Sebelum menghadapi ajang pemilu tahun 2024, perlunya kita untuk mereflesikan kembali tentang budaya politik yang ada di Indonesia dari masa orde lama hingga masa reformasi. 

Mempelajari budaya politik yang ada di beberapa dekade. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan pembelajaran buat pembaca terkait budaya apa yang harus diterapkan untuk Indonesia ke depan.

Budaya politik adalah bagian dari kebudayaan di masyarakat yang memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Istilah budaya politik yaitu meliputi masalah legitimasi, proses pembuatan kebijakan pemerintah, pengaturan kekuasaan, kegiatan dalam partai-partai politik, perilaku aparatur negara, dan gejolak dari masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintahnya.

Konsep budaya politik yang diprakarsai oleh Almond dan Verba yaitu sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan beraneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara tersebut di dalam sistem itu mengandung pemahaman yang luas.

Tipe dan Jenis Budaya Politik di Indonesia

Tipe-tipe orientasi politik yang dikelompokkan oleh Almond dan Verba dalam jurnal (Trisno, 2019) yaitu sebagai berikut.

Orientasi kognitif, ialah kemampuan yang terkait dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, kepercayaan atau keyakinan individu terhadap jalannya suatu sistem politik dan atributnya, misalnya seperti tokoh-tokoh di dalam pemerintahan, kebijakan yang diambil, serta mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politik, misal ibukota negara, kepala negara, batas-batas negara, lambang negara, mata uang yang digunakan, dan lagu kebangsaan negara.

Orientasi Afektif merupakan perasaan seorang warga negara terhadap sistem politik dan perannnya yang membuatnya diterima atau ditolak dalam sistem politik tersebut. Terakhir, orientasi evaluatif adalah keputusan atau prasangka terkait obyek-obyek politik yang diterapkan serta kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

Menurut Almond A. Gabriel dalam buku Perbandingan Sistem Politik (Mas’oed & MacAndrews, 1978) menjelaskan bahwasanya golongan budaya politik ditentukan berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, serta kecapakan politik yang dimiliki. Masyarakat yang melibatkan dirinya di dalam kegiatan politik, paling tidak pada kegiatan pemberian suara atau voting, serta memperoleh informasi yang cukup memadai tentang kehidupan politik, maka disebut berbudaya politik partisipan.

Sedangkan untuk masyarakat yang secara pasif hanya patuh kepada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, namun tidak secara langsung memberikan suara pada pemilihan disebut dengan berbudaya politik subyek atau kaula. Masyarakat dengan sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan disebut dengan berbudaya politik parokial.

Perkembangan Budaya Politik dari masa Orde Lama ke Masa Reformasi

Budaya politik di Indonesia saat ini merupakan budaya campuran dari parokial, kaula, dan partisipan. Ditinjau dari segi budaya Politik Partisipan, maka semua ciri-ciri tersebut telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga terdapat di Indonesia, misalnya dalam berlangsungnya masyarakat tradisional dan budaya politik kaula yang digunakan untuk memenuhi budaya politik tersebut, seperti warga yang menyadari sepenuhnya terkait otoritas pemerintah.

Setelah memasuki era reformasi di Indonesia, banyak orang menggunakan budaya politik partisipan karena bebasnya sistem demokrasi, banyak partisipasi masyarakat atau warga negara, serta tidak tunduknya akan keputusan dari pemerintah baru (Yusuf, 2016).

Menurut Rusadi Kantaprawira di dalam jurnal (Rinenggo, 2022) menjelaskan bahwasanya mengkonstatasi budaya politik di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut:

Melakukan konfigurasi sub kultural di Indonesia

Prinsip dari masalah tentang keanekaragaman sub kultural yang ada di Indonesia telah ditanggulangi atas usaha pembangunan bangsa (nation building) serta pembangunan karakter (character building) yang sudah cukup berhasil, jika diukur dari kacamata jumlah penduduk, luas wilayah, latar belakang sejarah, serta rentang waktu.

Terdapatnya budaya Parokial, Kaula, dan Partisipan

Budaya politik di Indonesia bersifat parokial dan kaula serta di satu sisi bersifat partisipan. Ditinjau dari segi massa masih ketinggalannya penggunaan hak untuk memikul tanggung jawab politik, hal tersebut disebabkan adanya isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajah, bapakisme, feodalisme, serta ikatan primordial. 

Sedangkan di pihak lainnya kaum elite sudah sungguh-sungguh berpartisipan secara aktif yang hal itu disebabkan karena pengaruh pendidikan modern dari barat. Jadi budaya politik Indonesia merupakan budaya politik yang campuran serta diwarnai dengan pengaruh budaya politik parokial dank kaula.

