Judul di atas sebetulnya terinspirasi dari sentilan buku Politik Muka Ganda, karya Yosanna H. Laoly. Pada prakata buku ini, Penulis mengemukakan pendapat kritisnya terkait dengan maraknya perilaku para politisi, yang nampaknya kehilangan arah, karena pedomannya tidak pada Ideologi Pancasila. 

Sistem demokrasi Indonesia, yang menempatkan rakyat sebagai pemilik supremasi hukum, pada sisi lain menimbulkan problem dalam akses memilih figur, yang bakal memimpin rakyat. Hak konstitusional untuk memilih dan dipilih seringkali terlaksana tanpa mempedomani ideologi Pancasila. 

Rakyat berhak memilih. Memilih dalam konteks politik, tak dapat terlepas dari motivasi. Parah, kalau motivasi partisipasi sifatnya transaksional, dipastikan ideologi Pancasila tak dapat berlaku. 

Tidak heran, para politisi sering kali bersembunyi dibalik keharusan hak konstitusional, tanpa sadar akan pentingnya pemahaman yang baik terhadap nilai ideologi Pancasila sebagai pedoman pemberi arah. Akibatnya, aksi dan akses pasca menduduki kursi kekuasaan tak terkontrol, dan arahnya tidak pada kepentingan rakyat.

Konspirasi kepentingan lancar dimainkan di sana. Ideologi Pancasila yang seharusnya mengacu pada prinsip ketuhanan dan kemanusiaan, tak masuk dalam lingkaran otoritas. Kuasa yang diperoleh, malah menjadi rezeki sendiri sambil mencambuki nasib dan harapan rakyat, dengan cukup militan saja pada segelintir orang. 

Kristalisasi nilai ketuhanan dalam Pancasila, tidak banyak diperhitungkan secara sungguh sebagai ideologi yang paling termasyur. Kemuliaan sila pertama, malah dijadikan sebagai isu, dan sering kali dibungkus menjadi ideologi tertutup. Akibatnya, sila pertama Pancasila dipaksa masuk ke dalam persoalan serius yang menimbulkan sikap ekstrim dan terorisme dalam kehidupan beragama. 

Kemanusiaan dan keadilan menjadi perjuangan fragmentaris, yang sering kali terkotak-kotak karena perbedaan keyakinan. Ideologi Pancasila yang mengacu ketat pada perjuangan kemanusiaan dan keadilan, sering sasaran prioritasnya hanya pada sasaran segelintir orang, dengan alasan kategorial dan territorial. 

Rasa persatuan direduksi ke dalam konsolidasi ekstrim. Akibatnya, masing-masing politisi berjuang dan memperjuangkan nilai yang dikehendaki oleh kelompoknya, dan yang dirancangnya menurut motivasi pribadinya. 

Keadilan akhirnya tak lagi berciri sosial melainkan partikular. Perjuangan terhadap nasib rakyat, kesannya diterjemahkan secara keliru, akibatnya, hanya yang itu-itu saja yang mendapat perhatian. 

Ideologi Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akhirnya terus menjadi cita-cita yang jauh, dan bahkan sulit tercapai. Politik akhirnya bercitra yang buruk.  Dan salah satu penyebabnya ialah ideologi Pancasila tak dijadikan sebagai pedoman dalam akses politik.

Tak dapat dipungkiri bahwa banyak politisi yang sukses atau dinilai, karena cita dan aksi sungguh mempedomani nilai-nilai Pancasila. Bagi mereka yang benar-benar mempedomani ideologi Pancasila, perjuangan keadilan banyak orang menjadi sesuatu yang bersifat terbuka. 

Dan inilah sesungguhnya hakikat Ideologi Pancasila, bahwa keterbukaan dalam memperjuangkan nasib banyak orang, merupakan realisasi luhur bagi rakyat Indonesia, sebagaimana dikehendaki pada mulanya oleh para pendiri bangsa dan para perintis nilai-nilai Pancasila.

Poinnya ialah penting bagi setiap politisi untuk memperkuat dan mempertajam pengetahuan, keyakinan dan penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, sebagai pedoman dan pemberi arah dalam memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat. 

Jika poin ini tidak dijadikan sebagai prioritas oleh para politisi, tidak heran, dari segi kuantitas, kita memiliki banyak politisi, yang bermunculan ibarat jamur di musim hujan, namun dari segi kualitas, kita masih jauh dari harapan ideologi Pancasila. 

Fakta menunjukkan tingginya kasus korupsi yang melibatkan para politisi. Jika ditelisik lebih dalam, ditemukan akarnya pada sistem politik sejak awal, yang terlanjur sarat transaksional. Nampaknya, kuasa yang diperolah dijadikan sebagai sarana untuk menampung kekayaan bagi pribadi, dengan jalan pintasnya ialah korupsi. 

Praktik money politic dan black campaign oleh para politisi membuktikan bahwa di kalangan para politisi, keluhuran ideologi Pancasila masih menjadi wacana, dan belum dijadikan sebagai pedoman dan penghayatan dalam hidup. 

Rakyat Indonesia yang bersupremasi hukum dalam demokrasi, banyak kali belum sadar akan luhurnya hak demokrasi, sebagai corongnya bagi suksesnya kemajuan bangsa dan negara, atas ketepatannya memilih figur yang tepat. 

Praktik sebar  fitnah terhadap figur lawan, sering kali tidak kritis dipahami rakyat, akibatnya, rakyat tergiring ke dalam motivasi memilih, yang digerakkan oleh pihak luar. Fenomena seperti ini, tak terasa, namun secara substansial, rakyat sebagai pemilih, banyak kali memperkosa keluhuran haknya memilih, dengan cara percaya begitu saja terhadap black campaign dan sebar fitnah. 

Ketika ideologi Pancasila tak melintas dalam nurani politisi, dan situasi ini berpapasan dengan minimnya sikap kritis rakyat sebagai pemilih, besar kemungkinan, perjuangan nasib rakyat ibarat bisnis perdagangan, yang perutukkannya hanya berlaku bagi mereka yang berduit dan berkonspirasi tingkat tinggi. 

Imbasnya, sesal kemudian dapat berubah menjadi konflik berkepanjangan. Parahnya, jika ada pihak lain yang ingin bermain dalam keruhnya situasi konflik, Ideologi Pancasila yang pada hakikatnya bersifat terbuka, dapat direduksi dan dimanipulasi menjadi sesuatu yang sangat tertutup. Dan tuaiannya ialah konflik dan perpecahan terus terjadi dari waktu ke waktu.