Makna skeptis sering dikelirukan sebagai sekadar ketidakpercayaan atau sikap negatif belaka. Sebetulnya skeptis adalah bagian dari proses penalaran, pemikiran kritis untuk menilai sebuah kesimpulan; apakah suatu kesimpulan punya alasan pendukung sah atau tidak. Bukan pula sekadar mencari justifikasi kesimpulan sebelumnya yang pernah dipunya.
Dalam booklet terbitan National Academy of Sciences ( NAS ) Amerika, disebutkan bahwa skeptis adalah doktrin dasar pegangan tiap ilmuwan. Tidak ada yang diterima atau ditolak tanpa pertimbangan bukti-bukti. Bahwa Ilmu pengetahuan berkembang maju berkat perkawinan unik antara kreativitas manusia, skeptisisme, keterbukaan untuk menerima sumbangan-sumbangan pengetahuan baru, serta pertanyaan terus-menerus terhadap konsensus-konsensus yang sudah ada.
Jadi sikap skeptis adalah salah satu roh dari kemajuan ilmu pengetahuan. Tentunya juga roh dari sebuah peradaban. Ada catatan sejarah ketika peradaban Islam mencapai puncaknya, yakni ketika Baghdad, ibukota Dinasti Abbasiyah (750-1268) pada abad ke 9 menjadi pusat peradaban dunia.
Nafps dan degub jantung Baghdad waktu itu adalah ramai perdebatan para penghuninya. Dalam segala topik yang sulit dibayangkan. Segala pertanyaan kehidupan seperti ingin segera didapatkan jawabnya. Orang berkumpul di mesjid tidak hanya untuk sembahyang. Ke pasar bukan sekadar berdagang. Seluruh kota adalah tempat diskusi, tempat mengemukakan pandangan skeptis berbagai isu.
Apakah orang Arab lebih mulia dari Persia? Apakah presiden mesti orang Arab? Apakah manusia punya kehendak bebas atau terikat takdir? Apakah Quran makhluk Allah atau bukan? Kias antropomorphic dalam Alquran, seperti Tuhan duduk di atas singasana, Wajah Tuhan, Tangan Tuhan, menimbulkan bahan perdebatan yang aneh-aneh. Kalau Tuhan ada di mana-mana, apakah Dia juga berada dalam perut seekor burung?
Iklim kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat, serta skeptisme merupakan lahan subur melahirkan masyarakat kreatif. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Muncul banyak pionir-pionir ilmu yang bahkan meletakkan landasan bagi ilmu pengetahuan modern saat ini Ketika “lampu” Baghdad mati abad 13, karena serangan bangsa Mongol, mati pula peradaban Islam.
Tapi, apakah skeptisisme bisa diterapkan kepada agama? Sebetulnya jelas sekali Alquran mendorong sikap skeptis. Misalnya, argumen skeptis digunakan ketika mempertanyakan berhala yang dijadikan sesembahan. Bukankah mereka tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kepada manusia? Seseorang haruslah tetap berpikir sebelum menerimanya walau itu datang dari orang-tuanya sekalipun:
Dan, Lihat ketika Ibrahim berkata pada bapaknya, Azar: “Apakah engkau menjadikan berhala sebagai Tuhan? Sungguh aku melihat bahwa engkau dan kaummu dalam kesesatan!” Dan kemudian kami beri Ibrahim pemahaman mengenai kekuasaan Allah atas lelangit dan bumi. Agar dia dapat menjadi salah seorang yang benar-benar yakin.
Maka ketika malam gelap tiba, dia melihat sebuah bintang; Dia berseru, “Inilah Tuhan Pemeliharaku”- tatkala bintang terbenam, dia berkata, “Aku tidak suka kepada hal-hal yang terbenam.” Melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Ketika bulan terbenam, dia berkata, “Jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pasti aku akan termasuk di antara orang-orang yang tersesat.”
Ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, inilah yang terbesar.” Ketika terbenam, dia berseru, “ Hai kaumku! Aku berlepas diri dari meniusbahkan ketuhanan, seperti yang kalian lakukan, kepada apa pun selain Allah! Kepada Dia yang menciptakan lelangit dan bumi kuhadapkan wajahku.” ( Alquran 6:74-79 )
Dalam ayat yang lain, Alquran menganjurkan orang-orang bersikap skeptis pada keyakinan warisan orangtuanya:
Dikatakan kepada mereka, “Ikuti apa-apa yang diwahyukan Allah kepadamu.” Mereka berkata, “Tidak, kami tetap akan mengikuti apa yang telah diyakini dan dilakukan nenek-moyang kami.” Mengapa begitu, bahkan jika nenek-moyang mereka tidak menggunakan pikiran mereka sama sekali, dan tidak mendapatkan petunjuk? (Alquran 2: 170)
Meraih iman tidak sama dengan sekadar menganut agama. Iman membutuhkan proses selangkah lebih dalam. Proses penerimaan hati:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah ber-Islam’, karena iman yang sejati itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Alquran 49:14)
Tapi, memang, pada soal agama, sikap skeptis cenderung dihindari. Antara lain karena sikap itu sering dikelirukan dengan ateisme. Dan bukankah agama itu dasarnya Iman, bagaimana iman akan dinalar?
Tapi memang menalar bukan pekerjaan mudah bagi setiap orang. Anehnya, keseganan menalar agama ini bukan terjadi pada kalangan awam saja. Tapi, kadang malahan lebih-lebih terjadi di kalangan terdidik tertentu. Mereka ini “masuk” lebih intim ke agama karena mungkin tidak tahan lagi pada tekanan hiruk-pikuk dunia modern yang penuh dengan stres.
Maka dalam agama mereka menemukan perlindungan aman. Mereka menemukan jawaban agama atas berbagai persoalan dunia. Padahal jawaban-jawaban sederhana tersebut sebetulnya memerlukan elaborasi yang tidak kurang kompleks dan sulitnya. Elaborasi itu ditolak karena mereka tidak mau pusing lagi. Dan tidak mau kehilangan rasa aman yang sudah didapatnya.
Bahayanya, sikap skeptis ini berhubungan erat sekali pada kemampuan berpikir rasional yang sehat. Dan menurut dua filosof dan sufi besar Ibn Sina dan Al Ghazali bahwa kemampuan rasional itu, rasiosinasi (ratiocination: reasoning ability) berfungsi sebagai pembersih hati nurani yang mempertajam kemampuan menerima hal-hal yang bersifat intuitif seperti ilham, moral, bahkan iman.
Itu mungkin bisa menjelaskan bahwa bila seseorang merosot kemampuan berpikir rasionalnya, bisa merosot pula kemampuan nuraninya dalam membedakan mana yang baik mana yang salah.
Kita bisa melihat, karena tidak populernya skeptisisme, orang tidak bisa lagi membedakan antara ulama dan “ulama”. Ulama (dalam pengertian populer, yang sebenarnya baca “Makna Ulama” ) sebetulnya bukan cuma sosok sarjana agama. Tapi ulama adalah juga sosok pencapaian spiritual yang ditengarai dari akhlak dan kesantunannya. Juga sosok yang punya jejak rekam yang patut diteladani.
Sekarang ini, sembarang orang yang bisa berpidato lumayan dan membaca Al Fatehah, diterima sebagai guru dan ustaz. Tausiahnya kemudian total diterima tanpa dikunyah. Nurani sudah tidak bisa skeptis dan menyaring mana ujar kebaikan, yang diridai Allah dengan ujar kebencian, ujaran setan.
Kita bisa melihat bahwa orang sudah sulit bisa membedakan pemimpin yang baik, yang tidak korup, dengan pemimpin preman. Coblos sesuai dengan hati nuranimu! Itu sudah jadi slogan yang yang bisa berbahaya. Karena sudah banyak hati nurani yang tidak bersih lagi. Sudah dikotori setan.
Perdebatan ilmiah soal agama jarang terjadi karena skeptisme ilmiah yang sehat. Tapi perdebatan banyak terjadi karena niat membungkam pendapat lain. Yang lain pasti salah, pendapat saya saja yang benar. Itu dibarengi pula dengan pembunuhan karakter ulama yang berbeda pendapat.
Seharusnya, seperti pada sains, sikap skeptis yang sehat pada ilmu agama akan juga menyumbang memajukan ilmu agama. Ilmu tafsir Alquran, ilmu hadis, ilmu sejarah Islam, dan lain-lain cabang ilmu agama.
Pada tingkatan individual, sikap skeptis yang sehat akan meningkatkan pemahaman dan keyakinan agamanya. Kemudian akan pula memperkuat imannya, Insyaallah.