Saya terkenang pada masa-masa SMA ketika saya belum jadi mualaf; masih seorang anak ‘Cino’ pemeluk Katolik dengan iman yang sarat kesangsian seperti Santo Thomas. Namun demikian, kala itu terkadang saya suka mengekor kawan-kawan Melayu singgah ke masjid; pas waktu-waktu salat atau sekadar mampir berteduh.

Di Pulau Bangka kampungku, lantaran faktor sejarah, kau tahu, pergaulan antaretnis dan agama memang jauh lebih baik ketimbang banyak daerah lain di Indonesia. Meski kerap masih ada “gap” (anak Cina bergerombol dengan anak Cina, anak Melayu dengan anak Melayu), tetapi umumnya budaya dan bahasa di sana sudah bercampur aduk. 

Saling mengunjungi di hari raya hingga urusan besan-besanan pun sudah lama jadi hal lumrah. Sehingga setiap kali ikut-ikutan ke masjid inilah saya seolah baru menyadari diri saya sedikit berjarak dengan kawan-kawan itu. 

Di musala sekolah kami, saya bisa duduk-duduk di pagar beton teras sambil bersenda gurau bersama mereka. Namun di masjid-masjid kampung atau yang berada di tengah kota, saya harus lebih tahu diri: hanya berani turut nimbrung di halaman masjid, tak berani melanggar batas suci, apalagi sampai menginjak serambi.

Ada seorang kawan, sekarang sudah almarhum (semoga Allah menerima amal ibadahnya dan mengampuni dosa-dosanya), pernah mengingatkan saya: “Orang Cina tidak boleh masuk masjid.” Cina, bukan Nasrani, bukan Non-Muslim. Bukan pula kafir. Saya selalu tertawa sendiri setiap teringat akan hal ini.

Tetapi sudahlah. Rasanya percuma saja sekiranya saya menjelaskan kalau Cina itu bangsa, etnis, dan dalam konteks keindonesiaan ia menjadi suku Tionghoa; sedangkan Islam adalah agama yang bisa dianut oleh bangsa dan etnis mana pun di muka bumi ini, dan penganutnya disebut Muslim.

Toh, sejak dulu sekali, di Bangka, memang ada anggapan ganjil bahwa orang Cina yang masuk Islam sama dengan masuk Melayu. Bahkan anggapan ini tak hanya berlaku dalam lingkungan Melayu, juga di lingkungan Tionghoa. Terdapat istilah “pian fan” dalam bahasa Hakka untuk mereka yang masuk Islam.

Kejadian lainnya masih cukup hangat. Tiga tahun silam ketika saya mengantar dua orang kawan dari Taiwan mengadakan riset di Bangka, saya juga disarankan untuk tidak membawa mereka masuk ke dalam Masjid Jami’ Muntok yang bersejarah itu, yang tegak berdampingan mesra dengan kelenteng Kong Fuk Miau selama ratusan tahun di jantung kota sebagai ikon keharmonisan.

“Mereka bisa melihat-lihat dari luar. Kamu saja yang masuk kalau mau mengambil foto di dalam.”

Saya tak ingin berdebat dengan siapa pun kala itu. Kendati sebagai sarjana ilmu Ushuluddin UIN Yogya, saya merasa masih mampu meladeni diskusi perihal kebolehan Non-Muslim menginjakkan kaki di dalam masjid. Saya cuma diam saja sembari menatap masjid tua yang keempat tiang utamanya merupakan sumbangan Mayor Tionghoa pada era kolonial itu dari pinggir jalan. Lagi pula, si pemberi saran adalah seorang kawan baik.

***

Ya, saya tiba-tiba terkenang pada semua ini lantaran kasus yang sedang viral: seorang perempuan separuh baya, mengaku Katolik, masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu. Membawa anjing pula! Bisa dibayangkan seperti apa keras dan berisiknya suara-suara kaleng pecah.

Sebab itu, menurut saya, kita sudah sepatutnya bersyukur karena dampak dari peristiwa langka ini hanyalah sekadar menjadi kehebohan di media sosial beserta segala caci maki dan provokasi. Paling tidak, ia tak sampai memicu amok dan bakar-bakaran gereja.

