Matahari terasa panjang sekali sore ini, ditambah kereta yang belum tampak juga. Besi tua berplat rakyat itu terlambat lagi. kereta itu sudah berulang kali terlambat, tetapi untuk pertama kalinya, ini yang paling kurang ajar. Besi tua itu tidak punya perasaan.
Hawa gelap yang sesat lagi datang dengan dingin, membuat semua makin benci dengan suasana yang ada. Nyamuk, Laron, lalat datang dengan gembira. bau- bau tengik sisa-sisa peradapan yang telah menjulang ke langit makin menusuk hidung orang-orang.
Gelap memaksa mereka pasrah, masing-masing orang itu berdikari dengan diri sendiri, mengisap sisa linting basah, membaca koran pagi, atau sakadar debat kusir belaka agar hari ini cepat berakhir.
Sebelum matahari redup, aku melihat cahaya prisma perlahan hilang daris sisi wajah-wajah di seberang sana, barisan itu mengkontras diri di lapisan belakang dengan setelan jas Single Breasted dengan alas kaki Oxford berkilau. Begitu terpelajar rupanya. Mirip sekali rupa mereka dengan yang ku tunggu.
Aku mengejar kerumunan itu, sambil menoleh ke ujung rel, “Sudah datang, Pak?“
"Belum!"
Pikirku Masinis dan gerbong-gerbongnya seharusnya tiba pada pukul 18.01, tetapi kemana hilangnya peron itu, dan bisa terlambat sampai 45 menit lamanya.
Kini pertahianku terpaku ke keseberang rel. aku tersenyum. Seorang pemuda berlagak memperhatikan jarum tekanan mesin uap dengan seksama, dipastikannya titik pacu bahan bakar bekerja hebat.
Selanjutnya, ia bersiap memacu mesinnya. Kereta bersiap melucur, mengepul, dan siap memacu gerbong dengan maksimal. Tetapi, perlahan mesin jarum pacunya jatuh ketitik nol. Kenapa? Seorang gadis muncul tiba-tiba dengan melambaikan tangan sehingga mematikan tuas- tuas imajinatif itu. Kereta itu gagal menuju ke tujuannya.
“Kau memilih hiburan bermimpi di jam segini.” Tegur teman sedulurnya.
“Kalau lihat si bibir merona disana.” Pacu matanya yang nanar melihatku, begitu juga dengan temannya yang lain.
Di seberang rel tampak banyak Bujang-Gadis asyik bermuda-mudi. Mereka duduk bersilah di emperan. Si Gadis menggit bibirnya, menunjukkan ketertarikan kepada Si Bujang. Menarik tangan yang lelaki, gadis itu sibuk memaikan jarinya. Sesekali jari kasar itu digigit pada ujung-ujungnya. Si Bujang mengaduh, Ditariknya tangan itu. Dan, mereka tersenyum bersama. Aneh. Dan, aku risih dengan mereka semua.
Lalu dimana masinis yang asli? Dimana cahaya-cahaya gerbong yang membawa kami pergi. Yang membawa aku pulang. Semuanya bertanya-tanya.
***
Kereta menuju pelabuhan, menyebrang pulau, berlanjut perjalanan dengan bus A.K.A.P, kurang lebih delapan belas jam ditambah mengambang di dek kapal layar, barulah bisa bertemu rumah. Pergi di sore hari dan sampai di siangnya.
Kedua kalinya aku pulang lebih awal. Kedua kalinya aku teringat pesan tahun lalu. Beberapa minggu lalu saat kepulanganku mengunjungi ibu di tanah sumatera, ibu sempat menahanku. Ibu memegang jariku. Hangat. kemudian menyandingkan dengan tangannya. kami tidak bicara, karena itu sudah cukup untuk semuanya atas kebahagian yang kami punya.
Apabila dia punya cerita, itu pun dirasa tidak renyah lagi bagi seumurku. Harapannya, anak gadisnya bisa duduk lebih lama di samping tangan keriputnya, melihat terbenam matahari bersamaku, dan memberikan seorang gadis baru di rumah ini yang setia mendengarkan ceritanya.
Kepulanganku seharusnya bisa lebih lama, paling tidak menjelang idul adha. Bukan nya tidak bisa, malah itulah alasannya aku harus pulang lebih awal. Menjadi orang-orang berkerah biru harus siap direnggut apa yang kita punya, bahkan ibumu.
Malam tak karuan lagi ditindih kemalangan cahaya dingin dari gerbong-gerbong kosong. Mata ini kabur menanti, pastinya ibu juga. Dua jam sebelum aku datang, ibu sudah duduk di depan rumah. Tampa jam di lenganya, prediksinya akurat untuk seorang lansia.
melirik ke arah kedua pintu masuk, penumpang semakin ramai. orang-orang yang menunggu kereta sudah di luar kewajaran.
Aku terjerembab ke dalam kerumunan. Petugas keamanan pun kalah jumlah membendung yang mendesak masuk. Injak-menginjak kaki, dorong-mendorong bahu tidak terelakan. Semua aksi orang yang menanti menjadi liar.
Aku mendekap diri, terhuyung, terseret arus desakan orang-orang tadi. Menoleh kebawah, celakanya kakiku di luar batas amannya. Aku keras mendorong badanku ke belakang, terus, dan terus.
“Kereta hidup...”
Mereka bersorak, setelah lama menunggu. Cahaya cepat datang menghampiri dari segala penjuru. Dari kejauhan, gerbong tampaknya terlihat lambat. Sekali lagi aku terhuyung ke depan. Semuanya diam mengamati. Kereta seolah makin cepat, siap menyergap.
Dan, tubuhku diam disergap cahaya malam itu, hilang bersama cahaya. Semuanya terasa perih. Sakitnya menghujam perlahan di tempurung kepala ku. Deras, entah air apa yang mengucur dari telinga ini, tetapi perihnya mengoyakan tempurung.
Seorang manisinis meloncat turun dengan seikat bunga, malangnya jarinya bisu memegang tangkai-tangkai layu itu, sekejap semuanya diam. Hening membisu, merasa berdosa sebelum waktunya. Dan, Ibu pastinya tidak perlu lagi menungguku lagi anaknya.