Terdapat video viral yang baru-baru ini terjadi di sebuah minimarket di daerah Sidayu, Gresik. Pada video yang beredar luas di Masyarakat, seorang laki-laki dewasa terlihat tiba-tiba mencium anak perempuan. Video ini mendapatkan beragam kecaman netizen karena merupakan pelecehan seksual.
Kejadian ini sudah seharusnya mendapatkan respon tanggap dari polisi karena anak merupakan salah satu pihak yang paling rentan mendapatkan pelecehan seksual. Respon yang disampaikan oleh polsek Gresik cukup disayangkan. Ia menganggap bahwa kejadian tersebut bukan termasuk pelecehan karena tidak memperlihatkan adanya pemaksaan membuka baju oleh pelaku dan tidak terlihat anak tersebut menangis.
Tentu pendapat tersebut jelas merepresentasikan bagaimana pendapat polisi secara umum tentang pelecehan seksual. Terlihat jelas bahwa kasus pelecehan seksual, terutama pada anak, belum mendapatkan tindakan hukum yang memadai.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan hukum pada pelaku pelecehan seksual masih diabaikan. Seolah, hukum hanya berlaku bagi kasus-kasus tindakan kekerasan seksual yang merujuk pemerkosaan atau pencabulan. Padahal, perilaku pelecehan seksual yang terlihat dalam video viral tersebut bisa menjadi bibit dari tindakan pencabulan atau pemerkosaan apabila diabaikan.
Pelaku kekerasan seksual pada anak bahkan umumnya bukanlah orang yang tidak dikenal. Hampir setiap kasus kekerasan seksual yang terungkap mengindikasikan bahwa pelaku merupakan orang terdekat dengan korban.
Justru orang terdekatlah yang memiliki dominasi atas korban dan mengetahui korban dengan baik sehingga bisa lebih mudah menguasai korban. Faktor dominasi itulah yang membuat pelaku dengan mudah membujuk korban atau mengancam sehingga membuat kasus kekerasan seksual pada anak sulit diungkap.
Kejadian pelecehan seksual pada anak bukan hal yang baru dan seharusnya tidak diremehkan. Kasus kekerasan seksual nyatanya tidak hanya dapat menyasar anak perempuan namun juga pada anak laki-laki. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa 31% kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki, sementara 69% terjadi pada anak perempuan.
Tentu data itu tidak dapat dilihat dari kacamata bahwa anak perempuan prosentasenya lebih besar, namun harus dijadikan acuan bahwa baik anak perempuan atau laki-laki berpotensi menjadi korban kekerasan seksual.
Pelecehan Seksual Berdampak pada Fisik, Psikologis, dan Sosial Korban
Kasus kekerasan seksual tercatat berdampak pada tiga aspek, yaitu fisik, psikologis dan sosial. Pada aspek fisik, kekerasan seksual pada anak dapat menjadi faktor penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) bahkan hingga kerusakan organ seksual.
Aspek psikologis merujuk pada dampak traumatis yang dialami anak-anak sehingga dapat mengganggu fungsi kognitif dan perkembangan anak-anak. Dampak sosial merujuk pada stigmatisasi korban. Stigmatisasi dapat membuat anak merasa malu dan menganggap bahwa tindakan kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahannya.
Ketiga dampak tersebut dapat merusak masa depan anak, dan yang terburuk dapat menjadi faktor penyebab kematian dan bunuh diri. Anak dapat saja merasa tidak menjadi korban sehingga yang terkadang dampak kekerasan seksual tak bisa dilihat secara kasat mata.
Anak yang tidak menangis setelah dilecehkan bukan indikator Ia tidak mengalami trauma. Bisa saja diam-diam Ia kehilangan rasa percaya dirinya bahkan sampai mengakhiri hidupnya karena merasa malu. Padahal, korban pelecehan seksual seharusnya tidak dipermalukan apalagi dijadikan korban kembali karena komentar-komentar aparat yang tidak berempati.
Ajarkan Anak Sejak Dini untuk Memiliki Kuasa atas Tubuhnya
Selama ini, anak-anak sering kali dianggap lucu dan menggemaskan sehingga orang-orang di sekitarnya mencium mereka seenaknya. Sejak kecil, orang tua harus tegas mengajarkan kepada anaknya bahwa mereka berhak menolak jika tidak mau dicium.
Orang tua yang telah mengajarkan hal tersebut berarti telah memberikan pemahaman paling sederhana bahwa tubuh mereka adalah milik mereka. Mereka perlu diajarkan bahwa orang lain bahkan orang tua perlu meminta ijin saat ingin memegang ataupun mencium mereka.
Tidak ada batasan usia khusus yang menjabarkan mulai kapan pendidikan seksual diajarkan pada anak. Cara orang tua mengajarkan konsep otonomi tubuh/kuasa atas tubuh merupakan salah satu bentuk pendidikan seksual. Tindakan ini bisa dimulai kapan saja, bahkan sejak anak masih bayi. Dengan meminta ijin setiap membuka atau membersihkan popok anak, secara tidak langsung orang tua telah mengajarkan pendidikan seksual.
Seksualitas yang dianggap tabu dalam budaya Indonesia sering kali menjadi faktor mengapa pendidikan seksual gagal disosialisasikan. Eufimisasi penyebutan alat kelamin adalah indikasi paling umum anggapan seksualitas yang tabu di Indonesia. Alih-alih menyebutkan alat kelamin dengan sebutan penis, vagina, vulva; orang tua lebih senang mengajarkan kepada anak mereka sebutan “burung, tongkat, bolongan” atau kata lainnya.
Seharusnya, anggapan tabu ini mulai diputus rantainya agar anak paham tentang kelaminnya. Ini juga merupakan bentuk pendidikan seksual. Batas-batas ketabuan tentang seksualitas memang perlu untuk didobrak agar rantai kekerasan seksual pada anak terputus.
Semoga kelak anak-anak tidak malu lagi menyebut kelaminnya dengan “penis” atau “vagina”. Anak laki-laki paham tentang organ reproduksinya, dan anak perempuan paham bahwa menstruasi adalah proses biologis yang wajar terjadi dan tidak perlu disembunyikan atau membuatnya malu.