Di antara kita, tentu banyak yang masih ingat apa yang terjadi pada 2016 lalu di Tanjungbalai, Sumatra Utara, tatkala seorang perempuan Tionghoa, Buddhis, mengeluh kepada tetangganya soal volume panggilan azan yang kelewat keras dari speaker masjid dekat rumahnya. Keluhannya itu serta-merta menjelma jadi isu SARA mengerikan. Tak cuma rumahnya yang dirusak massa, vihara-vihara dan kelenteng juga ikut dibakar.

Lalu sentimen anti-Cina pun kembali merebak. Ada spanduk peringatan terbentang di badan jalan agar tidak menggunakan bahasa asing, namun dengan kata “warning” yang tercetak jelas. 

Banyak warganet tertawa mencemooh, tetapi saya tidak. Karena saya tahu betul bahwa yang dimaksud dengan asing di sana tak lain adalah aseng. Sebuah label kebencian yang kau tahu tak cuma ditujukan kepada investor pengembang dan para pekerja dari Tiongkok, melainkan juga seluruh WNI keturunan Tionghoa di Indonesia.

Kini Meliana (semoga ia diberi kesabaran) masih mendekam di balik sel. 18 bulan hukuman kurungan untuk kasus penistaan agama setelah kasasi yang diajukannya ditolak mentah-mentah oleh Mahkamah Agung.  

Saya memang sedikit telat membaca berita ibu Katolik yang bersepatu dan membawa anjing masuk masjid itu. Tetapi kemudian, sambil menonton season ketiga serial Jessica Jones, tanpa bisa dicegah, saya mulai memikirkannya dengan agak serius. Tak cuma memikirkan si ibu, tetapi juga anjingnya yang hilang.

Sebagai penyayang binatang yang pernah beberapa kali memelihara anjing, dengan terenyuh saya membayangkan “perasaan” anjing berjenis mix mini pincher itu mesti terjebak di lingkungan asing yang tak dikenalnya dan di antara manusia yang tak menyukai kehadirannya. Jauh dari rumahnya yang hangat, tempat tidurnya yang nyaman, dan piring makanannya, kubayangkan betapa ia ketakutan, syok, juga kelaparan. Mungkin ia berusaha keras menemukan jalan pulang ke rumahnya.

Anjing memang memiliki penciuman dan naluri yang tajam, namun saya tak tahu berapa jauh rumahnya dari tempat ia tersesat. Apalagi sebelumnya ia dibawa oleh majikannya menggunakan mobil.

Si ibu kemudian diduga menderita gangguan jiwa. Berita-berita lanjutan menyebutkan, setidaknya ia memiliki rekam medis di dua rumah sakit jiwa. Saya sedikit menarik napas lega. 

Dalam rekaman video amatir yang disebarkan di YouTube, saya melihat bagaimana ia berteriak-teriak menantang pengurus masjid Al-Munawaroh dan orang-orang yang mengusirnya keluar. Bahkan memukul dan menendang saat ia didorong dan ditarik.

“Bukan gitu, elu mau nggak kalo suaminya diambil?” tanyanya lantang kepada seorang pemuda berkopiah yang memohonnya keluar.

Kita tahu, ia datang ke masjid itu untuk mencari orang yang dianggapnya menikahkan suaminya di sana. Mungkin ingin menuntut pertanggungjawaban atau sekadar mau melabrak. Tak saya temukan penjelasan dari media apakah benar suaminya menikah lagi di masjid tersebut. Barangkali itu sebetulnya cuma terjadi di dalam kepalanya saja.

Apa yang ia lakukan itu, mengenakan sepatu ke dalam masjid dan membawa guguk, jelas hal yang mencenggangkan. Tetapi ia punya riwayat gangguan jiwa. Dalam KUHP, seseorang tak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila cacat kejiwaan. Bukankah dalam Islam sendiri, jika seseorang kurang waras, maka batal baginya ketentuan syariah?

Usai melakukan pemeriksaan dan observasi kejiwaan, kepolisian akhirnya memang berkesimpulan ia mengidap skizofrenia paranoid. Toh hasutan kebencian, kita tahu, tetaplah sulit dihentikan oleh pernyataan polisi semacam ini. Kita selalu dengan gampang bisa menemukannya di jagat maya, contohnya yang diunggah di Ryada AQJ Chanel: 

“Wanita itu sehat, bisa setir mobil, dan sengaja masuk ke masjid Al-Munawaroh untuk melampiaskan kemarahan dan kebenciannya kepada umat Islam.”

