Kehadiran Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dan Menteri Perekonomian Indonesia, Sri Mulyani yang mendampingi Presiden Joko Widodo selama perhelatan KTT G20 Bali telah memberikan citra positif terhadap kepemimpinan perempuan dalam sektor publik.
Hal ini merupakan angin segar bagi perempuan. Pasalnya dari 20 negara yang tergabung dalam G20, hanya Italia yang dipimpin oleh pemimpin perempuan, Giorgia Meloni. Selain Meloni, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen juga menjadi sosok pemimpin perempuan yang hadir dalam G20.
Wajah perempuan dalam panggung kepemimpinan global memang sedikit memudar semenjak Angela Merkel berhenti menjabat sebagai Kanselir Jerman pada 2021 silam. Oleh sebab itu, kehadiran wakil perempuan dalam perhelatan KTT G20 Bali merupakan sebuah hal yang harus diapresiasi.
Rendahnya angka partisipasi perempuan di sektor publik merupakan permasalahan global. Tidak hanya terjadi dalam sektor politik, partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi juga tergolong rendah. Oleh sebab itu, peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah menjadi prioritas pemerintah di banyak negara, salah satunya Indonesia.
Dalam komentar International Monetary Fund (IMF), kesetaraan gender dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas perekonomian. Dalam laporannya pada tahun 2022, IMF memperkirakan bahwa setidaknya diperlukan lebih dari 130 tahun untuk menutup kesenjangan gender di seluruh dunia.
Dalam konteks Indonesia, laporan Sustainable Development Goals (SDG) tahun 2021 menyebut bahwa rasio partisipasi angkatan kerja perempuan terhadap angkatan kerja laki-laki mengalami peningkatan.
Momentum KTT G20 telah memberikan arah yang menunjukkan bahwa pemberdayaan dan partisipasi perempuan penting dilakukan di sektor publik. Dalam G20 Empower 2022 misalnya, kepemimpinan perempuan menjadi salah satu area fokus bersamaan dengan peningkatan serta pembangunan perempuan.
Dalam asumsi feminisme liberal, kepemimpinan perempuan dianggap sebagai faktor penting untuk meningkatkan kesetaraan gender. Meski demikian, kepemimpinan perempuan tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang mampu menciptakan kesetaraan gender.
Asumsi tunggal terkait kepemimpinan perempuan yang dapat meningkatkan kondisi kesetaraan gender pada dasarnya merupakan asumsi yang justru dapat menyederhanakan permasalahan kompleks terkait kesetaraan gender.
Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa perempuan dan kepemimpinan memiliki hubungan yang rumit. Lebih jauh lagi, penilaian terkait dengan perbedaan pola kepemimpinan laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki berbagai macam sudut pandang yang selalu berbeda.
Sebagai misalnya, keberhasilan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern dan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen dalam mengendalikan pandemi Covid-19 di negara mereka masing-masing telah memunculkan asumsi bahwa pemimpin perempuan memiliki kapabilitas lebih baik dalam menangani pandemi daripada pemimpin laki-laki. Hal ini juga terjadi ketika Retno Marsudi dan Sri Mulyani menjadi dua menteri perempuan yang mendapat sorotan positif ketika tampil di KTT G20.
Sebaliknya, citra negatif pemimpin politik seperti mantan presiden Korea Selatan, Park Geun-Hye, mantan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi atau bahkan politikus perempuan di Indonesia seperti Ratu Atut Chosiyah justru mengaburkan pandangan positif perempuan yang berpartisipasi dalam sistem politik.
Kasus korupsi yang menjerat keduanya justru menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang terjadi antara pemimpin laki-laki da pemimpin perempuan.
Belajar dari pendekatan feminis kontemporer, menggunakan jenis kelamin sebagai faktor tunggal untuk menganalisis kesetaraan gender–efektivitas kepemimpinan–justru mampu mengabaikan realitas yang terjadi sebenarnya. Oleh sebab itu, penilaian terkait dengan kepemimpinan perempuan harus melihat faktor kelembagaan yang lebih luas seperti hukum, dinamika kekuasaan, dan aturan yang berlaku.
Pada dasarnya, penilaian terkait efektivitas kepemimpinan politik sangat bervariasi dan tidak hanya didasarkan pada jenis kelamin. Namun, penilaian yang didasarkan pada jenis kelamin kerap dilakukan sebab kepemimpinan yang bersifat maskulin acap kali menjadi standar bagi pemimpin global.
Di beberapa sektor, dominasi maskulinitas bahkan telah mengaburkan harapan akan munculnya pemimpin perempuan. Sebagai misalnya, sektor yang berkaitan dengan militer dan keamanan hampir tidak pernah dipimpin oleh pemimpin perempuan.
Hal ini disebabkan karena militer dan keamanan yang diasosiasikan sebagai sektor yang maskulin. Pengasosiasian ini akan berdampak pada akan selalu ditempatkannya pemimpin laki-laki sebagai pemimpin di lembaga tersebut.
Tidak hanya dalam kelembagaan politik, pola biner kepemimpinan maskulin feminin ini juga acap diterapkan dalam sektor pekerjaan secara umum. Sebagai misalnya, perempuan akan memiliki kesempatan lebih tinggi untuk menjadi pemimpin di sektor pendidikan atau kesehatan ketimbang di sektor industri tambang dan manufaktur. Ketidaksesuaian peran ini dapat memicu munculnya prasangka negatif terhadap perempuan.
Lebih jauh lagi, persepsi terkait ketidaksesuaian peran pekerjaan perempuan dapat memunculkan ancaman bagi perempuan itu sendiri. Di Amerika Serikat misalnya, data dari Universitas Princeton menemukan bahwa perempuan yang menduduki jabatan publik memiliki frekuensi ancaman yang lebih tinggi daripada laki-laki, dengan total 42,5%. Pembunuhan terhadap anggota parlemen perempuan Inggris, Jo Cox pada 2016 silam telah menjadi catatan kelam terkait rentanitas politisi perempuan di seluruh dunia.
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan secara umum melihat bahwa diskriminasi, budaya, dan bias gender dinilai sebagai kontributor utama yang menyebabkan adanya ketimpangan gender. Oleh sebab itu, kepemimpinan perempuan pada dasarnya merupakan salah satu manifestasi dalam mengupayakan kesetaraan gender.
Studi terkait dengan kepemimpinan perempuan di sektor publik terus muncul dalam banyak penelitian terkait gender. Melalui sudut pandang posfeminisme, kepemimpinan perempuan memunculkan dua asumsi yang saling bertolak belakang.
Kepemimpinan perempuan dianggap mampu memberikan dampak positif terhadap ketimpangan gender, atau justru dianggap mampu melegitimasi ketimpangan gender yang terjadi. Oleh sebab itu, penting untuk melihat aspek lain yang dapat menilai efektivitas kepemimpinan seorang pemimpin.
Subordinasi perempuan atas laki-laki yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang telah memberikan tantangan tersendiri terkait dengan kepemimpinan perempuan dalam sektor publik.
Kepemimpinan perempuan dalam politik maupun sektor publik merupakan sebuah urgensi untuk mempromosikan kesetaraan gender dan untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki merupakan mitra yang setara. Selama gender masih menjadi penentu kelayakan seseorang, maka semua hal akan selalu berkaitan dengan gender.