Kita begitu sering mendengar istilah malaikat. Termasuk makhluk ghaib, maka malaikat perwujudannya hanya diyakini dalam ambang kepercayaan. Walau demikian, setiap agama meyakini eksistensinya. Bahkan dalam Islam, eksistensi malaikat wajib diimani.
Berbicara malaikat, maka yang tergambar dalam benak kita adalah makhluk suci. Makhluk yang tidak pernah melakukan dosa dan selalu tunduk terhadap perintah Tuhan. Bahkan kita sering menganalogikan seseorang dengan sebutan malaikat. Misalnya ketika seseorang dengan sukarela menyelamatkan orang lain. Terkadang kita mengatakan, "orang itu berjiwa malaikat."
Dalam bahasa Arab, malaikat berakar dari kata mala'ikah, yang artinya makhuk yang memiliki kekuatan dan patuh pada perintah Allah. Mashdarnya adalah al-alukah yang artinya risalah atau misi. Maka sang pembawa misi disebut dengan ar-Rassul.
Secara garis besar, kita menganggap malaikat merupakan personifikasi makhluk yang sempurna. Makhluk yang tidak pernah ingkar terhadap perintah Allah. Makhluk yang memiliki derajat tinggi karena selalu bertasbih kepadaNya.
Namun pernahkah terpikir oleh kita, ternyata malaikat memiliki nalar kritis terhadap Tuhan? Makhluk yang secara umum hanya bisa patuh tak disangka meragukan keputusan Tuhan. Bukankah hal ini berlawanan dengan sifat patuh dan tunduknya? Mengapa makhluk sekelas malaikat bisa-bisanya bertanya bahkan mengkritisi?
Di sinilah menariknya bagaimana kita diajak meniti dan menapaki tangga demi tangga untuk menemukan jawaban. Ini adalah skenario yang maha dahsyat untuk menjawab berbagai persoalan tentang eksistensi kita sebagai manusia. Pertanyaan malaikat ini akan menjadi batu loncatan untuk menemukan jawaban ketika kita mulai bersikap skeptis tentang penciptaan manusia.
Sebagian orang mungkin berpikir, untuk apa manusia diciptakan? Kenapa kita harus ada di muka bumi ini? Toh suatu saat nanti juga kita akan dimatikan. Sebelum mati, kita harus mengalami aneka persoalan baik suka maupun duka. Kenapa kita tidak di surga saja? Di sana kita akan menikmati hidup tanpa kesusahan. Apakah kita hidup di dunia ini hanya sekadar dijadikan permainan Tuhan?
Pertanyaan demi pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan pola yang sederhana. Takutnya, pertanyaan-pertanyaan itu akan memunculkan satu sikap yang ekstrim. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa jadi membuat seseorang masuk ke sikap agnoistik sampai menjurus atheis.
Baiklah, kembali kepada persoalan malaikat tadi. Nalar kritis malaikat ini bisa kita temukan dalam al-Quran. Kitab inilah yang akan membimbing kita untuk memahami dan meresapi segala persoalan.
Kitab al-Quran bukan hanya berisi nilai-nilai relegiusitas, tetapi ada drama di dalamnya. Drama yang bila kita hayati bisa mengobati kepesimisan hidup. Kita akan diajak melihat adegan demi adegan. Sampai akhirnya membuka cakrawala kita, alasan apa yang membuat malaikat mengkritik Tuhan dan apa jawabanNya.
Bermula dari surah al-Baqarah ayat 30 Allah swt berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khilafah di muka bumi. Malaikat berkata, "mengapa Engkau hendak menjadikan (khilafah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?" Tuhan berfirman, "sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Penafsiran-penafsiran ayat di tulisan ini adalah kompirasi dari berbagai refrensi penafsiran semisal Mohammad Assad dalam Message of the Quran, Muhammad Ali dalam The Holy Quran, Abdulullah Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Quran, dan Marmaduke W. Pickhall dalam The Meaning of the Glorious Quran.
Ayat ini bisa diinterpretasikan dengan latar surga di mana sedang terjadi dialog antara malaikat dan Allah. Allah mengabarkan bahwa Dia akan menciptakan manusia di muka bumi. Ayat ini juga menegaskan bahwa terciptanya manusia di muka bumi bukan dari dosa Adam, tapi rencanaNya (6:165, 27:62, 35:39).
Malaikat pun mempertanyakan keputusan ini. "Mengapa menciptakan manusia di muka bumi, yang di dalam dirinya memiliki sifat korup dan suka melakukan kejahatan yang mengerikan?" Di sini malaikat merujuk kepada sifat bawaan umat manusia.
Malaikat sebagai makhluk yang patuh dan taat terhadap apa saja keputusan dan perintah Tuhan, tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan. Seketika malaikat menjadi makhluk yang berani mengkritik Tuhan. Ini begitu menarik untuk dicermati, apa yang sebenarnya terjadi hingga ketundukkan dan kepatuhan sekilas terdegradasi dalam sifat malaikat.
