Pertanyaan kapan menikah akan menjadi konsumsi primer bagi seorang perempuan, yang senantiasa terdengar di berbagai kesempatan. Apalagi, ketika seorang perempuan tersebut telah menginjak usia 26 tahun ke atas. 

Ya, usia yang cukup matang kata orang-orang untuk seorang perempuan menikah dan memiliki keluarga. Namun, bagi sebagian perempuan, bukanlah perkara mudah dan gampang untuk melabuhkan hati kepada seseorang, apalagi akan menghabiskan hidup bersama dengannya.

Begitulah sedikit alasan dari sekian alasan bagiku dan mungkin juga bagi perempuan-perempuan Minang lainnya. Perempuan yang sudah berumur 26 tahun ke atas dan belum menikah, maka bersiaplah untuk menjadi gunjingan tetangga dan masyarakat setempat. 

Keterlambatan menikah bagi anak-anak perempuan di lingkungan sekitar masih dianggap sebagai hal yang menyedihkan dan bahkan dianggap sebagai perawan tua yang telah mendapatkan kutukan; atau istilah Minang-nya adalah “Santuang Palala” yang muncul akibat salah satu anggota keluarga yang mungkin saja pernah melakukan kesalahan di masa lalu.

Keangkeran ini masih saja berkembang hingga saat ini. Jika zaman dahulu para orang tua kita banyak yang menikah pada umur belasan tahun, dan pemandangan seperti ini lazim pada saat itu, bahkan sudah banyak yang beranggapan “telat menikah” di umur 20 tahun. 

Namun jika dikaitan dengan kondisi saat ini, dengan perkembangan zaman dan teknologi, rasanya umur belasan tahun atau 20 tahun itu masih dalam proses pembelajaran di tingkat Universitas atau bangku kuliah. Bahkan bagi mereka yang baru tamat SMA masih mencari pekerjaan untuk kebutuhan, atau masih saja berkeliaran ke mana-mana tanpa tujuan yang jelas. 

Nah, bagaimana mereka mampu membina rumah tangga dengan kondisi yang seperti ini?

Bahkan ada kasus dari tetanggaku yang menikah di umur belasan ini, namun rumah tangganya tak pernah harmonis. Pertengkaran selalu saja mewarnai rumah tangganya. 

Ditambah lagi dengan kondisi jiwa yang masih labil yang masih ingin menikmati masa muda dengan berhura-hura dengan teman-temannya, seolah menambah keprihatinan ini. Tak dapat dimungkiri malah kedua orang tua mereka kerap ikut bertikai hanya karena masalah rumah tangga anak-anak mereka. 

Tak berhenti sampai di sini, kasus yang sama juga dialami oleh tetangga-tetanggaku yang lainnya. Menikah di usia muda, namun telah mengalami perceraian dan menikah lagi hingga beberapa kali.

Kondisi yang seperti ini, bahkan masih tak menyurutkan anggapan dari lingkungan sekitar bahwa menikah di usia dini ini takkan selalu baik bagi kaum perempuan. Mindset masyarakat sekitar belum mampu berubah dengan perkembangan zaman saat ini. 

Bahkan bagi kami anak perempuan di kampung ini harus pergi merantau dari kampung halaman, jika tak ingin dicap sebagai kutukan keluarga yang berimbas kepada anak-anak perempuan yang susah dapat jodoh.

Namun pertanyaannya adalah, apakah yang melatarbelakangi seorang perempuan bisa mengalami hal tersebut? 

Mungkin akan banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Ada yang mengatakan ingin kuliah lebih tinggi dulu, ingin membahagiakan orang tua dulu, ingin berkarier dulu, ingin membalas jerih payah orang tua dulu, ingin menyembuhkan patah hati dulu, ingin memilih yang tepat dulu, ingin punya pekerjaan yang layak dulu, serta tak ingin mengalami hal yang sama dengan orang tua yang mungkin pernah gagal mengarungi rumah tangga dan sebagainya. 

Masih berjibun alasan dan teori lainnya yang menjadi faktor mereka terlambat menikah.

Terkadang mungkin kita pernah berfikir heran terhadap sosok perempuan yang begitu sempurna di benak kita. Memiliki wajah cantik, budi baik, keluarga utuh, pekerjaan bagus, dan sebagainya, yang membuat ia begitu sempurna. Namun di usianya yang sudah begitu matang belum juga kunjung menikah. Apakah yang salah? 

Apakah ia yang terlalu memilih pasangan ataukah para lelaki yang tak punya kepercayaan diri untuk melamar sang perempuan karena merasa tak sepadan dengannya? Sehingga akan timbul istilah “cukup diperhatikan tapi tak untuk dimiliki”. Haha. Entahlah. Masih menjadi teka-teki yang harus dicari pemecahannya.

Ada juga perempuan yang masih betah melajang dengan alasan ingin menikmati masa muda dengan kebebasan tanpa adanya hubungan yang mengikatnya, karena jika sudah menikah kebebasan itu takkan didapatnya. Namun ada juga yang menjalin hubungan bertahun-tahun lamanya, tapi belum berani melangkah ke pelaminan. Sehingga seperti kapal yang terombang-ambing oleh deburan ombak.

Alasan-alasan tersebut sedikit dari sekian faktor yang memengaruhi seorang wanita kenapa ia terlambat menikah. Kasus serupa datang dari para sahabat saya sendiri yang sudah memiliki umur hampir angka 30an, namun belum menikah. 

Alasan mereka bukan karena tak memiliki pasangan, atau karena pemilih dan sebagainya. Namun bagi mereka, semua itu hanya masalah waktu yang tepat saja. Mungkin Tuhan belum berpihak pada mereka saat ini, tapi akan ada masa dan waktu yang tepat dan indah dari Tuhan.

Lalu pantaskah kita mengeklaim seseorang yang terlambat menikah sebagai perawan tua yang tak laku, bahkan sebagai kutukan atau terkena “Santuang Palalau” tadi? Tidakkah terlalu kejam rasanya menuduh seseorang dengan tudingan sebesar itu?

Bahkan adanya yang menyindir dengan nyinyiran, “sendal jepit aja berpasangan, masa kamu gak sih?” 

Bahkan mungkin bagi mereka yang melontarkan gurauan semacam itu adalah hal biasa. Namun, bagi mereka yang mungkin tersenyum di bibir, tapi menggores luka di hati. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing dan juga kuasa Tuhan.