Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa pada tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka tersebut menunjukkan adanya kenaikan jumlah kasus sebesar 14% dari tahun lalu.
Hal ini tentu mengherankan. Bukankah pada zaman sekarang sudah marak dielu-elukan adanya kesetaraan gender? Bukankah dulu Ibu Kartini telah berjuang demi menyetarakan derajat perempuan dengan laki-laki? Akan tetapi, mengapa kasus-kasus yang menjadikan wanita sebagai korban kian meningkat setiap tahunnya?
Menurut penulis, hal ini terjadi lantaran masyarakat Indonesia belum benar-benar memahami konsep kesetaraan gender. Secara bahasa, kesetaraan gender merupakan sebuah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Seperti halnya laki-laki, perempuan memiliki hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari ketakutan, juga bebas menentukan pilihan dalam hidupnya. Sayangnya, hingga saat ini, stigma masyarakat kerap kali memposisikan wanita sebagai sosok pelengkap dan laki-laki sebagai sosok yang lebih superior.
Terlebih, pola pikir yang menganggap perempuan sebagai manusia lemah serta hanya berperan dalam urusan dapur dan anak membuat hal-hal krusial lain menjadi tidak terlihat.
Kesetaraan Akses Pendidikan
Memang, kesempatan wanita untuk mengenyam tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada saat ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki wanita pada abad ke-18.
Dahulu, jangankan untuk bersekolah, untuk keluar rumah saja sangat sulit bagi seorang wanita. Beruntungnya, aksi yang dilakukan oleh Ibu Kartini di masa lalu berhasil membuka pintu cakrawala bagi wanita-wanita zaman sekarang. Jenjang pendidikan tinggi seperti S2, bahkan S3 sudah bukan menjadi khayalan yang tak mungkin tercapai.
Kendati demikian, sebagian masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa seorang wanita tidak perlu menimba ilmu hingga tingkat tinggi. Karena dalam perspektif tersebut, wanita hanya berperan untuk melayani suami dan anaknya.
Mari kembali ke kodrat awal wanita, menjadi seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Sebagai seorang ibu, wanita berperan memberi pendidikan mendasar kepada anak-anaknya. Jika sang ibu tidak memiliki background pendidikan yang baik, maka untuk mencetak generasi-generasi yang gemilang tentu akan sulit.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesadaran baik dari dalam diri seorang wanita maupun dari masyarakat luas bahwasanya, setiap perempuan berhak untuk belajar hingga tingkat pendidikan tertinggi.
Kesetaraan dalam Dunia Kerja
Dalam hal berpolitik, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi wanita Indonesia untuk turut andil dalam kepengurusan negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan yang menyebutkan bahwa 30% kuota di parlemen diperuntukkan bagi wanita.
Kendati kesempatan berpartisipasi dalam ranah pemerintahan telah terbuka untuk perempuan, masih terjadi beberapa masalah di dunia kerja yang mengindikasikan adanya ketidaksetaraan gender.
Masalah yang kerap kali terjadi adalah perbedaan gaji yang didapatkan oleh pekerja perempuan dan laki-laki. Banyak wanita digaji lebih rendah dari pada laki-laki, padahal keduanya memiliki kemampuan yang setara.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, hal ini disebabkan oleh kondisi biologis seorang wanita yang memiliki masa-masa khusus, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui.
Terlepas dari hal tersebut, perempuan membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mendukungnya, seperti pemberian gaji yang sesuai dengan kompetensi tiap pekerja, atau bahkan pemberian gaji pada saat cuti melahirkan.
Mendapat Perlakuan Baik dari Sesama
Seperti yang telah disebutkan pada awal artikel ini, kekerasan yang terjadi pada perempuan kian meningkat. Seringkali, wanita dijadikan objek kejahatan oleh laki-laki. Tindak kekerasan yang terjadi cukup beragam, diantaranya: pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, cybercrime, dan kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Jumlah kasus yang disebutkan di awal merupakan jumlah kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Sedangkan, di luar sana banyak wanita yang tidak berani menyuarakan permasalahan yang dialaminya.
Malu dan takut akan menimbulkan masalah yang lebih besar menjadi konsiderasi para wanita yang menyimpan kejadian pahit untuk dirinya sendiri. Hal ini berarti masih ada banyak kasus yang memposisikan wanita sebagai korban namun tidak terungkap ke publik.
Dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi kepada wanita, pemahaman konsep kesetaraan gender perlu disampaikan kepada masyarakat luas.
Langkah dasar yang dapat diambil dalam merealisasikan kesetaraan gender adalah mengubah pandangan seorang wanita tentang dirinya sendiri. Selama ini, banyak perempuan merasa bahwa akhir perjalanan hidupnya adalah menikah dengan seorang lelaki dan memiliki anak.
Sehingga, pemikiran untuk bersekolah setinggi-tingginya dan mencapai kesuksesan karir di masa depan seringkali tak terpikirkan. Semangat untuk memperjuangkan kesuksesan ikut surut lantaran pemikiran cetek yang dimilikinya.
Seharusnya, gerakan ‘merubah mindset’ perlu dilakukan oleh perempuan pada dirinya sendiri sejak awal masa pubertas yang merupakan masa pencarian jati diri. Bagaimana bisa wanita berharap diperlakukan dengan baik oleh masyarakat sedang ia tidak memperlakukan dirinya sendiri dengan baik? Tentu mustahil.
Langkah selanjutnya, pemerintah perlu membuat peraturan yang tegas dalam mengatur hal-hal yang melanggar konsep kesetaraan gender, melindungi wanita, juga menghukum siapapun yang melanggar. Pembuatan peraturan akan sia-sia jika tidak ada pengawasan dalam implementasinya. Maka dari itu, pemerintah juga perlu mengawasi berjalannya peraturan yang dibuat.
Setiap orang harus mendukung konsep kesetaraan gender ini. Di sisi lain, setiap wanita perlu membangun kesadaran untuk meningkatkan kualitasnya hingga setara dengan laki-laki.
Apabila kesadaran masing-masing individu telah tumbuh, maka langkah perubahan sudah dimulai. Harapan selanjutnya, isu kesetaraan gender sudah tidak lagi menjadi masalah di Indonesia.