Penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada dua calon walikota Malang Mochamad Anton dan Ya’qud Ananda Gudban menjadi fenomena yang mengejutkan. Pasalnya, sebagai walikota periode 2013-2018, Abah Anton, begitu ia biasa disapa, menjunjung tinggi slogan Malang Bermartabat. Dua calon walikota tersebut juga menempati ruang kepercayaan yang cukup tinggi di masyarakat.

Ruang-ruang diskusi pun bermunculan. Analisis dari berbagai pakar dan sudut pandang berupaya mencari titik terang atas kondisi ini. Pakar ilmu politik, hukum tata negara, hingga sosial kemasyarakatan sambung-menyambung menyumbang pemikiran, mencari jalan keluar. Wawan Sobari SIP., MA., PhD, pakar politik yang juga ketua program studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya memandang fenomena ini tak hanya menjadi isu di kota Malang, melainkan sudah menjadi isu nasional.

Turbulensi politik dipandang Wawan berpengaruh kuat terhadap elektabilitas pasangan calon (paslon) walikota dan wakil walikota. Relevansi penetapan status tersangka dengan dinamika elektabilitas sangat mungkin terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari dua faktor, yakni popularitas dan likeability atau faktor kesukaan. Sementara, faktor kesukaan dapat dilihat dari dua subfaktor, yakni attractiveness atau kemenarikan dan emosional.

Ya’qud Ananda Gudban, menurut Wawan, adalah sosok yang dapat dilihat dari sisi kemenarikan dan emosional. Tidak dapat dipungkiri, paras Nanda yang ayu, murah senyum, dan sudah bergelar doktor di usianya yang cukup muda menjadi faktor ampuh menarik simpati masyarakat. Sementara Abah Anton, brand value yang sudah tertanam ialah sebagai sosok pengayom masyarakat, dekat dengan rakyat kecil, dan religius. Ini menjadikan Abah Anton sudah memiliki basis massa yang jelas.

Terciduknya Abah Anton dan Nanda, tak urung akan menimbulkan sikap skeptis di masyarakat yang menurut Wawan akan terus berlanjut hingga masa pencoblosan tiba. Namun, bukan tidak mungkin masyarakat akan tetap berbaik hati untuk memilih keduanya. Karakter orang Indonesia yang mudah iba, mudah lupa, dan mudah berubah adalah potensi empuk untuk tetap menaruh simpati dan dukungan.

Bagai buah simalakama, maju kena, mundur pun kena. Begitu pendapat Dr. Anwar Cengkeng, dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang. Menurutnya, mengembalikan kepercayaan masyarakat agar tetap pada koridor simpatik menjadi tantangan berat tim sukses masing-masing paslon. Sementara, kalau harus mundur paslon akan dikenai penalti yang tak sedikit jumlahnya, 10 miliar!

Tentu akan ada konsekuensi logis dari tiap pilihan yang diambil. KPK terkenal dengan track record yang tegas dalam memproses tersangka korupsi. Mari kita mengambil contoh mantan ketua DPR RI Setya Novanto. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Tujuh kali kasus yang mencatut nama Setnov dan ia berhasil lolos dari jeratan hukum. Pada akhirnya, KPK berhasil menangkapnya dari berbagai strategi yang dilancarkan bak drama.

Melihat rekam jejak ini, sangat mungkin nasib pidana berlaku bagi Abah Anton dan Nanda. Dengan status tersangka saat ini, kemungkinan besar keduanya akan terpidana. Mari kita andaikan jika salah satu dari Abah Anton atau Nanda yang akan memenangkan pesta demokrasi di bumi Arema ini. Apakah masih bisa kita mengatakannya sebagai pemimpin yang berintegritas, sementara gelar tersangka korupsi tersemat di balik namanya?

Disebut Anwar, ada tiga aspek yang bisa dijadikan acuan. Dari aspek hukum perundang-undangan, status tersangka tak akan mempengaruhi pancalonan Abah Anton maupun Nanda. Hal ini berdasarkan peraturan KPU nomor 3 tahun 2017 pasal 6 (6) yang menyebutkan bahwa bakal calon yang telah menandatangani kesepakatan pengusulan dan telah didaftarkan kepada KPU tidak dapat mengundurkan diri sejak pendaftaran.

Sementara, dari aspek standar etika dan moral, hal ini tentu bertentangan. Bagaimana mungkin seorang yang telah mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk menjadi pemimpin, dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi oleh lembaga antirasuah. Apakah pemilih akan tetap memilih Abah Anton dan Nanda? Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Dr Asep Nurjaman MSi mengajak kita untuk mengembalikan hal ini pada hierarki kebutuhan versi Abraham Maslow.

Pelopor psikolog beraliran humanistik tersebut menyusun lima kebutuhan dasar manusia dengan kebutuhan fisik sebagai yang utama. “Kalau menyangkut urusan perut, ya sudah. Pemilih akan mudah memilih siapa yang bisa mencukupi kebutuhan perutnya itu,” ujar lelaki berdarah Sunda ini.

Sebatas asumsi, Asep menyebut penetapan tersangka oleh KPK pada Abah Anton dan Nanda yang seakan-akan berada di waktu yang tepat bukan tidak mungkin by design. Terlepas dari itu, masyarakat selayaknya tetap menjaga praduga tak bersalah.

Pada akhirnya, paparan para ahli dalam diskusi publik yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya tersebut mengerucutkan pendidikan sebagai konklusi solusi damai dari permasalahan krusial di kota Malang saat ini. Salah satu narasumber, Nurudin Hady, ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) kota Malang, menyebut kasus ini ialah salah satu bentuk pendidikan bagi para elite politik agar belajar dari pengalaman. Pasalnya, kasus serupa bukan yang pertama. Mestinya, kota Malang bercermin dari kasus yang juga pernah terjadi 2001 silam.

Yang kedua ialah pendidikan politik bagi masyarakat agar terbentuk individu-individu terliterasi. Masyarakat yang terliterasi secara politik akan kukuh dengan pendiriannya, sehingga partisipasi yang diharapkan tentulah partisipasi yang berdasar pada hati nurani. Hal ini tentu tak lepas dari peran media dengan kuasa intervensi melalui opini.

Tinggal, strategi apa yang akan dimainkan dua calon tersebut saat ini? Memainkan politik likeability dan emosional, mengaduk-aduk emosi pemilih dengan menguatkan citra agar mendapat banyak suka? Ataukah mengemas visi sesuai kompetensi untuk menggiring jumlah pemilih? Lalu, dari ketiga paslon, apa yang akan terjadi jika yang terpilih ialah salah satu dari Abah Anton dan Nanda? Mari kita lihat. Injury time masih ada sampai masa pencoblosan 23 Juni mendatang.