Kita mengerti. Semua orang ingin dikenal dan dikagumi. Tapi HMI kan bukan gerombolan mafia, yang makin tua seorang makin menguasai seluruh roda organisasi. Apa bedanya himpunan dan geng Yakuza? Kalau bukan regenerasi dijalankan dengan standar yang objektif.

Dulu aku berasumsi, musuh terbesar HMI pastilah datang dari luar, entah komunis, mata-mata penyusup atau agen rezim yang dipasang menyamar seperti kader. Setelah ku renungi, ternyata salah besar. Kini bukan lagi PKI musuhnya, tapi penjajahan melalui proposal. Ancaman terbesar tak-muncul dari kegelapan hutan lebat di luar sana, tapi monster itu memakai baju dan bahasa yang sama dengan kita.

Ketika menyelenggarakan LK, kita mengumpulkan sekian puluh anak muda dari berbagai daerah. Dengan semangat maju dan berubah, kita coba mencabuti pikiran lama mereka agar sadar perannya sebagai muslim, anak bangsa dan pemuda yang makin revolusioner tiap harinya. Tetapi, lagi-lagi niat mulia itu kandas kala virus masuk, menyelinap meracuni idealisme pentrainingan.

Ada 1 kesalahan fatal pengurus HMI, mereka tak becus cari dana mandiri! Gara-gara ketua gagal membudayakan iuran, struktur tak pernah punya kas untuk biayai kegiatan. Sialnya, di dalam pedoman organisasi, tiap tahun pengurus diwajibkan mengadakan pelatihan yang sudah pasti butuh uang. Lalu, kemana cari uangnya dan bagaimana cara mendapatkannya?

Sebenarnya aku pun tak becus cari dana. Bagaimana bisa orang tiap hari mengkritik, mengutuk adat senioritas, tiba-tiba harus senyum manis minta sumbangan senior? Tidak, lebih baik aku ‘kere’ dari pada mendengar, ‘’Kau ngapain teriak-teriak kalau akhirnya butuh duit dariku? Tak tahu malu!’’.

Karena ‘males’ dengar begitu, aku pilih mengkritik tapi tak pernah minta apa-apa dari senior. Walau orang lain sebaliknya, diam, nurut-manut saja, tapi rutin minta bantuan Kanda-Yunda tiap punya hajatan organisasi. Masalahnya, ketika sistem iuran tak jalan dan pengurus dituntut membuat LK, mau tak mau mereka harus perbaiki hubungan dengan seniornya. Kalau perlu jilati kakinya agar cair proposalnya.

Sebenarnya tak masalah orang menyumbang. Tapi, hampir tak ada orang memberi tanpa memiliki motivasi dan kepentingan. Senior yang bantu menutupi biaya penyelenggaraan training tanpa minta apa-apa, patut dianggap manusia setengah dewa. Kita kesulitan cari orang tulus, kebanyakan mau merogoh dompet tapi disertai minta sesuatu.

Abang yang memberi uang tapi minta jadi pemateri, sama keparatnya dengan ketua komisariat, cabang, badko, kohati, yang minta dana tapi menyediakan panggung bagi senior.

Mengapa tindakan itu bahaya? Kembali lagi ke tujuan LK. Pelatihan itu untuk mencerahkan peserta, bukan meng-gelap-kan pola pikir kader. Orang yang harusnya tak diminta mengisi, karena menyumbang dana, dibiarkan masuk forum sehingga mulutnya bisa bicara ngawur kemana-mana.

Masih agak mending kalau orangnya rajin baca buku dan paham materi. Kalau sekadar punya uang, lalu membajak forum diskusi, mau jadi apa hasil pen-trainingan? Seorang keluar kota, menyeberang laut, susah payah kumpulkan uang tuk beli tiket pesawat, niatnya mau sungguh-sungguh menimba ilmu di LKK, LKII dan SC.

Tapi, gara-gara iblis jahat kapitalisme yang sengaja diundang panitia, peserta yang harusnya dapat pemateri kualitas wahid mesti puas diri diceramahi bajingan tengik yang jadi pembicara dadakan, mentang-mentang dia punya uang.

Kalau sistem begini berlanjut dan tak ada yang melawan, apa mungkin LK melahirkan insan tercerahkan? Bagaimana bisa, orang cuma lulusan LK1, dulunya hanya sampai LKK, mentang-mentang ia seorang senior komisariat, cabang, menyumbang dana ke panitia, lalu dijadikan pemateri?

Sialnya lagi, kalau dia tiap hari sibuk kerja dan jarang baca buku, kira-kira apa yang disampaikannya di forum? Jangan-jangan hoaks, karena kebohongan omongan itu timbul dari tak-akrabnya seorang dengan literatur.

Budaya komersialisasi materi organisasi itu ibarat ‘’meng-kebun-binatang-kan singa’’. Ia senang, tiap waktu makan daging tanpa usaha keras, dipuji banyak orang tapi kehilangan sifat ‘ke-singa-annya’’. Apa guna macan hidup terjamin di kebun binatang, kalau lupa caranya berburu, menerkam, memangsa? Itu pasti lah bukan lagi macan yang sejati.

