Untuk kesekiankalinya kemiskinan kerap dijadikan korban kejahatan para aparat. Kisah memilukan terjadi pada ibu paruh baya di kota Serang yang kedapatan membuka usaha warung makan pada siang hari di bulan Ramadhan. Seperti tak mau tau apa-apa, sikap pamong praja itu langsung melakukan “sweeping” menyita dagangan ibu paruh baya itu.
Tentu saja sikap Aparat Polisi Pamong Praja itu tak berdiri sendiri. Mereka hanya melaksanakan perintah. Pertanyaannya, perintah itu dari siapa? Jika dirunut, apakah Mendagri mencoba cuci tangan dengan menyampaikan teguran kepada anak buahnya itu di sosial media? Wakil Presiden pun juga berkomentar soal tragedi “Dua Piring Nasi” ini.
Lagi-lagi, kemiskinan versus konglomerat, aparat versus sipil. Kalau mau adil, kenapa restoran mewah itu tidak di “sweeping” juga. Apakah soal kontribusi pajak, atau soal toleransi beragama? Kemiskinan sering menjadi korban, seperti memupuk harapan kaum elit penguasa.
Di tengah-tengah tragedi kemanusiaan toleransi beragama bukan berarti menindas akar rumput. Seperti membangun paradigma berpikir bahwa yang salah adalah “rakyat” itu. Kidung pikir yang salah, menganggap kejahatan itu adalah “penjahat”. Sementara, penjahat sesungguhnya berlindung dibalik jubah keagamaan atau kursi empuk kekuasaan.
Mana mungkin kaum miskin melakukan kejahatan tanpa moral, kalau urusan perut belum bisa dijamin oleh Negara. Mereka adalah korban dari kejahatan Negara itu sendiri, toh karena kemiskinan yang membelenggu, kerapkali diperkosa oleh pejabat yang sangat haus kekuasaan.
Pelacur Kuasa
Indonesia ibarat air jernih dengan kotoran yang berada di dasar empangnya. Sekali diloncati oleh benda apapun, maka cebokan-cebokannya bermunculan di permukaan. Seperti itulah kondisi Indonesia, mereka yang sudah sama-sama tau seolah-olah berdiam diri sebagai penjaga moral. Padahal sesungguhnya……
Tak perlu bertanya tentang apa itu penguasa, penguasa hari ini telah mendeskripsikan dirinya sendiri dengan perbuatannya. Mereka sengaja membuat suasana damai, agar riak-riak kejahatannya mengendap di dalam. Hanya mereka yang berani berteriaklah yang disebut pahlawan.
Tapi anehnya, pahlawan yang berbuat jujur dan berani saja kadang dilibas habis-habisan. Modal moral dan nekat tak berarti apa-apa tanpa ada relasi persaingan kekuasaan yang siap juga melibas penguasa. Artinya, keberanian dengan ayat-ayat suci yang konon katanya bersih, juga masih berada diatas kepentingan yang lain.
Pembawa moral akhirnya melacurkan diri, melibas benteng kuasa, melakukan manipulasi realitas, lalu menipu masyarakat melalui tafsir ayat-ayat suci. Mereka kemudian berjubah putih ibarat seseorang yang dikultuskan, membawa pedang kebenaran, lalu mengumbar nama tuhan menggerakkan arus yang tak mengerti apa-apa.
Inilah kemiskinan moral yang terjangkiti, dengan tampilan yang penuh menipu mata. Masyarakat berbondong-bondong, penuh hasutan dan emosi, seolah-olah melakukan misi penyelamatan moral dengan melakukan pembantaian pada kelas-kelas marjinal.
Apalah jadinya kalau kemiskinan akhirnya menjadi lampiasan kesenangan para pejabat teras itu. Dimana mereka, ketika tugas Negara harus dijalankan? Ya, mereka berada di atas meja, mengerjakan data kemiskinan, merumuskan jalan keluar kemiskinan, setelah didata dan dirumuskan, proposal dilayangkan ke DPR, turunlah anggaran dari kementerian keuangan, masuklah uang itu ke kantong pribadi.
