Kita tidak berhenti takjub akan langit dan segala yang berlalu-lalang di atas sana. Keterpesonaan ini pun sudah mengisi imajinasi moyang kita, para pemburu dan pengumpul, semenjak dua juta tahun lampau di hamparan padang sabana Afrika. Langit adalah panggung pertunjukkan migrasi kawanan burung, bergantinya musim, pagi-petang dan berbagai misteri yang menggetarkan.

Seperti kita, tentu sesekali moyang kita pernah membayangkan menjadi salah satu spesies burung itu. Entah elang untuk merajai angkasa, bar-tailed godwit untuk mengembara jauh, common nightingale untuk berkicau merdu atau burung apa pun asal bisa menghindarkan mereka dari buruan singa dan predator daratan lainnya. Kini kita mungkin ingin jadi burung untuk selamat dari manusia, raja diraja pemangsa yang paling berkuasa.   

Semenjak itu pula, langit dinobatkan sebagai singgasana para dewa. Mencurahkan berkah dan bencana. Langit adalah rumah berpulang ruh para leluhur. Menjelma rasi bintang supaya anak-cucu tak kehilangan arah berpulang. Sebagian dari kita menyukai terbang dan mendapati dirinya berpergian melintasi pulau dan negeri dengan burung besi. Sebagian lain lebih suka menjadi penonton semua yang terbang: deru pesawat domestik yang diintai maut serta jet tempur yang menjatuhkan maut di negeri-negeri jauh.

Manusia menguasai langit untuk menjadi dewa pencabut nyawa bagi dirinya sendiri dan semua yang di Bumi.

Sesekali kita perlu berani membayangkan diri sebagai Icarus. Dia dan ayahnya, Daedalus si pengrajin jenius itu, dipenjara di puncak menara oleh Raja Minos. Daedalus merenungkan cara melarikan diri dengan mengamati langit dan burung-burung. Bulu-bulu burung yang tercecer di menara ia kumpulkan satu demi satu. 

Ia mulai merajut sayap untuk mereka berdua. Alhasil, sentuhan magis si pengrajin Athena ini meloloskan mereka. Sang ayah memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu tinggi ke matahari atau terlalu rendah ke samudera.

Tapi, Icarus terlanjur dikuasai kegembiraan terbang dan ketinggian langit memanggilnya. Ia mengepakkan diri semakin jauh dari daratan. Helios sang dewa surya murka dan membakar habis Icarius. Lilin yang merekatkan sayapnya leleh dan bulu-bulunya jadi abu. 

Tubuhnya melayang jatuh ditelan kedalaman samudera. Dalam kaca mata psikoanalisis dan teori kepribadian, Icarus menjadi metafora bagi kepribadian narsistik dan ambisius akut yang pada akhirnya menjatuhkan diri sendiri dalam kehancuran. Henry Murray, penggagas personology, menamainya Icarus Complex.

Dalam mitologi Yunani sendiri, kejatuhan Icarus adalah simbol bahwa langit dan ketinggian hanyalah milik para dewa. Manusia harus ingat akan mortalitas dirinya. Tidak ada kesempatan selanjutnya untuk kembali ke Taman Eden. Bumi lah satu-satunya rumah. Sesekali kita perlu membayangkan diri menjadi Icarus, tapi yang rendah hati. 

Kita perlu menjadi Icarus yang menembus lapisan atmosfer untuk kemudian melihat kembali ke bumi dan merenungkan diri. Dalam posisi Aphelion, Bumi berada pada jarak kurang lebih 152 juta km dari sang Helios. Jika sulit membayangkan, itu jarak yang kita tempuh untuk berkeliling permukaan Bumi sebanyak 3.400 kali lebih.

Untuk menjadi Icarius yang rendah hati, kita juga harus berbesar hati menumpang wahana antariksa Voyager 1. Pesawat ruang angkasa robotik ini pernah meluncur sejauh 6 miliar km dari daratan dan mengambil potret Bumi dari titik tersebut. Jarak yang lebih jauh dari yang sanggup ditempuh Icarius sendiri. Dari pandangan teramat jauh ini, Bumi tampak sebagai noktah 0,12 piksel. Dari titik inilah kita perlu mendengar dan merenungkan kembali suara Carl Sagan dengan jiwa yang jernih:

“Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Namun bagi kita, lain lagi ceritanya. Tataplah lagi titik itu. Titik itulah yang dinamai 'di sini.' Itulah rumah. Itulah kita. Di satu titik itu semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka.

Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan pengumpul, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan pemusnah peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan penjelajah, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi busuk, setiap "bintang pujaan", setiap "pemimpin besar", setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah spesies manusia hidup di sana, di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.

Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya arena kosmik. Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan maharaja sehingga dalam keagungan dan kejayaan itu mereka dapat menjadi penguasa sementara di sebagian kecil dari titik itu.

Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain, betapa sering mereka salah paham, betapa siap mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa bergejolak kebencian mereka.

Citra diri, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, dipertanyakan di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.

Bumi adalah satu-satunya dunia, sejauh ini, yang diketahui memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain, setidaknya sampai beberapa waktu ke depan, yang bisa dijadikan tempat tinggal. Ada yang bisa kita kunjungi, tetapi belum ada yang bisa kita tinggali. Suka atau tidak, untuk saat ini, Bumi adalah satu-satunya tempat kita hidup.

Sering dikatakan bahwa astronomi adalah sebuah pengalaman yang menumbuhkan kerendahan hati dan membangun kepribadian. Mungkin tak ada yang dapat menunjukkan laknatnya kesombongan manusia secara lebih baik selain citra dunia kita yang mungil ini. Bagiku, gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenal selama ini."

Dengan kefanaan yang melekat pada diri kita, apakah kebencian, keserakahan, dan kesombongan adalah pilihan terbaik dan satu-satunya untuk menghabiskan kesesaatan hidup kita ini? Kita lenyap nantinya mungkin bukan karena hantaman meteor atau matahari yang melahap kita, tapi dendam, kebodohan, dan kegelapan akal yang akan membakar habis kita dan seisi Bumi. 

Carl Sagan, sang astronom yang puitik dan bijak ini, telah dengan sangat indah dan dalam mengatakan permenungan yang mestinya sering kita munculkan dalam rumah kesadaran kita. Bumi adalah rumah bersama yang harusnya menjadi rumah bagi cinta dan kasih sayang bagi semua makhluk. 

Catatan:

- Kutipan diambil dari buku Carl Sagan (1997), Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space, hal 12-13.

- Terjemahan kutipan diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Titik_Biru_Pucat dengan beberapa perubahan.