Kalau kader terbiasa mengkompromikan sesuatu yang harusnya benar-benar tak boleh ditawar, kualitas SDM lembaga pasti anjlok, taring juang pergerakan tumpul.

Peserta LK harusnya makin maju, gara-gara pemateri tak-layak, hanya ‘’dikerjai’’ belaka. Disuruh hafal AD ART, ditanyai macam-macam, screening-nya sepanjang malam tak tidur, eh giliran masuk forum, disuguhi teman diskusi (pembicara) seperti badut yang bahan pembicaraannya sekadar pengalaman ‘Abdul’ (Abang-dulu).

Apa guna peserta baca puluhan buku, mengasah logika, menghafal konstitusi, kalau pembicara bukan omong intelektual dan cuma cerita pengalaman pribadi? Itu forum LKII atau acara talkshow ‘’Rumah Uya Kuya’’? Kalau LKK isinya dagelan cerita personal, harusnya tak perlu ada screening. Suruh saja Master dan peserta mojok di bawah pohon, biarkan mereka saling kenal dan curhat perasaan pribadi.

Kalau anak HMI demo dipukul polisi, kepalanya bocor, darah tumpah, puluhan ribu kader lain marah dan geruduk Polres. Giliran materi organisasi sebagai nutrisi perjuangan dikencingi senior berduit, semua diam saja.

Bahkan, dia si ketua, tak jarang malah menjilati abangnya agar keluar duitnya. Pola perkaderan model begini, lama kelamaan melemahkan sistem. Efeknya, bakal membunuh daya dobrak aktivis Hijau-hitam.

Tak tega rasanya, melihat peserta LKK, LKII, screening 3 hari 2 malam menghafal konstitusi, sampai kepalanya botak, rambutnya rontok berjatuhan. Eh, giliran di tingkatan PB HMI, bunyi AD ART itu hanya mantra di atas kertas. Dipercaya benar dalam forum LK, tapi di dunia nyata jadi bahan manipulasi dan mainan petinggi, dipelintir sesuai kepentingan pribadinya.

Tak ada dosa paling terkutuk, kecuali menyuruh anak orang belajar dan menghafal keras, tak-tidur berhari-hari, giliran memasuki forum yang dibicarakan pengalaman pribadi pematerinya. Itu ibarat Tukang Racun menyelinap ke rumah sakit. Capek-capek dokter menyembuhkan orang, si Peracun malah menebar penyakit dan merusak segalanya.

Ketua Komisariat, Kohati, Cabang, sudah saatnya mereka itu kita ingatkan secara keras. Kalau perlu kita kecam habis karena sebagai pemimpin, tak-becus membudayakan iuran organisasi.

Gara-gara kas kosong, pengurus tak punya keyakinan diri. Pikirannya selalu berkutat ‘’Senior mana lagi yang mau ku ciumi pantatnya agar cair rupiahnya?’’. Kalau mental peminta dan pengemis bersemayam dalam diri penyelenggara LK, lulusan training macam apa yang mau dibentuk?

Untuk mereka yang ngaku senior dan generasi tua, bisa kah menyumbang tanpa harus minta panggung? Kalau anda kompeten dan update persoalan terkini mahasiswa sih, agak mendingan. Masalahnya kebanyakan hanya modal dana, lalu seenaknya membajak forum. Bukan kah orang seperti itu lebih mirip ‘Begal Diskusi’, ketimbang Kakanda panutan?

Racun tak harus cairan kimia berbahaya. Saat dunia maya bak hutan belantara tak-bertuan, omongan pembicara tanpa data dan ilmu itu sama saja hoaks. Agar seorang bisa jadi pemateri yang layak, tak cukup hanya memberi duit Rp.500 ribu, sejuta. Seorang pencerah tak datang dari lembaran rupiah, tapi individu yang selalu merenung dan akrab dengan buku.

Kalau senior pembajak forum seperti ini muncul dimana-mana di tiap cabang. Suatu hari, mereka yang lulus LKK, LKII, LKIII, dari didikan semacam itu pasti akan duduk di PB HMI. Beberapa jadi pengurus, dan sangat mungkin ada dari mereka jadi ketum. Jadi jangan heran kalau wataknya lebih mirip macan di kebun binatang. Kelihatannya singa, tapi bakat menerkam dan mengaumnya, sirna.

Dampak lebih luasnya, saat rakyat keberatan BBM naik, rupiah anjlok, harga gula terlalu murah petani tebunya menjerit, kader di daerah demo sampai berdarah-darah, ketumnya malah bilang ‘itu gerakan politis!’. ‘’Ternyata kepalamu bocor saja tak cukup nak untuk ketuamu belain kamu’’.

Mungkin perlu ada yang tewas dulu, baru ketum PB nya mau teriak. Tapi bagaimana mau mengecam pemerintah, orang kemarin baru saja makan bareng dan foto mesra dengan presiden?