Wah, hebatnya pejabat kita ini, yang kerjanya cuman mengumpulkan data dan merumuskan kebijakan lalu digaji bertriliun. Setelah itu, efeknya tidak ada apa-apanya pada kelas bawah. Kemiskinan masih saja tumbuh subur di gorong-gorong, di liang-liang kota dan di desa-desa.
Justru kaum miskin inilah yang menjadi warga Negara yang patuh membayar pajak, sementara kejahatan masih saja merajalela menggoroti kehidupan mereka.
Ada pula yang rumahnya di tembok beton dan besi, dijaga satpam 24 jam, tapi penghuninya adalah pelaku kejahatan pajak, pelaku pengedar narkoba, dan pemerkosa hak si miskin. Yang anehnya, Negara turut andil dalam kehidupan serba mewah itu.
Predator Politik Menuju Predator Kelamin
Melebarnya ketidakadilan dan ketimpangan sosial memberikan lahan yang subur bagi pengembangbiakan kejahatan. Kejahatan moral merajalela merebut kebaikan moral yang tak pernah bersuara.
Ketimpangan yang diiwariskan oleh diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim pemerintahan pasca kolonial, pada akhirnya merambah pada ketimpangan sosial-ekonomi baru. Konsekuensi dari globalisasi dan penetrasi kapitalisme inilah kemudian tumbuh benih-benih kapitalisme baru.
Di sini, pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang aspirasi neoliberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara kesejahteraan belum berjejak. Penetrasi kapital dan kebijakan pro pasar di tengah-tengah perluasan korupsi, serta lemahnya regulasi negara dan pelaku ekonomi ”kebanyakan”, memberi peluang bagi bersimaharajalelanya ”predator- predator” raksasa, yang cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil.
Akibatnya, kekayaan dikuasai segelintir orang yang meluaskan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Karena dalam masyarakat plural terdapat afinitas antara golongan budaya dan kelas ekonomi, resistensi atas kesenjangan sosial pun bisa diartikulasikan lewat bahasa-bahasa perbedaan SARA.
Sampai kapan akan seperti ini, predator-predator yang telah berubah wujud menjadi manusia bersurban atau manusia yang bersekongkol dengan Iblis. Ketika Negara yang dihuni oleh mereka, dan ketika anak-anak diperkosa merajalela.
Predator Politik pun berubah wujud menjadi predator kelamin, mereka yang dulu berslogan “kesejahteraan” dan “melindungi” justru melakukan “pemiskinan” dan “pemerkosaan”. Tak jauh-jauh kasus seperti di atas, soal kemiskinan yang kerapkali diperkosa oleh predator seks dan politik.
Ketika kita menengok kejadian seorang anak gadis usia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP diperkosa oleh 14 pemuda lalu dibunuh, sementara Negara ataupun kita yang ada di sini hanya berdiam diri.
Begitu pilu dan menukik sanubari, sebab jatuhnya moralitas anak bangsa disebabkan praktek pejabat yang tak bermoral. Ketika kejadian memilukan juga terjadi di Tanggerang, seorang gadis yang diperkosa secara bergantian oleh 3 pria setelah itu dibunuh dengan memasukkan cangkul ke alat kemaluannya.
Belum lama ini juga, sekitar awal bulan Mei 2016 kisah memilukan juga terjadi pada gadis yang masih berumur 12 tahun diperkosa dengan sadis oleh 21 pria.
Negara ini seperti berada dalam gelombang krisis moralitas. Mulai dari pejabatnya hingga terjangkiti pada masyarakat awam. Slogan Politik yang dibawa para pemimpin hanya dijadikan kampanye untuk mendulang suara semata, setelah itu mereka berleha-leha dengan nafsu kuasa serta duduk santai dikursi empuk Istana.
#LombaEsaiKemanusiaan