Sains pada awalnya adalah upaya untuk mengetahui sesuatu yang jauh di sana di balik penampakan (appearence) yang terberi pada indra manusia. Asumsinya, ada suatu mekanisme di luar sana lepas dari kapasitas indra manusia, mekanisme di luar kontrol manusia.
Misalnya gravitasi, yang merupakan mekanisme di balik beberapa peristiwa yang terjadi. Contoh apel yang jatuh dari pohon. Gravitasi sudah ada meski teori gravitasi belum ditemukan oleh Newton. Dan gravitasi sebagai mekanisme imanen bukanlah buatan Newton. Dia hanya berasumsi dari peristiwa yang terjadi dan menemukannya.
Para metafisikawan awal seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Harakleitos, dan Pitagoras memandang alam semesta sebagai kosmos yang berarti juga “tatanan”. Artinya, mereka beranggapan bahwa ada hukum yang mengatur semesta.
Hukum yang dimaksud bukanlah buatan manusia tetapi bersifat kodrati. Oleh karenanya, para metafisikawan awal tidak menggunakan kata nomos untuk menyebut hukum alam itu, melainkan logos – semacam nalar tersembunyi yang mengatur jalannya semesta. (Martin Suryajaya, 2016)
Artinya, ada fenomena alam yang bisa terjadi lepas dari kapasitas manusia. Dalam sejarah, fenomena alam ini mendorong manusia untuk terus berpikir kritis mengenai situasi, untuk bertahan hidup dan melanjutkan kehidupan. Bagian dari fenomena alam ini juga yang membuat manusia tidak berdaya di hadapan semesta. Misalnya timbulnya wabah yang mengancam kelanjutan spesies manusia.
Dalam sejarah sudah beberapa kali wabah datang mengancam manusia, manusia selalu tampil sebagai pemenang. Namun bukan berarti berangkat dari fakta sejarah itu lalu kita diam saja menunggu suatu mekanisme yang jauh di sana menuntaskan wabah ini.
Tidak demikian, selalu ada upaya dari manusia melalui dialektika dengan alam. Bahkan dalam agama pun, yang menempatkan Tuhan sebagai pengatur mekanisme alam semesta, tidak menyuruh manusia untuk pasrah terhadap keadaan.
Bertahan hidup adalah fitrah manusia. Tidak perlu diajarkan bagaimana cara bertahan hidup, manusia selalu dituntun oleh nalurinya. Mau lihat buktinya? Keberadaan Anda sekarang adalah bukti berhasilnya nenek moyang Anda bertahan hidup.
Tuntutan untuk bertahan hidup membuat manusia menentukan pilihan dan arah hidupnya sendiri. Situasi di luar dirinya selalu menuntun naluri ini.
Wabah pandemi yang sedang dihadapi sekarang mestinya mendorong kita melalukan upaya-upaya untuk tetap hidup. Bukan hanya soal sehat atau tidak tertular virus, namun untuk makan sehari-hari. Karena syarat dari manusia menang dari wabah adalah dia yang mampu bertahan hidup, yang dalam proses bertahan terpenuhi kebutuhan makannya.
Beberapa pemikir berangkat dari postulat demikian, misalnya Marx. Dalam diktum terkenalnya, "bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadarannya. Dari kondisi sosial objektif manusia terus berkembang."
Dari fenomena alam yang tiba-tiba timbul menjadi sejarah, manusia dipaksa keras untuk berpikir kembali tentang dunia, termasuk dirinya. Misalnya fenomena wabah ini. Manusia yang awalnya angkuh terhadap dunia, merasa bisa melakukan semuanya, dipaksa mengakui bahwa ada mekanisme yang lepas dari kontrol manusia, ada tatanan alam yang lebih besar yang tidak dapat direduksi pada benak manusia.
Tesis tentang pengetahuan-diri (bahwa saya yang paling mengetahui diri saya dibanding orang lain) dan kepemilikan-diri (bahwa sayalah pemilik diri ini) seketika runtuh di hadapan wabah.
Pengetahuan-diri (self-knowlage) tidak bisa berbuat apa-apa dengan virus yang sedang menyebar. Yang paling tahu adalah dokter melalui sains. Ini membuat tesis pengetahuan-diri hilang dari manusia yang selama ini dipegang olehnya dan bahkan membuatnya angkuh dan cenderung benar sendiri. Ada yang lebih mengetahui diri Anda dibanding Anda.
Kepemilikan-diri (self-ownership) juga tidak bisa mengatakan ‘saya yang berhak mengatur diri saya, bukan orang lain’. Di hadapan wabah, melalui aturan pemerintah, baik pengetahuan-diri dan kepemilikan-diri ditangguhkan – meskipun kepemilikan-diri pada awalnya “separuh” telah diserahkan ke negara saat negara terbentuk dan Anda menjadi warga-negara. Negara bisa mengatur Anda.
Pemerintah telah menerapkan segala upaya, melalui aturan, untuk membatasi aktivitas manusia guna memutus penyebaran virus. Namun, makin ke sini justru orang-orang kembali beraktivitas seperti semula; pasar kembali ramai.
Apakah tesis pengetahuan-diri dan kepemilikan-diri tidak seutuhnya bisa ditangguhkan oleh sains dan pemerintah? Maksudnya kedua tesis itu memang seutuhnya milik individu? Saya kira tidak juga.
Kita harus menelisik terlebih dahulu syarat dari orang agar tetap hidup, yaitu makan; melalui kerja. Bukannya tidak mendengarkan pemerintah, namun ada hal yang membuat orang tetap beraktivitas – seperti yang telah saya jelaskan di atas.
Ketidakpastian akan hari esok membuat manusia dipaksa harus keluar rumah. Di rumah tanpa ada tabungan uang tidak menjamin besok akan makan. Situasi objektif ini yang mendorong setiap orang untuk berpikir bagaimana cara bertahan hidup. Kerja tidak seluruhnya bisa dari rumah, ada kerja yang aktivitasnya di luar rumah.
Bekerja untuk bertahan hidup bukanlah satu kesimpulan pengetahuan-diri ataupun kepemilikan-diri yang tidak bisa dilepaskan dari setiap manusia. Kenyataan bahwa dia harus makan tidak bisa ditolak. Kenyataan bahwa dia harus kerja untuk memperoleh makan juga sama halnya.
Inilah titik pangkalnya, situasi yang terus mendorong manusia untuk berpikir keras bahkan mengambil risiko; antara beraktivitas di luar rumah dengan risiko tertular atau tetap di rumah tanpa kepastian apakah besok akan makan.
Sah-sah saja jika hujatan dilancarkan pada orang-orang yang terus beraktivitas di luar rumah tanpa mendengar ketetapan pemerintah, namun harus dipahami kenyataan apa yang berdiri di belakang itu. Beda posisi, beda pendapat. Namun kenyataan bahwa untuk hidup manusia mesti makan, dan dari kerja makan dapat diperoleh, adalah kenyataan yang tidak mungkin tertolak.