Kasus korupsi kembali mewarnai pemberitaan media pekan ini. Penangkapan yang dilakukan KPK terhadap pejabat tinggi di jajaran DPRD DKI Jakarta pada Kamis pekan lalu menjadi bukti bahwa oknum wakil rakyat tidak pernah merasa jera melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatannya.
Realita ini menyebabkan kejengahan di kalangan pegiat anti korupsi dan sikap muak pada masyarakat awam. Para oknum wakil rakyat untuk kesekian kalinya telah gagal membuktikan sumpah jabatannya untuk selalu mengutamakan kepentingan bangsa dari pada kepentingan diri pribadi.
Pada tahun 2015 semester pertama yang lalu, ICW (Indonesia Corruption Watch) menyampaikan data bahwa telah mengantongi 308 kasus dengan 590 orang tersangka. Total potensi kerugian negara sebesar Rp, 1,2 triliun rupiah dengan potensi suap sebesar Rp,457,3 miliar rupiah. Modus yang paling banyak digunakan adalah penggelapan ( 82) kasus, penyalahgunaan anggaran ( 64 ), penyalahgunaan wewenang ( 60) kasus dan mark up (58) kasus.
Sebagai bagian dari penentu proses kebijakan-kebijakan publik, para wakil rakyat mayoritas berlatar belakang sebagai pebisnis atau profesi tertentu lainnya. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan dan berpotensi melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Gelar sebagai anggota dewan yang terhormat, sayangnya tidak berjalan secara paralel dengan kemuliaan tindakan dan perbuatan. Tindakan yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai amal, adalah bagian terpenting yang terintegrasi dengan Iman seseorang.
Bak dua sisi mata uang, amal dan iman tidak dapat terpisahkan karena keduanya adalah sebuah entitas yang saling mempengaruhi. Jika amalnya buruk pertanda imannya pun buruk, adapun sebaliknya jika amalnya baik maka perlambang imannya pun baik. Realita tindakan korupsi sebagai produk dari keimanan yang buruk pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan.
Pencegahan yang dilakukan pemerintah melalui berbagai regulasi seakan tidak sanggup menahan laju perkembangan kejahatan korupsi dinegara ini. Baik regulasi yang berfokus untuk mempersempit peluang praktek korupsi pada tatanan birokrasi, maupun regulasi dengan pendekatan hukuman yang seberat-beratnya bagi para koruptor. Namun tetap saja peningkatan kasus korupsi terus terjadi. Sekali lagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa korupsi menjadi bagian dari keimanan para koruptor, dan iman yang salah tentunya.
Tindak kejahatan korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap fitrah seseorang. Setiap kelahiran manusia sejatinya merupakan momentum lahirnya nilai kejujuran dimuka bumi. Tatkala bayi terlahir dan seketika mengenal air susu dari sang Bundanya, maka akan menjadi tradisi sucinya untuk selalu setia kepada pada payudara sang Bunda dan tidak mau beralih ke air susu payudara Bunda yang lain. Karena ia menganggap bahwa itu bukan miliknya dan bukan pula haknya. Ini adalah potensi kesucian karakter manusia.
Bukti fitrah kejujuran ini seharusnya dimaknai sebagai kabar suka bagi seluruh umat manusia, lalu kemudian menghargainya sebagai harta karun yang luhur dan menjaganya sepanjang masa. Kesalahan penataan potensi mulia ini akan mendatangkan kehancuran pada pondasi kehidupan manusia, terutama pada saat potensi kejujuran bertransformasi menjadi sebuah realita kedustaan yang akan menjadi akar dari berbagai bentuk kejahatan.
Dusta sebagai akar dari kejahatan harus disikapi secara serius oleh kita semua. Karena dusta akan melahirkan penipuan, pengambilan hak orang lain, penyuapan, korupsi, praktek asusila, pencurian, perampokan bahkan kejahatan pembunuhan.
Oleh karenya kejujuran sebagai anti dot kedustaan merupakan ‘pintu’ yang paling mujarab untuk mencegah dan memberantas kejahatan korupsi. Nilai mulia ini harus kembali dihidupkan dari keruntuhannya. Semua pihak harus bersinergi dalam memperjuangkan nilai kejujuran ini, baik oleh setiap keluarga, masyarakat secara umum dan pemerintah.
Kejujuran harus menjadi bagian dari budaya bangsa ini, layaknya budaya hidup bersih, tidak membuang sampah ke sungai dan bentuk budaya positif lainnya. Jika setiap pribadi diantara kita dan pemerintah gagal dalam upaya ini, maka sampai kapan pun negara ini akan dihantui oleh kejahatan korupsi beserta akibatnya.
Revolusi iman pada akhirnya menjadi syarat utama dalam membasmi kejahatan korupsi ini. Perubahan keimanan yang biasa-biasa saja pasti tidak akan mampu melawan godaan jahat ini. Revolusi yang didasari sinar samawi melalui sentuhan langsung tangan suci Sang manusia pilihan Tuhan adalah keniscayaan yang harus dipilih.
Bimbingannya akan berperan secara maksimal dalam mengekang setiap ambisi dan nafsu duniawi manusia menuju transformasi kebajikan. Perubahan ini akan menghasilkan kesadaran bahwa kedamaian batin serta pikiran hanya dapat dicapai dengan berlaku baik dan bukan dengan cara-cara yang curang dan jahat.
Melalui revolusi iman ini setiap manusia akan menginsafi diri bahwa kejahatan korupsi adalah pertanda sirnanya ruh sensibilitas dan kepekaan terhadap orang lain. Dan pada saat yang sama, dia akan bangkit dalam jiwa pengkhidmatan kepada sesama.
Tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya untuk merugikan dan melukai orang lain, justeru terlahir sebuah semangat baru untuk menjadikan dirinya sebagai sumber keberkatan bagi orang lain dalam kapasitas tertinggi, bak seorang Ibu yang menjadi berkat bagi buah hatinya.
Penekanan pada semangat pengkhidmatan ini, bukanlah suatu basa basi belaka. Namun sesungguhnya merupakan usaha untuk memperhalus sikap dan menanamkan nilai-nilai yang lebih luhur dalam diri kita. Karena separuh dari keimanan adalah pengkhidmatan kepada sesama (Mirza Tahir Ahmad, 1992)
Dalam mengembangkan nilai-nilai luhur, proses revolusi tidak berhenti pada titik ini. Langkah selanjutnya adalah menanamkan kesadaran bahwa yang jauh lebih penting dari itu semua adalah bagaimana meyakinkan dzat Yang Maha Tahu untuk merestui apa yang sedang kita kerjakan.
Penekanan ini guna melatih jiwa amanah dan menghilangkan dorongan pamer serta mencari pujian orang lain. Bagi yang bersangkutan cukuplah kiranya nilai-nilai kebajikan yang dilakukan diberkati oleh Yang Maha Melihat.