Kepribadian dan kepemimpinan merupakan dua kata yang tentunya sangat tidak asing ditelinga kita. Bahkan kedua hal ini tak jarang menjadi topik pembicaraan dan pembahasan di berbagai media oleh berbagai kalangan. Mulai dari perbincangan yang terjadi antar teman hingga sebuah webinar.
Banyak juga yang membicarakan Kepribadian dan Kepemimpinan ini jika ditinjau dari berbagai sudut pandang/perspektif, salah satunya dari perspektif psikologi.
Bagi saya pribadi, Kepribadian dan Kepemimpinan merupakan dua hal yang berbeda, akan tetapi memiliki relasi yang cukup erat. Keduanya saling berhubungan meski tak sama, sering dikaitkan, bahkan sering pula disama artikan.
Penulis berpandangan bahwa kepribadian erat kaitannya dengan takdir yang telah Tuhan berikan kepada kita sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya, manusia. Sedangkan kepemimpinan adalah hasil dari proses kehidupan yang kemudian membentuk kemampuan memimpin dan kepemimpinan tersebut.
Lebih rinci lagi, penulis mendefinisikan kepribadian sebagai salah satu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada setiap manusia sebagai bekal sekaligus ciri khas seseorang dalam menghadapi kehidupan setelah kelahirannya.
Kepribadian ini pada dasarnya adalah kumpulan sifat-sifat/karakter yang baik yang ada pada manusia. Namun sayangnya, sifat-sifat/karakter baik itu kemudian tercampur dengan sifat-sifat/karakter yang kurang baik (buruk) yang diakibatkan oleh banyak faktor, terutama faktor lingkungan dan keadaan.
Sedangkan kepemimpinan adalah kemampuan dasar kita sebagai makhluk sosial untuk memperjuangkan dan mengatur kehidupannya dengan sifat-sifat dominan yang dimiliki untuk dapat mengarahkan, mengatur, bahkan membuat orang lain percaya dan mengikuti apa yang kita inginkan/arahkan.
Kepemimpinan ini sebenarnya bisa saja memang berasal dari dalam diri seorang manusia, akan tetapi tidak akan muncul apabila tidak ada sesuatu yang membuatnya menunjukkan eksistensinya. Oleh karenanya Penulis menyampaikan bahwa kepemimpinan ini erat kaitannya dengan kondisi dan lingkungan seseorang.
Sebagai contoh, apabila kita dihadapkan pada suatu masalah, tentulah setiap manusia memiliki berbagai sikap dan perkataan yang dilontarkan sebagai wujud respon dari apa yang dialami dan dirasakan. Hal inilah yang menjadi pembeda respon orang yang satu dengan orang yang lain.
Ada yang meresponnya dengan menganggap permasalahan sebagai suatu tantangan, ada pula yang menganggapnya sebagai sebuah hambatan. Semua tergantung kepribadian kita tentang bagaimana kita menyikapi persoalan.
Bedanya, orang yang memiliki jiwa pemimpin dan kepemimpinan cenderung memiliki sifat dan sikap yang menonjol. Seperti, tetap tenang ketika diterpa permasalahan, berpikir dengan kritis dan analitis, membaca peluang dan berbagai kemungkinan yang ada, dan menyusun berbagai alternatif resolusi yang memungkinkan.
Ada berbagai pandangan dan pengertian mengenai Kepribadian dan Kepemimpinan menurut para ahli. Atkinson mendefinisikan kepribadian merupakan sebuah pola perilaku dan cara berpikir dari seseorang yang bersifat khas yang mampu menentukan respon individu terhadap lingkungannya.
Atkinson membagi kepribadian menjadi dua macam, yakni kepribadian umum yang sifatnya universal dan dapat diamati, dirasakan, dan dilihat oleh orang lain dan kepribadian khusus yang berasal dari berbagai pikiran dan pengalaman individu di masa lalu yang sifatnya terbatas, jarang diungkapkan, dan biasanya tidak banyak orang tahu.
Sama halnya dengan kepribadian, kepemimpinan juga tentulah banyak yang menafsirkan arti/maknanya, tak terkecuali para ahli dibidangnya, seperti yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1987:11) yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hal yang melekat pada diri seseorang.
Dari dua definisi kepribadian dan kepemimpinan yang dikemukakan oleh dua ahli, dapat kita tarik benang merah bahwa kepribadian memanglah memiliki hubungan dengan kepemimpinan meski keduanya adalah hal yang tak sama.
Kepemimpinan merupakan salah satu contoh dari kepribadian kita sebagai manusia ciptaan Tuhan. Setiap manusia pasti memiliki kepribadian sebagai identitas/ciri khas/bahkan jati diri dari seorang individu, akan tetapi tidak semua orang memiliki kemampuan kepemimpinan, terlebih kepemimpinan yang baik.
Meski di awal telah disinggung bahwa kepemimpinan merupakan sifat dasar kita sebagai manusia yang secara naluriah berkeinginan untuk mengatur dan mendominasi.
Karena sifatnya yang berhubungan, tentulah kedua hal ini, baik kepribadian maupun kepemimpinan memiliki interdependensi diantara keduanya. Hal ini dikarenakan kepribadian seseorang menentukan rasa/jiwa kepemimpinan yang ada pada dirinya.
Kemudian, rasa/jiwa kepemimpinan itu berindikasi pada gaya kepemimpinan seseorang terhadap siapa yang ia pimpin. Seseorang yang memiliki kepribadian baik memang belum tentu memiliki jiwa kepemimpinan yang baik apalagi terasah.
Namun, kepemimpinan yang baik pasti berasal dari orang-orang yang memiliki kepribadian yang baik. Karena kepemimpinan seseorang bahkan bisa menginidikasikan kepribadian dari pemimpin itu sendiri. Hal ini dikarenakan setiap orang pasti merespon segala sesuatunya dengan pikiran dan emosi kita.
Orang yang memiliki kepribadian baik cenderung mampu mengontrol pikiran dan emosinya, sehingga dapat bersikap lebih tenang, matang, dan dewasa. Bukan justru marah ibarat api yang meledak-ledak, akan tetapi justru seolah-olah menjadi air yang alih-alih membakar justru memadamkan dan mendinginkan.
Dari segala paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian dan kepemimpinan ibarat saudara kandung. Tak selalu sama, namun saling berkaitan, berhubungan, bahkan saling ketergantuangan.
Oleh karenanya, sudah tugas kita sebagai manusia yang berakhlak dan bernurani untuk senantiasa belajar dan belajar bagaimana mengatur pikiran-pikiran dan perasaan yang ada pada diri kita sendiri agar nantinya tidak salah dalam mengambil sikap dan keputusan.
Karena acapkali penyesalan memang datang diakhir setelah semuanya telah terjadi. Oleh karenanya, mari saling mengingatkan dan memperbaiki diri. Setiap orang pasti melakukan/bertindak sesuatu karena sebab, tugas kita adalah memahami, bukan justru memaki dan mencaci.
Namun, ada satu hal yang perlu diingat dan dipegang teguh, yakni memahami bukan berarti memaklumi apalagi membenarkan akan hal yang salah secara harfiahnya. Memahami hanyalah sebagai sebuah perantara kita sebagai manusia untuk saling memiliki tenggang rasa terhadap sesama.
Sekian tulisan ini saya buat. Semoga dapat memberikan manfaat sekaligus pengingat untuk kita semua. Mohon maaf apabila masih terdapat banyak kekurangan. Terimakasih karena telah membaca hingga akhir.