Seorang juga menulis di kolom komentar sebuah esai mojok.co: “Mengapa orang yang disebut depresi atau gila, sasaran kegilaannya selalu ke masjid? Mengapa tidak ke kantor polisi atau istana?”

Lalu, tak tanggung-tanggung, teori konspirasi yang terkemuka dalam sejarah umat manusia itu lagi-lagi beredar. Cuma intinya selalu sama: Orang-orang kafir, terutama Yahudi dan Nasrani, bakal terus berupaya menghancurkan Islam.

Sampai di sini, saya jadi teringat pada seorang bibi saya yang dulu sering datang ke rumah untuk “curhat” pada ibu saya. Si bibi ini tampak sesehat orang sehat mana pun. Hanya saja ia tak pernah bisa berhenti mencurigai suaminya.

Dalam bayangan delusifnya, banyak artis mengejar-ngejar suaminya dan hendak merebut lelaki tampan itu dari dirinya. Bahkan kediamannya telah dipasangi orang dengan kamera pengintai. Karena itu, setiap hari ia pun memeriksa setiap jengkal rumahnya untuk mencari di mana kamera jahanam itu disembunyikan.

***

Di media-media daring, juga di media sosial, kemudian dibagikan secara luas opini-opini atau sekadar status Facebook yang mencoba membela si ibu pengidap skizofrenia. Dan seperti sudah saya duga sebelumnya, kisah Ashabul Kahfi dan cerita pelacur yang masuk surga karena memberi minum pada seekor anjing kehausan ternyata memang dijadikan rujukan. Saya menjadi rada gemas.

Saya mafhum niat mereka sungguh baik. Tetapi mengaitkan kasus ini dengan cerita-cerita mashyur itu hanya lantaran keduanya melibatkan peran seekor anjing, bagi saya, rasanya seperti mengomparasi Nokia 3100 dengan Samsung Galaxy S10+ atau Iphone XS Max. Itu pembandingan agak lebai, bahkan cenderung bisa tergelincir jadi cocoklogi yang layaknya hanya menjadi tradisi keilmuan Ustaz Rahmat Baequni beserta jemaahnya.

Kalau cuma hendak mengingatkan sebagian umat Islam yang kita tahu memang kerap meledak-ledak seperti tabung gas elpiji 12 kg itu, saya kira ini hal sia-sia. Merujuk pada kedua kisah ini tak pula bakal mengubah penilaian mereka terhadap anjing. 

Bagi sebagian Muslim, anjing tetap anjing, binatang yang bakal membatalkan wudu dan membuat kita enggan dikunjungi si Gabriel jika memeliharanya dalam rumah. Seperti halnya Yahudi tetaplah musuh abadi umat Islam.

“Respons kita pada anjing itu adalah buah dari bagaimana kita dididik dan diberi pengertian sewaktu ngaji atau oleh orang tua di rumah,” kata karib saya Anissa Fitri dalam obrolan di WhatsApp. Dan saya sepakat.  

Karena itu, menurut saya, kisah Ashabul Kahfi dalam Alquran (yang dikenal dalam tradisi Kristen sebagai The Seven Sleepers) maupun cerita pelacur memberi minum anjing yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam hadis takkan menjadikan mereka sedikit pun lebih bersimpati pada anjing, apalagi coba mengenali karakteristiknya yang bersahabat dengan manusia sebagai pet maupun hewan cerdas. Lagi pula, kedua kisah itu bukanlah cerita sejenis legenda Hachiko atau Lassie.

Kendati menyediakan tempat bagi seekor anjing di surga, tetapi esensi cerita Ashabul Kahfi seyogianya ada pada ketauhidan ketujuh pemuda Romawi yang melarikan diri dari kejaran Raja Diqyanus. Dan dari Qithmir si anjing, kita pun diharapkan bisa memetik pelajaran bahwa kalau anjing saja bisa meraih derajat tinggi karena bersahabat dan setia kepada orang-orang saleh, apalagi kaum Muslimin.

Sementara kisah pelacur yang memberi minum kepada anjing, meskipun tampak menganjurkan kita mengasihani binatang itu, sebetulnya hanyalah ingin menegaskan kemahapengampunan Allah. Jika memberi minum kepada anjing bisa memperoleh ampunan, bukankah memberi minum kepada manusia bakal memperoleh pahala yang lebih besar? Kira-kira begitulah pesan moralnya.

