Perempuan adalah makhluk yang diciptakan oleh Yang Mahakuasa dengan segala keistimewaan. Ia mulia, begitu indah dan berharga. Dibekali kecantikan dan segala potensi serta kekuatannya untuk menjadi penggerak motivasi dalam hidup, memiliki kelebihan untuk bisa berketurunan.

Perempuan itu diriku, dirimu dan kita. Dilahirkan dengan keadaan perempuan harus bangga. Entah diriku sendiri atau kamu maupun kita, sebagai perempuan. Tentu memiliki cerita masing-masing dalam pengalaman hidupnya.

Perempuan memang istimewa. Ia diberikan kepercayaan dan kekuatan oleh Allah untuk bisa melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Memiliki rahim yang menjadi tempat hidup calon manusia-manusia yang hebat.

Begitu mulianya perempuan, sehingga Rasullah ketika ditanya sahabatnya, “Kepada siapa aku harus berbuat baik?” Jawaban Rasul, “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu Ayahmu.” Ada surga di telapak kakinya. Tentu semua orang di kehidupan kekalnya akhirat nanti ingin berada di surga. Ternyata surga itu pun ada yang di dunia, yaitu perempuan memilikinya.

Betapa istimewa serta mulianya perempuan diciptakan. Namun, dalam kehidupan fana ini, seperti apakah sosok perempuan istimewa itu? Apakah ia yang cantik? Memiliki karir bagus? Ramah? Suka belanja? Dan masih banyak lainnya.

Selain segala keistimewaan yang memang sudah dibekalkan oleh Allah kepada perempuan, ternyata dalam kacamata manusia memiliki cara yang relatif dalam memandang perempuan. Artinya, setiap individu memiliki cara berbeda dalam memandang dan menilai perempuan dalam kehidupan.

Berbekal segala potensi yang dimiliki. Ada perempuan yang memiliki pengalaman pendidikan tinggi hingga menjadi perempuan karir. Ada juga perempuan yang predikatnya sangat melekat dengan keseharian menjadi ibu rumah tangga.

Perempuan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sehingga di zaman yang semakin modern ini, tidak asing lagi banyak perempuan yang beruntung bisa mendapatkan pendidikan lebih layak. Membekali dirinya dengan segala ilmu untuk kebermanfaatan masyarakat juga anak keturunannya kelak.

Ilmu tersebut akan terus bermanfaat sepanjang hidupnya, meskipun setelah menyelesaikan pendidikannya tidak sedikit perempuan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dibandingkan berkarir terlebih dahulu mengaplikasikan ilmunya.

Tidak ada salahnya bagi perempuan yang memutuskan menikah lebih cepat dan mengabdikan diri pada keluarga kecilnya. Kembali lagi, kacamata kehidupan setiap individu itu bersifat relatif. Apapun yang menjadi pilihan hidupnya, perempuan tetaplah perempuan dengan segala keistimewaannya.

Terkadang keistimewaan yang dimiliki perempuan menjadi objek kesalahan dari banyak pihak bahkan dari perempuan itu sendiri. Maksudnya di sini adalah ketika ada seorang perempuan yang menjalani kehidupannya senormal mungkin, terkadang masih banyak tantangan yang dihadapinya.

Tantangan tersebut bisa membuatnya nyaman bahkan sangat tidak nyaman bagi dirinya. Mudahnya, tidak jarang perempuan ditempa oleh cibiran atau omongan dari luar dan kejadian tersebut pun sering-sering dilakukan oleh para perempuan itu sendiri, bukan laki-laki.

Banyak problematika yang dirasakan oleh perempuan. Beberapa kasus dalam tulisan ini mungkin ada yang pernah dirasakan oleh sebagian pembaca. Ada perjalanan perempuan yang memilih menyudahi jenjang pendidikan sampai SMA saja ataupun dibawahnya. Ada yang berhasil memiliki usaha sendiri. Ada pula yang perjalanannya masih tetap menjadi karyawan.

Bekerja berangkat pagi hingga sore bahkan malam. Demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak jarang, banyak seliweran ucapan kurang nyaman baginya. “Kerja terus buat apa? Sampai nggak nikah-nikah.”