Namun, ayat itu berakhir bukan dengan suatu penjelasan, melainkan peringatan akan ilmu Tuhan yang lebih luas. Pernyataan, "Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui," dinilai sebagian orang sekadar menolak pertanyaan para malaikat. Namun sebentar lagi kita akan mengetahui alasannya bukan itu.
Mari kita berlanjut masih pada surah yang sama al-Baqarah di ayat 31:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, "sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!
Ayat ini tidak menjawab pertanyaan malaikat sebelumnya secara langsung. Namun dalam skema yang diplomatis, sebetulnya Allah menjawab keraguan malaikat. Kemampuan Adam untuk belajar dan memperoleh ilmu, kemampuannya untuk diajar, adalah pusat perhatian dari jawaban awal.
Allah menunjukkan inferioritas malaikat. Penekanan khusus ditujukan pada kemampuan manusia untuk menyebutkan nama-nama. Ini memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan pengalaman dan pengetahuannya pada tingkat yang cukup tinggi. Pengetahuan yang kumulatif ini menjadikan manusia makhluk yang unggul.
Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha penyayang, (Q.S al-Baqarah: 32).
Dalam ayat ini, malaikat mengakui ketidakmampuannya melaksanakan tugas seperti itu. Sebagaimana disebutkan, hal itu membutuhkan pengetahuan dan kebijaksanaan di luar kemampuan mereka.
Di ayat selanjutnya, kita temukan bahwa Adam (manusia pertama) memiliki tingkat kecerdasan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas itu. Mari kita simak surah al-Baqarah ayat 33 ini:
Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi juga mengetahui apa yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Di sini kita dapati pernyataan empati bahwa intelek manusia yang lebih besar menjadi jawaban terhadap pertanyaan malaikat. Sesungguhnya, Allah sudah menimbang segala potensi yang akan ditimbulkan manusia, termasuk aspek personalitas manusia untuk berbuat jahat.
Di ayat selanjutnya, Allah menyerukan suatu penegasan keinferioritasan malaikat. Hal ini menimbulkan satu polarisasi akan derajat manusia yang lebih tinggi. Personalitas manusia yang lebih kompleks membuatnya menjadi makhluk yang lebih unggul dibanding malaikat.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka, kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir, (Q.S al-Baqarah: 34).
Di sini malaikat menyadari kekeliruannya. Makhluk yang terbuat dari cahaya (nur) ini pun langsung kembali pada sifat awalnya, tunduk dan patuh terhadap segala perintah Tuhan. Dirinya pun sujud terhadap Adam, kecuali iblis.
Iblis, makhluk yang diciptakan dari nyala api (55:15), dan yang merasa terhina untuk merendahkan diri dihadapan makhluk yang terbuat dari 'tanah' (7:12, 17:61, 38:76). Kesombongan dan egosentrisme iblis ini menjadi pangkal kejahatan.
Dan kami berfirman, "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isteri kamu (Hawa) surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai. Dan janganlah kamu dekati pohon ini, karena akan menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim," (Q.S al-Baqarah: 35).
Demikianlah perintah yang masyhur lagi menentukan itu. Mari kita cermati bahwasanya nada perintah itu tampak biasa saja. Tidak ada kesan bahwa pohon itu istimewa. Setan menggoda Adam dengan janji kehidupan abadi dan "suatu kerajaan yang tidak pernah binasa" (20:21), tapi hal itu hanyalah tipuan semata.
Lalu setan menyebabkan keduanya tergelincir dari surga itu dan mengeluarkan mereka dari keadaan semula dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan," (Q.S al-Baqarah: 36).
Allah sudah menyiapkan satu skenario di dalamnya yang sekaligus menjawab pertanyaan malaikat. Bila kita cermati, kekhawatiran malaikat yang jatuh pada kritik terhadap keputusan Allah tersebut beralasan. "Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain" adalah pernyataan Allah yang tidak menyalahkan kritiknya malaikat. Tetapi, persimpangan-persimpangan inilah yang membuat manusia dijadikan delegasi (khilafah) di muka bumi.
Pengutusan manusia ke muka bumi bukan suatu kesimpulan bahwa itu perintah secara langsung. Allah tidak serta merta langsung mengutus manusia di muka bumi. Perintah itu hanya konotasi yang implisit. Sebelum mengutus manusia ke muka bumi, Allah menghadirkan berbagai adegan, mulai dari menjawab keraguan malaikat sampai ketika Adam tergoda rayuan setan hingga akhirnya tergelincir ke bumi.
Kita bisa belajar tentang hakikat hidup di antara kecenderungan. Tingginya derajat manusia takkala dia mampu menjalankan perintah Tuhannya walau potensi buruk membayanginya. Hal ini berbeda dengan malaikat, yang kebaikan-kebaikannya sudah terprogram. Manusia harus disusupi dengan aneka hawa nafsu dan amarah. Ketika manusia mampu mengelaborasi potensi kejahatannya itu, maka itulah kemuliaannya.