Sang Negarawan itu bernama Galib Lasahido. Putera kelahiran Una-una, 3 Januari 1926 (Kabupaten Tojo Una-una sekarang) Itu, yang akrab disapa Pak Galib ini, sudah tidak diragukan lagi karier dan pamrihnya di dunia Pemerintahan Daerah khususnya di Sulawesi Tengah. 

Bila kita tengok sejarah kelahiran Provinsi Sulawesi Tengah yang dimekarkan sejak 13 April 1964. Beliau sudah dipercayakan untuk menjabat sebagai Penjabat Sekretaris Wilayah Daerah pertama (sebutan Sekretaris Daerah waktu itu). Ini adalah pencapaian karier Birokrasi pertama bagi alumni FISIPOL UGM itu. 

Selain dikenal sebagai Tokoh karismatik yang berkarakter kuat, berwibawa, sederhana, serta mengayomi di Sulawesi Tengah ini. Ayah dari enam orang putera-puteri ini, setelah itu menjadi Penjabat Bupati Kepala Daerah Kabupaten Poso pada tahun 1967.

Dan kemudian menjadi Bupati Kepala Daerah definitif sejak 1968 sampai dengan 1973. Satu tahun kemudian beliau dipindah tugaskan ke Palu, menjadi Inspektur Wilayah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah hingga 1980.

Selama enam tahun menjadi Inspektur tersebut, beliau juga ditunjuk untuk merangkap sebagai Penjabat Bupati Kepala Daerah Kabupaten Donggala selama beberapa bulan pada 1979. Jabatan yang diemban beliau selanjutnya sampai 1981 adalah Sekretaris Wilayah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 

Dari sini, pada tahun yang sama pada 19 Februari 1981 beliau terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tengah menggantikan Edy Sabara selaku Penjabat Gubernur waktu itu. Dan ini menjadi catatan penting dalam tonggak sejarah Sulawesi Tengah, bahwa Galib Lasahido adalah Putera Daerah pertama yang memimpin wilayah ini. 

Pasca beliau menjabat Gubernur selama satu periode yang berakhir pada 1986, ada peluang bagi beliau untuk menjabat lagi tapi secara tegas beliau menyampaikan bahwa saya cukup satu periode saja, nanti akan dilanjutkan oleh saudara saya yaitu Abd. Azis Lamadjido, begitu ungkapnya ketika ditanya oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka pada saat beliau menghadap menjelang masa jabatan Gubernur akan berakhir. 

Atas pernyataan tersebut, beliau akhirnya ditarik ke Jakarta menjadi Staf Ahli Menteri Dalam Negeri RI selama dua tahun sampai 1988. Tugasnya pun berakhir sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri tapi beliau masih dipercaya mengemban amanah berikutnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga akhirnya pensiun dan menghabiskan waktunya berkumpul bersama keluarga dan anak-anaknya.

Kepemimpinannya ditandai oleh salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di Daerah Sulawesi Tengah tepatnya di Pulau Una-una. Yakni, meletusnya Gunung Colo pada 23 Juli 1983. Dalam kejadian yang tidak menimbulkan korban jiwa tersebut Galib berhasil memimpin proses evakuasi seluruh warga Pulau Una-una secara baik.

Etika Kepemimpinannya

Tanpa mengesampingkan peran dan kerja keras Gubernur- gubernur sebelum Galib Lasahido, sosok ini memang merupakan elan vital sekaligus role model bagi Kepemimpinan di Sulawesi Tengah ini. Beliau merupakan Pemimpin yang karismatik, berwibawa, sederhana, mengayomi dan bersahaja.

Sulawesi Tengah hari ini apa kabar ?

Kita rindu sosok Pemimpin seperti beliau, Sulawesi Tengah hari ini  yang ada hanya Pejabat bukan Pemimpin. Setelah beliau "pergi" kita di Sulteng merasa kehilangan, bingung, mencari sosok standar tipe ideal Pemimpin itu seperti apa.

Dalam konteks Kepemimpinan, beliau ini adalah sosok yang sangat tinggi kepekaan nuraninya terhadap berbagai situasi Tata Kelola Pemerintahan. Misalnya, dalam hal mutasi pegawai, katanya begini "Kalau saya sampai pindahkan orang, lantas anak dan istrinya mau makan apa" ? Kalau saya hukum dia, sesungguhnya yang saya hukum bukan dia tetapi orang yang di belakang dia yaitu anak-isterinya."

Tapi, hari ini kita bisa lihat dengan mata telanjang, bahwa hukum-menghukum (Baca : non job)  sudah jadi biasa dalam pola hubungan antara pemimpin dan bawahan dalam birokrasi Pemerintahan Daerah hari ini.  Apalagi, sebut saja. ASN yang diketahui tak mendukung waktu Pilkada, ini lah sasaran amuk paling "ganas" dalam pola rekrutmen pengisian struktural di Pemerintahan Daerah. 

Ini tentu menjadi sebuah anomali bagi keberlangsungan tata kelola Pemerintahan Daerah, bagaimana tidak,  tolok ukur kualitas ASN hanya didasarkan pada soal dukung-mendukung calon Kepala Daerah bukan atas dasar sistem kemampuan dan prestasi (Baca : Meritrokasi). 

Pemerintah Pusat perlu membuat aturan yang tegas dan menegur para Kepala Daerah yang suka "seenaknya" dalam penempatan berbagai jabatan, entah itu karena berdasarkan hubungan keluarga, atau menjadi tim sukses terselubung. Dan hari ini banyak yang seperti itu. 

Memang Gubernur Galib Lasahido dalam kepemimpinannya bukan produk  pilakada langsung. Dan semua publik sulteng sudah maklum. Tapi, dalam kepemimpinan beliau kita harus banyak mengambil pelajaran terutama terkait dengan karakter kepemimpinannya. 

Ini lah barangkali yang kita tidak pernah dapatkan sepanjang era reformasi ini dalam rekrutmen kepemimpinan daerah. Kedepan, kita, terutama generasi muda, baik yang berkiprah dalam birokrasi pemerintahan daerah maupun yang ada di partai politik harus memperhatikan ini. 

Di samping itu peningkatan wawasan sangat dituntut dalam rangka menjawab tantangan negara dan daerah yang semakin kompleks. Pemimpin birokrasi dan pemimpin politik ke depan diharapkan tidak hanya terpaku dan terfokus pada urusan popularitas dan elektabilitas tetapi kompetensi managerial sangat diperlukan.

Terlepas dari semua kekurangan, kelemahan, serta kelebihan yang dimiliki oleh Galib Lasahido, beliau telah berjasa meletakan dasar-dasar serta prinsip Pemerintahan Daerah di Sulawesi Tengah ini. 

Dan dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan daerah di Indonesia bahwa ternyata kita di Sulteng pernah memiliki seorang pemimpin pemerintahan yang berkualitas, tidak kalah dan selevel dengan pemimpin pemerintahan daerah lain secara nasional. 

Level ini bisa dibuktikan dengan kemampuan Galib Lasahido yang sangat aktif dan fasih dalam berbahasa jepang, belanda, Jerman, inggris. Ini berkat pengalaman belajar beliau di Jerman Barat tentang Administrasi Publik Pada 1969.