Saat pendidikan lebih tinggi kini mudah dijangkau oleh perempuan. Banyak lulusan Sarjana, Magister, bahkan diatasnya, mudah disandang oleh para perempuan. Para lulusan tersebut memiliki jalan cerita kehidupan yang beragam.

Ada yang bekerja di bawah perusahaan tempatnya mengabdi, ada pula yang merintis menjadi wirausaha, bahkan ada yang sekolah tinggi tetapi lulus langsung menikah. Nah, bagi mereka yang lulus langsung menikah sering juga mendapati ketidaknyamanan dari respon sesama perempuan atau bahkan lain gender. “Sekolah tinggi-tinggi ujungnya nikah. Kan percuma ilmunya.”

Perihal menikah, itu adalah pilihan dan atas izinNya. Apabila sudah memenuhi syarat daripada menunda lama dan calon sudah siap secara lahir dan batin, maka lebih baik menikah. Namun, pandangan menikah setelah lulus kuliah masih sering dianggap bahwa ilmu yang sudah didapat malah eman atau sayang, tidak bermanfaat.

Padahal menikah bukanlah penghalang dalam mengaplikasikan semua ilmu yang dimilikinya. Cara memanfaatkan ilmu tidaklah semata hanya dengan bekerja. Apabila lulus kuliah langsung menikah, juga masih dianggap tidak memiliki rasa kasihan kepada orang tua yang sudah membiayai sekolah, itu juga pandangan yang kurang tepat.               Orang tua memang berkewajiban memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya sesuai kemampuan. Anak pun dengan pilihan menikah tetap memiliki kesempatan luas untuk tetap berbakti atau membahagiakan orangtuanya. Tentang berbaik hati kepada orang tua, itu berlangsung selamanya.

Ternyata tidak berhenti sampai disitu mengenai tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Perempuan dengan usia cukup, tetapi belum kunjung menikah menjadi bahan omongan yang kurang benar. Padahal perempuan tersebut sedang fokus berkarir  ataupun tengah berusaha mencari dan berdo’a. Namun tak kunjung juga dipertemukan.

Saat dirinya sudah menikah dengan cara yang benar, kemudian diberi rezeki memiliki anak atau hamil lebih cepat ternyata menjadi cibiran juga. Dipikirnya hamil di luar nikah, sehingga harus segera diresmikan.

Ketika perempuan yang sudah menikah belum juga kunjung memiliki keturunan. Dikira istri atau suaminya bermasalah dalam hal kesehatan. Anggapan lain, mungkin si perempuan tidak bisa hamil alias mandul. “Padahal nikahnya cepetan si A, tapi kok hamilnya duluan si B. Coba deh diperiksakan. Apa gak pernah cek-cek selama ini? Usaha dong!”

Hal seperti itu tentu saja sangat menyakitkan hati para perempuan. Apalagi ucapan seperti itu keluar dari mulut para perempuan yang dirinya sendiri pun adalah seorang perempuan dan pernah berpengalaman dalam menanti momongan.

Tantangan lain yang terus berkembang. Saat perempuan melahirkan secara Caesar ataupun normal yang masih ada kendala saat prosesnya. Dibilang tidak menurut dengan nasihat jaman dulu. Padahal perempuan tersebut mengikuti perkembangan dunia kesehatan yang kini lebih ramah dalam menyampaikan info kesehatan ibu hamil, melahirkan hingga pengasuhan.

Ada seorang ibu yang baru memiliki anak, mendapat respon kurang menyenangkan dari cara mengasuhnya. Bukannya mendapat dukungan untuk bisa memperbaiki letak kekuarangannya malah mendapat respon yang menjatuhkan semangat sang ibu.

Menjadi perempuan memang berat. Bergulat dengan emosi. Ditempa cibiran yang datang dari perempuan juga. Semua perempuan itu istimewa dengan segala ragam potensi yang dimilikinya. Terkadang menjadi benar di lingkungan yang salah malah menjadi masalah. Berpikir positif di tengah lingkungan yang negatif, seperti berperang dengan diri sendiri.

Semua perempuan memiliki kesalahan, tetapi juga tetap memiliki sisi positif dan alasan masing-masing. Berawal dari diri sendiri. Memiliki kekuatan dari dalam diri sebagai perempuan. Mari bersama menunjukkan keistimewaan perempuan dengan cara yang benar.