Ikatan Primordial yang masih kuat di Indonesia

Sifat ikatan primordial yang masih kuat dan mengakar yang ditinjau dari indikator berupa sentimen kedaerahan, perbedaan pandangan agama tertentu, serta kesukuan. Salah satu bentuk petunjuk yang masih kuat yaitu adanya ikatan primordial. 

Hal tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin di dalam struktur vertikal masyarakat yang dimana usaha gerakan elite politik secara langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur lainnya dengan tujuan perekruitmen dukungan.

Paternalisme dan Patrimonial yang ada di Indonesia

Karena kecenderungan budaya politik di Indonesia yang masih teguh terhadap sikap paternalisme dan sifat patrimonial. Salah satu indikator yang masih ada ialah bapakisme, yaitu sifat asal bapak senang. 

Di Indonesia, budaya politik dengan tipe parokial dan kaula lebih memiliki keselarasan dengan tumbuhnya persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menundukkan dirinya di dalam proses output dari penguasa.

Problematika Modernisasi dan tradisi di Indonesia

Adanya dilema yang terjadi antara modernisasi dengan pola-pola lama yang masih mengakar dalam tradisi di masyarakat. Hal tersebut menjadikan persoalan di dalam pelembagaan sistem politik Indonesia yang dewasa ini sudah siap untuk menampung proses pertukaran kedua variabel tersebut.

Contohnya tuntutan modernisasi diharapkan dapat menumbuhkan sifat rasionalisme, kelugasan, serta obyektiviitas di dalam menilai suatu persoalan politik yang pola budaya di Indonesia masih belum dikenal secara rinci.

Perkembangan budaya politik di Indonesia diwarnai oleh beberapa era. Berdasarkan (Saleh & Munif, 2015) bahwasanya era tersebut yaitu antara lain: Era Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, serta yang terakhir ialah Era Reformasi.

Era Demokrasi Parlementer (1945 hingga sampai 1950).

Di era demokrasi parlementer, budaya politik mengalami perkembangan yang sangat beragam, selain itu juga tingginya partisipasi massa untuk menyalurkan tuntutan. Hal tersebut menjadikan bahwasanya seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan.

Dengan anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat menjalankan kewajibannya menyebabkan naiknya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik di masa itu serta terjadinya percobaan kudeta, pemberontakan, dan sebagainya yang banyak tergambar dari adanya keterlibatan rakyat. Dapat disimpulkan bahwasanya kelompok rakyat telah sadar serta memahami pola-pola aliran yang terjadi.

Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai di tanggal 5 Juli 1959 hingga sampai 1965)

Pada era demokrasi terpimpin bahwasanya terjadinya sifat primordialisme yang mirip seperti era sebelumnya. Pada masa demokrasi terpimpin, ideologi masih menjadi warna, meskipun dibatasi secara formal melalui Penetapan Presiden No 7 Tahun 1959 pada tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat Penyederhaan Kepartaian, Tokoh Politik yang memperkenalkan gagasan tentang Nasionalisme, Agama, serta Komunisme (NASAKOM).

Gagasan tersebut menjadi sebuah patokan di dalam partai-partai yang berkembang di era demokrasi terpimpin. Pada kondisi itu, tokoh politik dapat untuk menjaga keseimbangan politik.

Era Demokrasi Pancasila (1966 hingga sampai 1998)

Era Demokrasi Pancasila mulai meninggalkan gaya politik yang didasarkan primordialisme. Era ini lebih menonjolkan tentang gaya intelektual yang pragmatik di dalam penyaluran tuntutan. Secara material dalam penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar yaitu antra Golongan Karya (Golkar) dengan ABRI.

Koalisi besar tersebut berisi teknorat dan perwira-perwira yang paham dengan teknologi modern. Proses pengambilan kebijakan publik hanya diformulasikan untuk lingkungan elite birokrasi serta militer yang terbatas sebagaimana yang terjadi di dalam tipologi birokrasi. 

Sehingga, hal tersebut mengakibatkan terbatasnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, karena segala sesuatu diputuskan di tingkat pusat dan dalam lingkaran elite yang terbatas.

Era Reformasi (1998 - hingga sekarang)

Perkembangan budaya politik di era reformasi lebih berorientasi terhadap kekuasaan yang berkembang di kalangan elite politik. Budaya politik seperti ini menjadikan struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Meskipun struktur serta fungsi-fungsi di dalam sistem politik Indonesia sudah mengalami perubahan dari era sebelumnya, namun tidak terhadap budaya politiknya.