Ya, Anissa barangkali benar, status kenajisan anjing dalam ajaran Islam agaknya telah membuat pandangan umat Muslim terhadap anjing dari enggan mengambil risiko menjadi cenderung ekstrem. Alhasil, semenjak kecil, sebagian orang Islam pun jadi terbiasa melihatnya sebagai binatang berbahaya yang harus dijauhi, dibenci, bahkan dibasmi.

Itu sebabnya tak heran jika kita bisa menemukan berita konyol, semisal pesilat FPI yang kabur ketakutan melihat kehadiran anjing pelacak polisi saat sedang memamerkan kebolehan di muka Balai Kota pada aksi penolakan Ahok sebagai Plt Gubernur. Kita juga dapat menyaksikan di YouTube bagaimana kalang-kabutnya jemaah masjid Al-Munawaroh menghadapi anjing hitam si ibu kemarin. Mereka tampak seakan sama panik dan takutnya dengan si hitam.

Di kampung saya sekalipun, di mana anjing biasa berkeliaran bebas di jalanan kota dan banyak dipelihara warga Melayu untuk menjaga kebun, sering kali masih saya temukan kawan-kawan yang demikian takutnya kepada anjing. Baik takut digigit maupun dijilat.

Tentu saja selalu ada pengecualian. Masih banyak orang Islam yang beriman dengan logis. Sebagai contoh: di Lombok, ada seorang Desi Marlina dan di Tangerang ada Hesti Sutriono. Keduanya Muslimah berjilbab lebar yang membuat masyarakat heboh lantaran memelihara puluhan sampai ratusan ekor anjing.

Walau menuai banyak kecaman, baik di dunia nyata maupun maya, dari warga setempat maupun dari para penceramah tersohor di ibu kota, Desi dan Hesti tetap saja bersikukuh apa yang mereka perbuat bukanlah suatu dosa, melainkan kebajikan terhadap sesama makhluk hidup. Keduanya masih terus memungut anjing terlantar dari jalanan. Tak cuma memberi makan anjing-anjing itu, tetapi juga mengajak mereka bermain, memandikan, membelai, dan menggendong mereka.

“Saya gini saja, agama Islam itu mudah. Segala sesuatu yang ada itu Allah beri kemudahan, seperti air liur anjing itu kan najis, tapi Allah kasih cara menyucikannya seperti apa. Mungkin kalau enggak kasih cara menyucikannya, saya juga enggak akan berani. Tapi kan Allah sudah kasih caranya, jadi enggak ada yang perlu saya khawatirkan,” terang Hesti, hijaber bercadar itu dalam sebuah wawancara.

***

Saya masih terus memikirkan nasib si hitam ketika mengetahui dari sebuah unggahan di Facebook bahwa anjing tak berdosa itu ternyata sudah mati. Saya merasa seperti ingin menangis sekaligus memaki sekencang-kencangnya.

Saya mencoba mencari informasi serinci mungkin. Namun berita-berita di berbagai media ternyata simpang siur. Di sejumlah media disebutkan bahwa ia sudah mati ketika ditemukan di Jalan Bali Raya oleh Saepulloh, petugas keamanan Sentul City, Bogor. Tergeletak dekat tiang listrik. Namun media-media lainnya mengutip status Facebook Esther Imelda, anggota Gabungan Anti Kekerasan Hewan Domestik Indonesia (GAKHDI) yang menyatakan bahwa anjing itu masih hidup saat ditemukan olehnya dan rekan-rekan di seputar Taman Venesia, Jalan G. Pangrango.

“Sangat ketakutan melihat manusia, sudah berusaha dipancing dengan ayam goreng, tapi dia lari menyeberang jalan dan ditabrak. Maaf, kami tidak bisa berbuat banyak. RIP di tempat,” demikian tulisnya.

Saya tidak tahu mana di antara kedua informasi ini yang benar. Saya juga tak ingin menduga yang bukan-bukan atau berburuk sangka. Sebagai penyayang binatang, saya hanya ingin berdoa, semoga si hitam—satu-satunya (mungkin) anjing yang pernah masuk masjid di luar kemauannya sendiri itu—kini sudah berada di surga yang penuh kehangatan dan makanan.