Hanya untuk para pemikir yang terbuka kita bisa menyuarakan pendapat dengan tenang tanpa harus takut dituduh kafir laknat dan bagainya.
Kita menyadari bahwa tuduhan kafir itu dan kecaman yang disampaikan oleh seseorang dengan rasis itu mencerminkan kurangnya aktivitas berpikir.
Disebabkan konsumsi teologi yang berlebih sehingga yang terjadi semacam overdosis keyakinan iman yang berlandaskan ikuti saja dulu, jalani saja dulu, tanpa seseorang itu diberi kesempatan untuk bertanya bahkan meragukan suatu keyakinan yang berlandaskan pengetahuan.
Hidup ini yang dikejar apasih? Dunia hanya sementara, ngapain belajar susah-payah toh mati yang dikejar akhirat juganya, doktrin tak beradab dari pemuka agama tersebut menyebabkan banyak generasi millenial kita impotensi penalaran, terjerumus untuk grasak-grusuk belajar agama tanpa pegangan nalar yang utuh.
Sehingga yang terjadi sekarang ini gairah pengetahuan itu telah hilang dan cinta akan kebebasan berpikir telah tiada, tertutupi akan pemaksaan syariat yang membatasi.
Padahal para nabi dulu kalau kita pahami sebelum mendapatkan wahyu pada awalnya mereka paling terdepan mengkritik ketuhanan.
Yang kita kejar adalah apa yang terlihat di depan mata pada masa kini, dimana kita dihadirkan tanpa pernah kita inginkan.
Apakah kita pernah merencanakan nama yang kita inginkan? Tentu tidak. Kalaupun kehidupan bisa terulang, hidup takkan pernah bisa kita ulangi seperti yang kita inginkan.
Kita datang dan menghirup nafas pada masa kini berlandaskan apa yang nyata ada, bukan halusinasi, dan bukan fantasi serta imajinasi yang berlebih sehingga menyerahkan sepenuhnya hidup kepada bukan yang pasti nyatanya.
Rasionalitas itu harus tetap terjaga, spritualitas itu ada hanya bukan berarti untuk diperlihatkan sepenuhnya sebab pegangan yang seutuhnya adalah penalaran yang terkadang memang bila akal terus diasah ada terasa seakan tekanan batin yang menyiksa di dada.
Ada dilema yang berkepanjangan dan tak pernah usai sehingga sering sekali para pemikir akan ditanya seperti berikut, apakah tidak pening belajar filsafat? Jawabannya yang sesungguhnya adalah pening itu adalah ketika kita tak memiliki pemikiran, bukan karena banyak pemikiran lalu pening kepala.
Memang kontradiksi akan terus ada diantara beragam keadaan dan tak semua orang mampu menjalani kehidupan dengan pemikiran yang ruwet.
Saya paling suka dengan kebebasan berpikir, tapi terkadang kebebasan berpikir itu bisa mengundang mara bahaya yang bisa datang kapan saja menghantam sang pemikir.
Itu makanya sedikit suara saja yang diucapkan para pemikir akan terasa sakit didengar oleh seseorang yang terbiasa aktif dalam aktifitas keramaian.
Ini disebabkan karena pengetahuan itu ada yang bersifat masa kini dan masa selanjutnya, singkatnya berkarya melampaui zaman.
Ketika seorang pemikir mengucapkan satu pendapat yang bertentangan dari pandangan umum maka akan ada dua tanggapan yang ia terima, pertama disebut gila dan kedua dijauhi dan jangan sampai didekati.
Saya harus mencari cara aman dalam bergaul karena situasi saat ini memang sangat absurd, bayangkan saja betapa aneh bila kita menemukan seorang kutu buku justru dianggap sakit jiwa dibandingkan dengan seorang kutu game online?
Saya tak memiliki aplikasi permainan PUBG dan Mobile Legend dan saya dianggap gila diketawain? Okelah kalau diketawain sekali dua kali tapi kalau seterusnya bagaimana? Melayanglah gelas kopi tu ke kepala tapi saya coba menahan diri untuk tidak semakin mengundang banyak masalah sebab fokus kepada tulisan dan bacaan saja.
Menulis dan berkarya bukan mencerca serta mengada-ngada, berupaya menghasilkan inspirasi dengan memperbanyak bahan referensi bacaan dari pemikir dunia.
Dan kita sepakat bahwa beragam penafsiran itu adalah hal biasa dan justru kita dituntut untuk menghasilkan interpretasi baru dari beragam sudut pandang yang kritis agar suatu fenomena tidak dipandang sebagai satu pandangan saja.
Berbeda itu indah, dan biasa saja kalau ada perbedaan karena itu bagian dari fungsi manusia sebagai makhluk yang berbeda bahwa kebebasan berpendapat itu juga dijamin oleh undang-undang.
Seorang penulis novel Italia, Italo Calvino menyatakan: "Kenangan harus cukup kuat untuk memungkinkan kita bertindak tanpa melupakan apa yang kita ingin lakukan, untuk belajar tanpa berhenti untuk me jadi orang yang sama, tetapi kenangan juga harus cukup lemah sehingga mengizinkan kita untuk terus bergerak menuju masa depan."
Yang belum membaca buku Karl Marx mungkin begitu mudah menganggap bahwa itu adalah buku kafir, tapi setelah membaca buku-buku tersebut beserta para pemikir sosialisme barulah terbuka mata pikiran kita bagaimana para pemikir itu dalam memperjuangkan kesetaraan.
Pada awalnya memang begitu mudah bagi kita sewaktu masih awam untuk mengkafirkan, menunjuk-nunjuk kesalahan yang sebenarnya belum kita kuasai sisi dalamnya.
Friedrich Nietzsche mengatakan, "Kecuali Anda memiliki kekacauan dalam diri Anda, Anda tidak bisa melahirkan sebuah bintang menari." Yang dimaksud adalah Manusia tidak akan mampu menjadi benar-benar kreatif, tabah, mencinta jika tidak mampu membuat kesalahan, untuk melihat hal-hal selain diri mereka sendiri dan percaya hal selain diri mereka sendiri.