Menjadi pemuda selalu disandingkan dengan semangat juang yang tinggi, kreatifitas, dan inovasi. Apalagi dalam semangat sumpah pemuda seperti ini, pemuda benar-benar digambarkan sebagai sosok dewa yang mampu mengguncang dunia.
Selain perayaan tahunan Sumpah Pemuda, juga tuntutan sosial yang muncul dari framing-framing sosial kian menjadi. Berbagai penghargaan seperti Forbes 25, Forbes 30, dan berbagai pemuda berprestasi layaknya Maudy Ayunda juga kian menghiasi beranda social media.
Soelah-oleh pemuda kerap harus menjadi Sesuatu! Nggak bisa lempeng-lempeng saja, begitu-begitu saja. Kuliah seolah nggak afdol kalo cuman biasa aja tanpa penghargaan dan prestasi segudang. Pun setelah lulus kuliah rasanya nggak masuk circle jika pekerjaan halal yang ditempa masuk dalam klasifikasi bawah.
Apalagi yang kerjanya cuma menyendiri di rumah memantau dunia dari genggaman tangan. Ah sudahlah, kamu bukan siapa-siapa deh! Jangankan jadi remahan, yang walo receh tetap diincar, mungkin nggak menjadi siapa-siapa di jaman sekarang ini adalah kesalahan.
Dan makin dalam kita tenggelam dalam framing sosial ini, semakin berlarut kita hanyut dalam gelombang virtual, rasa-rasanya semakin jauh diri ini dari standar-standar yang ditetapkan orang di luar sana. Makin hanyut dan tenggelam, dan terberat semakin membenci diri sebab merasa diri bukan siapa-siapa.
Well, bahkan buat sebagian orang yang sudah memiliki pendidikan baik, pekerjaan tetap, dan beberapa prestasi kemasyarakatan juga kerap dilanda perasaan “bukan siapa-siapa”, sebab banyak orang yang dirasa hebat dan selalu berada diatas kita. Yah begitulah dunia, akan selalu ada langit di atas langit.
Memangnya kenapa sih kalo kita yang twenties atau thirties ini nggak jadi sesuatu yang ‘wah’? Lagian standar ‘menjadi sesuatu’ itu mau mengikuti standar siapa? Ini yang mesti kita perhatikan.
Jangan sibuk tenggelam sama perasaan negatif yang akhirnya membuat kita jadi nggak sayang dan menghargai diri kita sendiri.
Gini ya guys, jadi nggak ada standar sosial yang baku di dunia ini. Bahkan kemiskinan aja yang udah dipatok 1 dolar per hari ini masih memunculkan banyak perdebatan saking nggak bisa dibandingkan. Nah, makanya yang mampu memfilter standar baku itu adalah prinsip-prinsip hidup yang kita pegang. Jadi tiap orang bisa beda.
Buat saya sih, standar baku sosial itu adalah agama. Apa-apa yang dianggap baik oleh agama, ya berarti baik. Walaupun Ketika diukur pake ukurannya Forbes magazine misalnya, ya beda jauh.
So, Ketika kita ngerasa down, ngerasa diri nggak jadi apa-apa gitu ya, itu justru menjadi alert buat diri kita untuk bisa look deep inside ourselves, belajar untuk lebih mengenal diri kita. Bukan alih-alih makin tenggelam dalam framing social yang tidak jelas batasnya tadi. Nah, kira-kira beberapa hal nih yang bisa kita lakukan buat membantu diri kita keluar dari jebakan ‘ngerasa diri bukan apa-apa dibanding orang lain’.
- Look at your progress
Setiap orang punya modal dan kapasitas yang berbeda-beda. Sebagian orang mungkin dikategorikan sukses di usia muda. Contohnya si Jeremi Polin yang masuk Forbes.
Selain karena kerja keras dan sifat pantang menyerahnya, si Jeremi ini juga dari kecil sekolah di sekolah yang bagus di kota besar. Nah nggak usah dibandingkanlah sama diri yang misalnya berasal dari desa, sekolah di sekolahan kecil dan jauh dari ibukota. Of course, jauh! Dan nggak aple to aple, ngebandingin diri kayak gitu jelas, pembunuhan karakter sih.
Jadi, nggak usahlah ngebandingin diri dengan orang lain. Instead, coba bandingin dengan diri kamu yang dahulu. Sudah seberapa jauh kamu ngelangkah. Sudah nambah ilmu apa saja? Sudah nambah skill apa saja? Sudah semakin mandiri atau belum? Itu yang seharusnya menjadi target. So, look at your progress, not look at other people, karena sebagaimana kata pepatah, rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau.
