Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, dalam sebuah seminar menyebutkan bahwa kemiskinan adalah faktor pemicu timbulnya terorisme yang dilakukan kelompok marjinal. 

Eddy berpendapat, persoalan terorisme bukan hanya semata-mata soal pemahaman agama yang salah, melainkan kemiskinan dan kelompok marjinal. Pengentasan kemiskinan penting di samping deradikalisasi karena dengan begitu bisa menanggulangi tindakan terorisme secara komperehensif serta dibentengi nilai-nilai kearifan lokal.

Artinya, narasi yang selama ini dibangun media, terutama di Barat, mengaitkan aksi teror dengan mendiskreditkan Islam tidak sepenuhnya benar. Selepas peristiwa pengeboman Gedung WTC September 2001, terkenal istilah “islamofobia”; sebuah istilah yang sangat diskriminatif terhadap umat muslim di dunia. 

Parahnya lagi, isu sentimen populis seperti ini menjadi bahan dagangan yang laris manis dalam konteks politik. Terbukti pada Pemilu AS tempo lalu yang dimenangkan oleh Donald Trump. Akhirnya, berdampak pada kebijakan yang diambil tidak berkeadilan, banyak menuai pro-kontra di masyarakat, meninggikan supremasi atas agama, suku, warna kulit, dan golongan.

Hal yang sering terlupakan oleh para ahli dalam setiap terjadi aksi teror adalah bahwa aktor utama penyebab aksi terorisme adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Anak-anak dan generasi muda yang merasa hidup dalam himpitan ekonomi dan membayangkan masa depan mereka akan suram mudah sekali dprovokasi untuk melakukan kekerasan atau terorisme.

Budayawan Ahmad Tohari pernah bilang, “Apabila ingin memberantas terorisme, strategi yang paling mudah adalah dengan mengurangi pengangguran dan menambah lapangan kerja. Orang yang sudah makmur jangan memamerkan kemakmurannya di jalan-jalan atau TV, karena akan merangsang orang yang menganggur dan merasa tidak punya masa depan menjadi gelisah dan resah, pada saaat inilah manusia mudah untuk disusupi.”

Tingkat kemiskinan di Indonesia masih berada pada persentase di atas delapan persen. Itu kira-kira mencapai 20 juta orang, atau lima juta keluarga. Bisa dibayangkan, apabila kita salah menangani persoalan kemiskinan ini, akan banyak orang terpapar radikalisme di Indonesia. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi.

Seperti diketahui, gini ratio di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 0,409, menurun tipis 0,001 poin dibanding Maret 2016 sebesar 0,410. Sedangkan dibanding September 2015, gini ratio ini menurun 0,010 poin dari sebelumnya sebesar 0,419.

Sementara itu, gini ratio di daerah pedesaan pada September 2016 sebesar 0,316, menurun 0,011 poin dibanding Maret 2016 sebesar 0,327. Angka ini juga menurun 0,013 poin dibanding September 2015 yang mencapai 0,329.

Tetapi sebagai sebuah bentuk kewaspadaan, tidak ada salahnya kalau angka kemiskinan ini harus diperhatikan. Mengatasi kemiskinan jauh lebih lambat dan lama dibandingkan dengan penyebaran ajaran sesat. Karena itu, pemerintah haruslah segera menangani persoalan kemiskinan ini dengan baik dan tuntas.

Selain itu, yang paling parah adalah ketika banyak variabel internal bersatu dan didorong dengan faktor eksternal. Dan, kehidupan selalu begitu. Suatu tindakan lahir sering dipengaruhi oleh banyak faktor yang berkumpul menjadi satu. 

Ketika delusi superhero seseorang sudah akut, ditambah lagi adanya pemahaman tentang faktor politik dan ideologi yang ditanamkan secara kuat, kemudian didorong karena rasa dendam, kebencian mendalam pada suatu sistem atau rezim, maka dipastikan orang yang mengalami hal itu akan dengan sangat mudah untuk berbuat tindak pidana teror.

Pemahaman tentang ini penting untuk merumuskan kebijakan yang seperti apa sesungguhnya yang harus dijalankan oleh para perumus kebijakan dalam menanggulangi masalah terorisme. Penegakan hukum saja tidak cukup. Ia sifatnya responsif, sementara terorisme sifatnya progresif dan dinamis. Akan gagal jika hanya penegakan hukum.

Di sisi lain, UU Terorisme yang berlaku sekarang belum mampu menyentuh ke faktor internal itu. Deradikalisasi yang banyak dipuji karena telah banyak mengembalikan para teroris ke jalan yang benar masih banyak celah kelemahan. Itu karena deradikalisasi pun masih bersifat responsif, hanya menyasar pada para eks teroris.

Bagaimana, misalnya, perlakuan terhadap orang yang melakukan provokasi bahkan pencucian otak untuk memasukkan ideologi tertentu yang menyebabkan seseorang mengalami delusi superhero akut di banyak tempat? Bagaimana terhadap masyarakat yang belum terkena paham radikalisasi agar tidak terpapar? Belum tersentuh sama sekali. Padahal ini inti dari penanggulangan terorisme.

Kesimpulannya, ketidakadilan, terutama ketidakadilan ekonomi, adalah fenomena nyata yang terlihat. Di kampung-kampung, di dalam gang-gang, di pinggir jalan-jalan, banyak masyarakat yang berpenghasilan hanya cukup untuk makan hari itu. 

Sementara di tempat lain, ada banyak yang pamer gaya hidup glamor konsumtif ala jahiliyah, termasuk wakil rakyatnya. Selisih ini, pada saat dipamerkan, pasti akan merangsang kegelisahan di masyarakat tingkat bawah dan menghadapi keadaan sangat sulit.

Walaupun aktor utama terorisme adalah kemiskinan, tetapi para teroris memanfaatkan legasi agama untuk berjalan karena mereka tidak mempunyai saluran lain untuk melampiaskan kegelisahan mereka. Mereka tidak punya organisasi apa pun, karena tidak ada organisasi pemuda yang memperhatikan masalah pengangguran. Tidak ada.