Jacques Derrida, seorang filsuf dari Perancis, dikenal oleh dunia karena teori semiotika dekonstruksinya. Dekonstruksi ini menolak kemapanan dan kestabilan makna. Filsuf yang berteman baik dengan Foucault ini kemudian menjadi pelopor era dekonstruktivisme di mana makna menjadi tidak berarti lagi. Teori ini kemudian membawa kita berlayar di samudera semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos.

Kata chaos mungkin pertama kali muncul saat Hesoid menulis naskah Theogeny pada abad 8 sebelum Masehi. Chaos dalam bahasa Yunani berarti membuka kehampaan. Awal dari segala sesuatu adalah Chaos, kemudian bumi dan seisinya berangsur-angsur stabil. Dia adalah sosok dewa yang memunculkan para dewa untuk pertama kalinya. Dewa-dewa awal tersebut adalah Gaia, Tartarus dan Eros yang dikenal sebagai anak-anak Chaos.

Seorang pemenang Nobel bernama Ilya Prigogine kemudian menulis buku "Order Out of Chaos: Man's New Dialogue with Nature" bersama kimiawan Isabela Stengers. Dalam buku tersebut, mereka memaparkan bahwa kekacauan dan keteraturan yang dulunya saling bertolak belakang kini mulai berkelindan. Era Newtonian di mana dunia sains terbentang dengan penuh kepastian dan determinisme sudah lewat.

Chaos ada di mana-mana, itulah yang dikatakan James Gleick, seorang peraih Pulitzer. Chaos menurutnya bukan hanya berada di aras tafsir dan pemaknaan atas teks, atau di ranah sains semata. Kondisi kekacauan terlihat pula di dunia ekonomi, politik dan sosial. Pola yang tidak bisa terprediksi laksana gumpalan asap rokok yang berpencar liar juga kita temui saat politik kehilangan legitimasi, fluktuasi ekonomi tidak terkendali, dan tingkah laku sosial yang rusuh.

Tahun 2016 ini menjadi letupan munculnya chaos di dunia sepakbola. Ditandai dengan makna tim unggulan dan underdog yang sudah menjadi semu. Unggulan tidak berdaya seperti underdog, dan underdog melaju layaknya tim unggulan. Alih-alih dianggap anomali, para kesebelasan pencuri panggung kini dianggap sebuah normalitas. Mereka menantang semesta sepakbola yang statis dan terkendali.

Tengok timnas Belanda. Makna sebagai tim mapan, stabil dan langganan turnamen yang dimiliki sejak lama, telah didekonstruksikan sedemikian rupa sehingga makna tersebut menjadi tidak berarti apa-apa lagi. Di Piala Eropa edisi terakhir, Belanda bahkan tidak mampu melewati fase kualifikasi.

Hal yang sama dialami oleh Spanyol yang telah menjuarai Piala Eropa 2008 dan 2012, serta Piala Dunia 2010. Tim Matador secara tak terduga tidak lolos fase grup di Piala Dunia 2014 dan terhenti di 16 besar Piala Eropa 2016.

Tim-tim yang mengoyak jagat kepastian dan keteraturan diantaranya adalah Leicester di level klub serta Islandia dan Portugal di level timnas. Leicester selama dua musim terakhir mengalami peperangan yang berbeda.

Pada musim 2014-2015 mereka berjuang menyelamatkan diri dari degradasi, dan musim 2015-2016 mereka berjuang menjuarai Liga Premier Inggris. Musim baru 2016-2017 kemudian menghadapkan Leicester pada peperangan baru dengan label tim juara kejutan Liga Premier Inggris di Liga Champions Eropa.

Sedangkan Islandia telah mengacaukan skenario ideal di Piala Eropa 2016. Padahal Islandia hanyalah negara dengan durasi kompetisi empat bulan, dimana pesepakbola lebih banyak menjaga kondisi fisik mereka di fitness center daripada di lapangan rumput.

Puncaknya tentu saja saat The Three Lions dipaksa mudik lebih dini dengan kekalahan 1-2 dari Islandia. Walaupun di delapan besar Islandia takluk oleh Perancis, mereka dan para fansnya terlanjur menjadi fenomena.

Sepeninggal Islandia muncullah Portugal. Dengan tim yang tidak sementereng skuad Piala Eropa 2004, serta hilangnya Cristiano Ronaldo di awal partai final, Portugal akhirnya mengangkat Trofi Henry Delaunay. Pencetak gol kemenangan Portugal pun bukan sosok yang diduga akan menjadi protagonis.

Bukan Nani, Quaresma atau Renato Sanches, tapi lewat kaki Eder-lah bola diceploskan ke gawang Perancis. Portugal menutup parade chaos ini dengan pelajaran bahwa sesuatu yang tidak diduga itu bukan berarti tidak bisa mengada.

Dalam narasi perjalanan sepakbola, kita memasuki sebuah era keseimbangan baru dengan normalitas yang baru. Normalitas ini tidak terbentuk dari kemapanan tim-tim besar, namun mewujud dalam maraknya tragedi kejatuhan dan kemunculan pemenang-pemenang baru yang tidak terprediksikan sebelumnya. Semuanya mengejutkan, penuh diskontinuitas dan dramatis.

Keteraturan dan kekacauan kini dipandang sebagai dua kekuatan yang saling mengisi satu sama lain, serta yang satu melengkapi yang lain. Chaos menjadi lonjakan paradigmatik yang membuat kita melihat segala sesuatu dengan sudut yang baru.

Bahkan Michel Serres dalam buku "Genesis" yang ditulisnya, menyebutkan bahwa kekacauan bisa menimbulkan sebuah komposisi musik yang progresif, kreatif dan indah. Oleh karenanya, melenyapkan kekacauan berarti melenyapkan daya perubahan dan keindahan.

Hidup akan terasa bosan jika kita menjumpai hal yang itu-itu saja. Hal-hal yang relatif dan tidak terprediksi justru akan membebaskan kita dari kehidupan yang monoton dan statis. Selain itu, ia memberi inspirasi bagi pihak yang berposisi di bawah untuk terus berjuang naik dan memberi kejutan. Bukankah dengan adanya kejutan, hidup kita akan menjadi lebih berwarna?