Allah. Sebagaimana Sabda Nabi SAW, "Jika timbul maksiat pada umatku maka Allah SWT akan menyebarkan azab dan siksa kepada mereka." 

Ummu Salamah RA (istri Rasulullah SAW) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah waktu itu tidak ada orang saleh?" Rasulullah SAW menjawab, "ada." Ummu Salamah bertanya, "Apakah yang akan Allah perbuat kepada mereka?" 

Rasulullah SAW bersabda, "Allah akan menimpakan kepada mereka azab sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat. Kemudian mereka akan mendapatkan keampunan dan keridhaan dari Rabbnya." (HR Ahmad).

Berangkat dari penggalan Hadits diatas, sang Dai mulai menarasikan berbagai bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Ia mengatakan bahwa, “Mulai dari banjir, gelombang pasang, tanah longsor, hingga erupsi gunung api terjadi di Indonesia di awal tahun 2021 ini”. Hal itupun benar adanya, bahkan lebih parah. 

Catatan BNPB (2021) mencatat sejak awal tahun, beragam bencana menimpa negeri ini dari banjir, tanah longsor, puting beliung, sampai gempa bumi. Sampai 26 Januari 2021, data BNPB menyebutkan, banjir 146 kejadian, longsor 35, puting beliung 29, gelombang pasang dan abrasi lima dan gempa bumi masing-masing lima kejadian. 

Kemudian, kebakaran hutan dan lahan ada satu peristiwa. Hal ini belum lagi jika ditambah dengan Bencana Internasional Covid-19 yang kasusnya di Indonesia sudah tembus di angka 1,02 juta jiwa.

Nampaknya sang Dai sepakat dengan perkataan Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi pada Senin (18/1/2021), ia mengatakan bahwa “Curah hujan sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut. 

Daya tampung Sungai Barito yang biasanya 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga memang meluap,” Curah hujan yang tinggi disebut-sebut sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan pada awal tahun ini. Namun nampaknya Pak Presiden dan Sang Dai lupa bahwa ada peran-peran manusia rakus yang merusak alam tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. 

Catatan Jatam (2021) menunjukkan bahwa luas wilayah Kalimantan Selatan yang 3,7 hektare, ternyata 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). 

Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah. IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.

Walhi Kalsel (2021) mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman. Peralihan dari Lahan Perhutanan menjadi lahan tambang batu bara dan perkebunan sawit-lah yang menyebabkan banjir.

Banjir tidak akan terjadi jika hutan sekunder dan hutan primer yang fungsinya menyerap air tidak tergusur tambang dan perkebunan. Kesimpulan Laporan Jatam (2021) menunjukkan bahwa banjir terjadi karena eksploitasi berlebihan perusahaan terhadap alam, sehingga merusak ekosistem. 

Ekosistem hutan dirusak oleh terbitnya perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan yang punya fungsi ekologi terganggu, semisal kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst.

Argumen utama dari sang Dai dalam khutbahnya adalah bahwa segala bentuk bencana alam yang terjadi, disebabkan oleh warga di daerah tersebut yang melakukan maksiat (mo-limo). Tetapi dengan melihat data diatas nampaknya, khutbah tersebut salah alamat jika disampaikan kepada masyarakat terdampak musibah. 

Sebagaimana kita tahu bahwa Banjir awal tahun ini merendam sepuluh dari 14 Kabupaten Kota. BNPB (2021) mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam, 39.549 warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Dampak paling signifikan terjadi di Kabupaten Batola dengan 28.400 jiwa terdampak. Pemerintah provinsi telah menetapkan status tanggap darurat bencana per 14 Januari 2021.

Seharusnya khutbah tersebut dialamatkan kepada para oligarkhi yang telah merusak ekosistem hutan untuk mendulang untuk melalui perkebunan sawit dan tambang batubara. Dan dialamatkan kepada para politisi yang dengan mudah mengeluarkan ijin eksploitasi kawasan hutan untuk tambang dan perkebunan. 

Nampaknya dari realitas ini, sang Dai harus membacakan Q.S. Al-Baqarah 11-12. “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. 

Orang-orang munafik inilah yang harusnya mendapatkan setiap doa laknat dan bertanggungjawab atas setiap bencana yang terjadi di muka bumi ini. Bukan kaum papa yang telah termarginalkan dan terdampak bencana itulah yang harus disalahkan dari setiap bencana yang ada.

Kemudian di Khutbah kedua sang Dai menutupnya dengan membacakan surah Nuh ayat 10-12, yang artinya Maka aku berkata (kepada mereka), "Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu." (Q.S. Nuh :10-12). 

Setelah dibacakan ayat ini, sayapun segera mengucapkan “astagfirullohaladzim” kok masih ada ya pola pikir macam begini ?. Setelah Khutbah sang Dai dan jamaah-pun kembali kerumah masing-masing sembari ber-istigfar, dan para oligarki-pun tetap berpesta-pora berbuat kerusakan dimuka bumi tanpa dipersalahkan.