"Sebuah negara adikuasa telah memaksakan kehendak dan menginjak-injak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Serangannya atas Irak mengabaikan peranan PBB melaui dewan keamanan,” kata Gus Dur dalam esainya, Kita dan Perdamaian.
Peran Irak memang menyisakan kebingungan sendiri, entah siapa yang benar di antara keduanya (Amerika Serikat dan Irak). Terlebih ketika perang tersebut meledak (2003), media begitu intens memberitakan keperkasaan Amerika Serikat sebagai pahlawan dunia, yang berusaha membebaskan dunia dari terorisme tentunya.
Tapi benarkah tindakan Amerika Serikat memerangi Irak? Dan murnikah tujuannya menghapus terorisme di muka bumi ini, karena pada saat itu Saddam Husain dituduh sebagai teroris dan sedang mengembangkan senjata pemusnah massal.?
Gus Dur punya pandangan yang unik terkait ini dan tentunya objektif, gagasan-gagasan tersebut ia tuangkan dalam essainya yang saat ini dapat dibaca dalam buku ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita’.
Sebagai tokoh yang menonjol dan sangat tersohor namanya, pandangannya selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Pemikiran Gus Dur selalu dilandasi oleh teori sosial modern dan prinsip-prinsip politik Islam. Termasuk dalam memandang peristiwa Perang Irak. Gus Dur melalui esai-esainya mengecam tindakan serempangan Amerika Serikat tersebut.
Presiden Amerika Serikat, George Bush Jr. sendiri pada saat itu inkosisten dalam mengemukakan tujuan mereka menyerbu Irak. Awalnya ia mengemukakan guna mencegah malapetaka bagi dunia karena Irak diklaim memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar.
Tetapi dalam kesempatan yang lain, George Bush menuduh bahwa Saddam Husain merupakan evil figure yang harus dilenyapkan karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Belakangan kemudian terkuak, senjata pemusnah massal yang disinggung pihak Amerika Serikat dan banyak diperbincangkan di media tersebut ternyata senjata yang dahulunya diberikan oleh Amerika Serikat sendiri kepada Saddam Husain untuk menyerang Iran. Hal ini berarti Amerika Serikat terlibat dalam pembuatan senjata terebut dan saat itu cuci tangan dari kesalahannya.
Kemudian persoalan HAM, tentu jika pihak Amerika Serikat benar-benar ingin memberantas pelanggar HAM dan menegakkan demokrasi. Tentu hal itu harusnya ia mulai dari benua Amerika sendiri, seperti di Guaetemala. Sehingga Gusdur memandang bahwa pernyataan Presiden George Bush Jr. tersebut merupakan argument kosong tidak berbobot sama sekali.
Gusdur menyebut, tidak ada alasan logis yang dapat membenarkan serangan Amerika Serikat tersebut selain karena Kepentingan Geopolitis dan finansial. Tentu jika ditilik, hal ini cukup rasional karena Irak merupakan penghasil minyak terbesar di dunia (dengan cadangan minyak mentah sebesar 116 miliyar barel) setelah Arab Saudi terlebih karena pada masa itu
Irak telah menggunakan mata uang Euro dalam melakukan transaksi minyaknya. Sementara itu, Saddam Husain merupakan pemimpin yang sangat menentang Amerika Serikat, jadi untuk menguasai minyak Irak tidak ada pilihan bagi negara adidaya tersebut selain melengserkan Saddam. Tindakan menutup-nutupi tersebut pada dasarnya telah menjatuhkan kredibilitas Amerika Serikat sendiri di mata dunia.
Awal 2003, Amerika Serikat mengirim 198.000 pasukan ditambah 40.000 pasukan dari negara sekutunya, Inggris. Kekuatan yang sangat tidak seimbang. Sehingga peristiwa ini lebih layak disebut penyerbuan Amerika Serikat dibanding perang. Pasukan Amerka Serikat menerobos dengan mudah Irak bagian selatan melalui Kuwait.
Dengan kekuatan militer sebesar itu, harusnya perang tersebut dapat berakhir dalam waktu tiga hari. Namun nyatanya Saddam baru berhasil ditangkap sembilan bulan kemudian, yakni pada 13 Desember 2003.
Gus Dur menganggap bahwa Presiden George W. Bush hanya mengandalkan kemarahannya terhadap Saddam dalam penyerangan tersebut sehingga berakibat buruk pada mereka sendiri, baik aspek ekonomi maupun krisis kredibilitas. Ia lupa bahwa Saddam memiliki kedekatan dengan banyak qabilah di berbagai negeri seperti Irak, Yordania dan, Syria, sehingga akan sangat sulit menemukannya.
Gus Dur menyebut Presiden Amerika Serikat, George W. Bush Jr, sebagai sosok yang arogan yang menganggap bahwa negaranya merupakan negara adikuasa yang mampu mengalahkan negara apa pun. Sikap arogan itu juga tergambar pada sikapnya yang mengabaikan kebijakan DK-PBB agar menghentikan operasi mereka terhadap Irak.
Gus Dur juga menganggap bahwa Amerika Serikat merupakan teroris itu sendiri, karena ia telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan warga Irak dan menolak untuk berunding dengan PBB. Bukankah arti terorisme adalah penggunaan kekerasan oleh pihak yang tidak mau berunding? Ironisnya, kata ‘terorisme’ diartikan menurut kepentingan negara adikuasa, sehingga mereka yang menentanglah yang disebut teroris.
Gus Dur menganggap bahwa Amerika Serikat bukanlah contoh yang baik dalam menegakkan demokrasi maupun HAM. Kalau demikian, Amerika Serikat sama sekali tidak berhak berbicara moral dan etika, sementara dalam usaha memberantas terorisme harus berlandaskan pada dua hal tersebut, moral dan etika.
Sehingga Gus Dur menyatakan bahwa etika global dan pemerintah yang baik hanya akan ada artinya jika dilandasi pada kedaulatan hukum dan keadilan. Hal itu berarti perdamaian dunia yang abadi hanya akan terwujud jika semua negara memperhatikan prinsip tersebut, termasuk negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat. Demikian juga prinsip yang harus diterapkan dalam menanggulangi terorisme internasional.
Gagasan Gus Dur yang menggugat sikap Amerika Serikat tersebut disampaikan di banyak forum internasional, seperti konferensi mengenai pemerintahan yang baik yang diadakan oleh UNESCO, IIFW (Interreligius and International Federation for World) pada Maret 2003 di Washington D.C, Kennedy School of Government Universitas Harvard dan beberapa forum lainnya.