Kata Kesambet sudah diakui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, yang bermakna; orang yang mendadak tak sadar karena gangguan kekuatan halus, tak kasatmata, gaib.
Menarik menjadi kajian Psikologi, cabang ilmu pengetahuan yang paling susah sedunia, perihal bagaimana rasa cinta dan benci yang berbatas tipis itu, ketika terlintas mendadak dalam benak seseorang, sontak orang itu tergali pemahamannya akan suatu hal yang dipercayainya hingga menjadi keimanan, faith.
Dalam hal Cak Nun tengah gundah dengan kondisi berbangsa dan bernegara, saat pikirannya menangkap sosok-sosok yang terbayang, sontak ucapannya mengungkap alam bawah sadarnya, yang mengkaitkan sosok-sosok tersebut dengan sosok-sosok dalam kisah-kisah dalam Kalam-Kalam Ilahiah yang diimaninya, yatu; Firaun, Haman dan Qarun.
Ketiganya mereka semua itu, yang dalam kumpulan Kalam Ilahiah, adalah sosok-sosok yang mewakili karakter antagonis, gak ada sisi baiknya sama sekali.
Titik kesambet Cak Nun, sebagaimana yang diungkapkannya sendiri sebagai bagian dari penjelasan dan penyesalan yang berujung permintaan maaf, itu terjadi saat pikiran akan sosok-sosok nyata saat ini mendadak berkelindan dengan sosok-sosok yang ada dimasa lalu sebagai bagian dalam kisah-kisah yang tertera sebagai Kalam Ilahiah.
Lalu, apabila dibilang kesambet sebagai alasan, kekuatan gaib, halus, tak kasatmata, terkait korelasi mendadak terhadap sosok-sosok mewakili masa kini dan masa lalu, itu bagaimana terjadinya?
Tamak, bentuk sikap perilaku manusia, yang mengacu KBBI bermakna; selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri, sangat dimungkinkan menjadi pemicu kesambet bagi Cak Nun.
Pikiran tamak yang sontak melintas dalam pikiran Cak Nun ketika sosok-sosok yang memengaruhi perjalanan berbangsa dan bernegara saat ini, terbayang di depan pelupuk matanya.
Lalu, tamaknya di mana?
Tak lain, saat Cak Nun mengkorelasi sosok-sosok tersebut sebagai tiga sosok antagonis dalam Kalam Ilahi, yakni; Firaun, Haman dan Qarun.
Firaun antagonis karena dia menuhankan diri sendiri, mengelola negara dengan menetapkan hukum secara tiran, bersikap kejam terhadap Bani Israel.
Haman juga antagonis karena menjadi penasihat Firaun agar membangun sarana infrastruktur modern pada jaman itu, demi untuk bertemu dengan Tuhan, secara fisik bukan kalbu.
Qarun si sepupu Nabi Musa Alaihi Salam, juga antagonis, karena hobi memupuk kekayaan bagi dirinya dan orang-orang yang sevisi, semisi dengannya, yang sama-sama orang berada, kaya raya juga, pada jamannya.
Suatu pemaknaan sepihak, pikiran Cak Nun, dalam mengkolerasi sosok-sosok negarawan dan sekumpulan orang-orang kaya di Indonesia saat ini dengan ketiga sosok antagonis dalam Kalam Ilahiah yang diimaninya.
Suatu pemaknaan yang sama sekali tanpa ada batas yang menyaring, bahwa terdapat perilaku orang yang tak bisa terkorelasi secara langsung dengan sosok-sosok yang terpotret sebagai sosok-sosok baik antagonis maupun protagonis, dalam kisah-kisah yang terimani, sebagai Kalam Ilahiah.
Jokowi dibilang Firaun. Sesadis dan setirani itukah sosok Jokowi dalam menjalankan fungsi pemerintahan negara Republik Indonesia yang bahkan anak laki-laki keturunan kaum yang dibenci harus dibunuh?
Luhut dibilang Haman. Sejauh itukah pemaknaan pembangunan infrastruktur di Indonesia yang juga punya tujuan meningkatkan peluang memutar ekonomi rakyat, sebagai menara tinggi untuk bertemu Tuhan sebagaimana nasehat si Haman?
Sepuluh Naga, mereka yang semuanya taipan keturunan Tionghoa kaya raya disebut Qarun. Sehitam putih itukah menuduh mereka bertabiat Qarun yang hanya memupuk kekayaan bersama koleganya? Padahal konglomerasi kesepuluh naga itu juga punya peran menumbuhkan peluang usaha bagi orang Indonesia kebanyakan?
Tamak yang berdasar rasa benci, telah menjadi dasar pikiran Cak Nun hingga ia mengakuinya sebagai Kesambet.
Hingga kini, Cak Nun masih punya peluang membalik keadaan dengan beralasan bisa jadi biang kesambet, adalah kekuatan halus yakni; setan, iblis atau bahkan Tuhan sendiri.
Bagai petinju yang tengah mencoba bertahan di sisi ring, alasan tersebut mengindikasi Cak Nun tengah terpojok, berupaya sedapat mungkin mendapatkan pengakuan atas permintaan maaf dan penyesalan, dengan mencoba menebar makna bahwa; bahkan daun yang gugur dari ranting pun, adalah atas kehendak Tuhan.
Hanya saja, untuk sekelas Cak Nun yang telah malang melintang menebar pengaruh terhadap kehidupan berbangsa, bahkan bernegara karena dia tercatat sebagai tokoh reformasi 1998.
Bahkan, Cak Nun telah mewarnai karakter menjadi Muslim dengan setuhan kearifan lokal khas Indonesia, khususnya suku Jawa, maka drama kesambet yang dialaminya itu telah menunjukkan kemampuannya sebagai sosok panutan, dalam hal mengelola sikap berbaik sangka agar jiwa alam bawah sadarnya tak terkuasai oleh sikap tamak.
Dalam perjalanan hidupnya, atas kehendakNya yang merestui daun gugur dari rantingnya, maka kali ini Cak Nun kehilangan beberapa skor pengakuan atas kelas ke-Kyaiannya. Bahkan, kembali nol.
Betapa tidak? Perintah untuk tak mengolok-olok dan tetap berbuat adil bagi orang, kaum, golongan yang dibenci sekalipun, kali ini Cak Nun telah kesambet tak mengindahkan PerintahNya itu.
Tentu, masih ada waktu untuk memperbaiki kesalahan. Berlapang dada bagi sosok-sosok yang telah diolok-olok.
Lalu, kadar untuk menjadi sosok Kyai, bagi Cak Nun pun siapapun kelak yang terpanggil menekuninya, lebih ditingkatkan melalui menebar ajakan untuk memaknai kisah-kisah yang tertuang sebagai Kalam Ilahiah berdamping karakter beriman yang berakal pikiran jernih, berbekal ilmu pengetahuan dan keteduhan hati.