Sebagai perempuan, kalian pasti sering memikirkan betapa indahnya bila kita bisa menjadi seorang laki-laki. Maksudnya dalam artian bukan seperti mengubah jenis kelamin, tetapi hal-hal yang dilakukan laki-laki ini condong lebih simple dan lebih bebas pengawasan dibanding dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena pandangan orang tua yang menganggap bahwa laki-laki lebih mampu menjaga diri daripada perempuan.

Para perempuan sering merasa tertekan karena begitu banyak hal yang terbatasi dari kegiatan dan keinginan oleh orang tua kepada anak perempuannya seperti batas jam malam, kemudian kegiatan yang tidak mudah dalam mendapat izin.

Sulitnya mendapatkan izin sebenarnya kita tahu bahwa itu demi kebaikan kita sendiri. Akan tetapi, mengapa hanya kita para perempuan saja yang sangat sulit mendapat izin? Padahal potensi untuk melakukan hal-hal negatif jauh lebih besar dilakukan oleh anak lelaki.

Ketidakadilan ini bukan hanya terbatasnya kegiatan di dalam sebuah keluarga. Perempuan juga mengalami ketidakadilan di dalam masyarakat. Perempuan sering ditindas dan sering dipandang sebelah mata dalam menentukan sebuah pilihan. 

Sebagai contoh apabila terdapat perempuan yang mencari pasangan hidup yang memiliki kebutuhan materil yang banyak, lagi-lagi perempuan tersebut akan dipandang atau dicap sebagai perempuan yang matre atau gila harta.

Padahal begitu banyak laki-laki yang melakukan hal serupa dan bahkan memeras keuangan pada pasangan perempuannya, tetapi mengapa tidak ada sebutan cowok matre? Dapatkah kita mengubah stigma masyarakat terhadap perempuan? Apabila dapat mengubah maka sangat perlu diubah agar perempuan tidak selalu disudutkan.

Masih terdapat begitu banyak ketidakadilan terhadap perempuan. Kali ini saya mengambil contoh lagi di dalam masyarakat berkaitan dengan sanksi sosial yang biasanya hanya diberikan kepada wanita. 

Sanksi sosial yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, hal yang saya maksud tersebut adalah tindak asusila yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam berhubungan seksual yang mana di antara keduanya masih belum sah menjadi pasangan suami istri, bahkan bukan hanya dilakukan oleh anak muda pada jaman sekarang tetapi juga dilakukan oleh seseorang yang sudah terikat janji suci namun kemudian melakukan perselingkuhan. 

Hal yang saya ingin tunjukan adalah pandangan masyarakat terhadap sanksi sosial bahkan sanksi yang diberikan kepada pelaku. Sering kita ketahui bahwa pihak yang dihukum dan dipojokan selalu dari pihak perempuan. 

Perempuan akan dicap  murahan dan dikucilkan dari masyarakat, sedangkan pihak laki-laki dibiarkan begitu saja tanpa adanya sanksi sosial yang diberikan kepada laki-laki yang juga merupakan pelaku tindak asusila tersebut. 

Selain itu masih ada lagi tentang hal yang tidak berbeda jauh dengan hal ini yaitu tindak pemerkosaan. Apabila kita melihat pendapat dan pandangan yang dilontarkan masyarakat terhadap tindak pemerkosaan yang selalu disalahkan adalah pihak perempuan di mana mereka menyebutkan bahwa cara berpakaian perempuanlah yang salah. Hal ini tentu saja juga membatasi kebebasan berkreasi perempuan dalam berpakaian. 

Mengapa masyarakat tidak menyalahkan pelaku pemerkosaan yang tidak mampu menjaga syahwat atau hawa nafsu mereka? Bahkan tentang pemerkosaaan sendiri yang diminta dijaga cara berpakaian adalah perempuan malah bukan syahwat atau hawa nafsu dari si pelaku pemerkosaan.

Di zaman sekarang ini, bila ada perempuan yang tidak bisa masak, tidak bisa bersih-bersih rumah pasti akan dianggap bahwa perempuan itu tidak berguna dan lagi-lagi itu adalah kesalahan. 

Namun, bagaimana tentang laki-laki yang tidak bisa melakukan hal-hal tersebut? mereka menganggap hal itu wajar hanya karena mereka “laki-laki”. Padahal, hal-hal tersebut tidak harus dilakukan oleh perempuan tetapi bisa dilakukan oleh semua orang tanpa memedulikan soal jenis kelamin.

Sebagai perempuan, jangan mau dipandang remeh oleh siapapun karena kita memiliki tingkat kebebasan dan keistimewaan tersendiri. Kita harus bisa mengangkat derajat perempuan dan membasmi semua stigma yang menyalahkan pihak perempuan.

Memang benar, perempuan harus bisa menjaga dirinya sendiri lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi, Apakah hal itu diperlukan jika dari pihak laki-laki mampu menjaga diri dan menahan nafsu untuk tidak melakukan hal aneh terhadap perempuan? Jika tidak diperlukan, maka perempuan akan merasa aman dan merasa memiliki kebebasan tanpa takut memikirkan sudut pandang dari laki-laki.

Perlu di garis bawahi, bahwa menjadi wanita tidak semudah itu untuk dijalani. Larangan-larangan yang lebih dominan kepada perempuan juga membuat mayoritas mereka merasa hidup bagaikan penuh tekanan. Padahal, perempuan tidak seharusnya mendapatkan banyak tekanan seperti itu. 

Oleh karena itu, tujuan saya menuliskan esai ini adalah untuk membuka pandangan masyarakat melalui pembaca yang merupakan langkah kecil untuk mewujudkan hal tersebut. 

Harapan saya masyarakat dapat terbuka sedikit demi sedikit terhadap pembobotan yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki, bukan tentang menyamakan sikap atau sifat yang dipandang. Tetapi hak-hak serta kebebasan yang diberikan kepada perempuan.