- Detox our mind from social framing
Nah, biasanya insecure gegara merasa bukan siapa-siapa ini juga muncul akibat kita tuh banyak terpapar sama social framing. Yang menggambarkan harus A, B, C hingga Z. dari harus glowing, berprestasi, mandiri, kaya, so on and so far. Yes, skip it! Kalau mau waras dan nggak lagi ngebandingin diri, ya kita harus mendetok pikiran dan jiwa kita dari social framing tadi. Yang kebanyakan bias ya guys. Caranya? Kurangi paparan social framing, block akun-akun yang feednya cuman bikin kita galau, kurangi juga ngeidolain bias berlebihan, kasih asupan otak kita hal-hal baik yang membuat kita justru semangat, bukan malah bikin kita jadi ngedown. Kalo nggak bisa selektif dengan akun socmed, yah batasi waktu scrolling di socmed. Dari 10 jam kurangi sedikit-sedikit. Tetapkan phone off hours setiap hari. Biar kita juga nggak candu-candu banget sama benda kotak canggih ini.
Namanya detox berarti kadar racunnya harus dihilangkan dan yang sudah masuk ke otak dan alam bawah sadar juga harus banyak-banyakin ditimpa dengan hal positif. Misalnya coba dengarkan kajian, bacaan ayat-ayat suci alquran, atau podcast-podcast positif yang kamu rasa bisa bikin kamu semangat.
- Pick your circle
Selain itu, kita juga mesti banget selektif sama circle kita, teman-teman kita. Sorry bukan berarti picky ya dalam berteman, tetapi memang dalam sosial relationship itu pilihannya dua: kalo kita nggak dipengaruhi ya kita yang mempengaruhi! Apalagi buat kita yang ngerasa bukan siapa-siapa ini, peluangnya tentu saja justru kita yang dipengaruhi. Jadi coba perhatiin teman-teman dekat kita. Sebisa mungkin pilih rekan yang bisa menerima kita apa adanya.
Kalo misalnya kita ngerasa nggak punya circle atau teman-teman dekat ya udah nggakpapa juga sih, nggak usah merasa down atau minder. Mungkin kita bisa membangun bonding dengan keluarga-keluarga dekat kita, orang tua, kakak, adek. Jika kita ngerasa benar-benar sendiri nggak punya siapa-siapa, well guys mungkin saatnya kita keluar dari sarang dan mencari kawan orang baik.
Caranya gimana? Coba gabung dengan komunitas yang sesuai minat kita, atau paling mudah rajin-rajin ke tempat ibadah, atau ikut kajian. Mudah-mudahan dengan begitu kitab isa dapat circle yang baik yang bisa membuat kita nggak merasa nothing lagi.
- Heal and start over
Gimana donk kalo memang kita aslinya beneran nothing, nggak jadi apa-apa, sekolah juga hampir mendekati garis gagal, atau karir juga mandek alias nganggur,dan ngerasa nggak punya skill apa-apa? Gimana kalo memang kita adalah the bottom of the ocean, kaum yang paling rendahan sekali dalam urutan sosial? Well, selama hayat masih dikandung badan, sejatinya nggak ada kata quit atau nyerah. Bagus kalau kita tersadar dengan kondisi tersebut dan punya niat untuk keluar dari keterpurukan tadi.
Caranya? Heal yourself and start over. Bisa jadi waktu kita berpuluh tahun kita habiskan dalam kesiaan sebab ilmu dan iman kita yang cetek. No problem, ini saatnya buat start over. Ingat lagi bahwa patokanya adalah progress, jadi kalau kita nggak tau harus mulai dari mana? Saran saya, mulailah jadi orang baik! Perbaiki hidup kita pribadi, mulai hidup yang tertib dan disiplin, buat jadwal dan agenda harian, jangan makin nggak jelas ngabisin waktu buat rebahan atau drakoran bermalam-malam.
Kita harus bisa mengatur waktu. Mulai dari yang mudah. Misalnya menargetkan satu kebaikan buat diri sehari, seperti: mandi 2x atau membereskan kamar biar rapi dan bersih atau berolahraga. Kemudian targetkan juga untuk berbuat baik buat semesta minimal sekali sehari: misal nggak buang sampah sembarangan, nggak pake kantong plastik sehari, atau sekedar memberi kata semangat buat teman, memuji rekan tanpa hasad, atau memberi makan hewan. That’s simple guys! Mulai dari hal paling kecil yang kamu bisa, sehari sekali. Lalu lanjutin berhari-hari. Lama-lama di tingkatkan.
Setelah hal sederhana jadi biasa, mulailah buat menyediakan waktu untuk hobi atau mencari pekerjaan. Nggak usah gengsi, asalkan halal dan thoyyib kenapa nggak? Perlahan tapi pasti, langkah kita mungkin kecil, tapi kalao kita konsisten inshaAllah, kita bakal jadi sesuatu kok. Nggak sekedar nothing.
Lastly, live our life don’t just exist. Mungkin peran kita kecil dan hanya setitik tanpa dilihat dunia. Tapi yakinlah, Tuhan nggak pernah tutup mata dan nggak ada kebaikan yang sia-sia. Remember, you are special and you are always the precious one.