Pernah tidak, kamu berpikir tentang "Privilege"? Tulisan ini merupakan refleksi percakapan saya dengan adik sepupu dari saudara Ayah saya terkait kuliah. Umurnya 18 tahun, sebentar lagi akan lulus. Tinggal di Sulawesi Tenggara, Kab. Kolaka Utara, Kec. Ngapa, Desa Lapai. Jarak hitungannya ialah enam ratus enam puluh satu kilometer (661 Km). Akses untuk ditempuh ialah sekitar delapan belas  jam dari kota  Makassar —tempat di mana mayoritas Universitas besar di Sulawesi bernaung.

Latar Belakang keluarga kami bisa dibilang tidak berpendidikan, saya satu-satunya yang mampu mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, dua orang sepupu saya akan lulus SMA nanti. Sisanya menikah usia dini atau memutuskan untuk berhenti sekolah berkebun mencari uang. Total sepupu saya adalah 19, namun hanya ada satu yang mampu mengenyam perguruan tinggi, dan dua yang memiliki minat pada Pendidikan.

Hal itu mendorong saya untuk mengajak adik saya mengikuti pendaftaran Perguruan Tinggi. Saya juga menyampaikan jika persoalan biaya orang tuanya cukup mampu, tapi sebelum mengkhawatirkan itu saya juga menyampaikan kalo saya merupakan pengurus Forum Penerima Beasiswa KIP, melihat keadaan ekonominya tentu sangat mudah untuk diterima.

Selepas diskusi panjang lebar, saya mengingat kalimat adik saya, "Kalau orang disini, jangankan Unhas. Yang dibawahnya saja Unhas tidak na percaya bisa dirinya", adik saya keliatan murung. Karena orang lain di sekitar dia menganggap itu mustahil, hal itu juga membuat dia berkecil hati.

Adik sepupu saya adalah salah satu bukti nyata bagaimana kemiskinan melanggengkan diri di masyarakat. Kemiskinan sudah erat secara struktural bahkan pola pikirpun memengaruhi, belum lagi opini-opini dari guru dan juga orangtuanya yang memengaruhi bahwa keinginan untuk kuliah di kampus ternama adalah hal yang mustahil dengan latar belakang seperti itu.

Pengalaman daya sendiri mencerminkan hal tersebut. Saya salah satu manusia yang terjebak pada lingkaran setan itu. Yang mampu keras kepala demi bisa. Tapi keringat dapat dikatakan bercucuran hanya sekedar mendapatkan akses pendidikan yang katanya hak semua anak bangsa.

Di bangku sekolah, boro-boro tau proses pendaftaran kuliah. Yang dilirik hanyalah murid berlatar belakang keluarga berada, atau yang orang tuanya PNS. Mereka dibantu bahkan diarahkan secara struktur oleh guru-guru yang ada di sekolah.

Bagi murid seperti saya, yang tidak pernah ikut lomba karena keterbatasan biaya, yang tidak pernah mengukir prestasi karena memang tidak pernah dilirik oleh sekolah, dilupakan dan ditinggalkan.

Beruntung karena menolak mati, saya memutuskan untuk cari tahu apapun itu sampai benar-benar bisa dan sepanjang perjalanan hanya bertaruh apakah memang bisa kuliah atau tidak.

Bagaimana dengan teman-teman saya? Seperti yang dibilang di awal. Mereka yang memiliki minat akan gagal karena dua faktor keterbatasan informasi dan biaya. Yang lain yang mampu akan kuliah, tapi dengan tujuan hanya mendapatkan ijazah.

Di luar sana, ada banyak kesalahpahaman tentang kemiskinan. Sesungguhnya orang miskin tidak pernah memilih untuk miskin, melainkan ada banyak sekali faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat untuk keluar dari lingkar kemiskinan.

Kemiskinan bukan karena miskin Karakter

Margaret Thatcher —Mantan Perdana Menteri UK pernah bilang bahwa, "poverty is personality defect", yang artinya kemiskinan itu karena kekurangan karakter. Sesuai dengan pemahaman meritokrasi — bahwa pencapaian individulah yang mendasari kemampuan seseorang untuk tumbuh.

Mungkin yang dilupakan sama orang-orang yang punya privilege lebih adalah bagaimana rasanya melancarkan strategi setiap hari hanya demi bisa makan esok hari. Hal itu saja sudah bikin pusing, apalagi untuk mikir panjang tentang pendidikan yang habiskan banyak duit.

Saya tinggal di daerah Sengkang, Wajo. 192 KM dari lokasi ibukota Sulawesi Selatan. Tumbuh di lingkungan yang memiliki akses pendidikan yang terbatas secara struktural. Bahkan kebudayaan masyarakat kalangan bawah disini memahami pendidikan bukan sebagai proses belajar, melainkan peningkatan prospek kerja.

Akhirnya, hal ini menciptakan orang-orang yang memiliki minat berpendidikan namun gagal karena keterbatasan biaya atau orang-orang yang memiliki kemampuan untuk berpendidikan, tapi tidak memiliki minat. Keduanya tidak menghasilkan SDM yang bisa memperbaiki ekonomi masyarakat.

Anggapan bahwa seseorang memilih untuk menjadi miskin itu harus dihapuskan. Sebagai seorang mahasiswa justru harus mengerti bagaimana pola struktur dan kebudayaan yang justru menghasilkan kemiskinan, bukannya malah ikut sama kaum yang mengatakan kemiskinan itu terjadi karena individunya.

Kemiskinan Yang Berputar

Bagaimana rasanya ada di lingkungan kemiskinan? Dan bagaimana lingkungan kemiskinan bisa abadi?

Bayangkan saja kamu adalah Seorang Sarjana pada kampus ternama. Namun, kamu memutuskan untuk balik ke kampung memperbaiki apa yang dapat diperbaiki. Setelah tiba disana, ternyata hanya sedikit prospek kerja karena keterbatasan ekonomi masyarakat.

Lalu, kamu pergi di pemerintahan dan  menyadari bahwa yang dinilai bukanlah kompetensi melainkan yang dijunjung ialah nepotisme. Karena sumber daya yang bertahan disana bukan orang yang peduli, melainkan orang yang mampu secara finansial duduk di bangku kuliah, namun tidak memiliki peduli kepada daerahnya.

Akhirnya, kamu memutuskan kembali ke kota besar, dengan peluang kerja yang lebih baik. Berharap untuk bertemu orang-orang yang lebih professional.

Kota asalmu ditinggalkan untuk mati. Begitu seterusnya.

Oleh sebab itu, ketika kita memiliki privilege lebih untuk dapat mengeyam pendidikan seharusnya kita lebih sadar dan lebih peduli terhadap keadaan sosial sekitar kita. Ketika sudah beruntung, sepatutnya membantu orang lain yang kurang beruntung dengan apapun, jangan justru ikut-ikutan menyalahkan bahwa kemiskinan adalah sebuah pilihan.

 "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."

-Tan Malaka