Seorang laki-laki mengangkat telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Raut mukanya menampakkan kebingungan. Sesaat kemudian dia berbicara pada jurnalis di hadapannya, “Ini telepon dari markas kepolisian di Jayapura. Saya tidak mengerti bagaimana mereka bisa tahu agenda kami untuk pergi ke Wamena. Padahal saya baru mengganti nomor handphone ini dua minggu lalu, tapi mereka tahu. Saya tidak mengerti”.
Petikan di atas adalah cuplikan dari film dokumenter yang dibuat oleh saluran televisi ternama, Al Jazeera. Film yang diproduksi pada 2013 ini tak hanya memiliki konten yang berani, pemilihan kata untuk judulnya pun terkesan menantang: Goodbye Indonesia. Ketika film ini rilis, narasumber utama yang petikan kalimatnya saya kutip di atas, Victor Yeimo, belum dipenjara.
Ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) ini memang sudah menjadi incaran aparat kepolisian maupun tentara, maka tak heran dalam film ini kita menyaksikan bagaimana ia harus berpindah-pindah tempat untuk bersembunyi dan berkoordinasi dengan rekan-rekannya. Ini harus dilakukan demi menghilangkan jejak dan meminimalisir korban.
Apa yang dilakukan Victor dan kawan-kawannya tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Mereka menjadi sasaran kekerasan oleh polisi maupun tentara Indonesia karena memperjuangkan sesuatu yang, ironisnya, ada dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: kemerdekaan.
Kenapa Victor dan rakyat Papua Barat menginginkan kemerdekaan saat wilayah mereka sendiri masuk dalam bagian NKRI yang sudah merdeka?
Ini adalah pertanyaan naif yang sering diulang-ulang, tapi sayangnya sudah terlanjur menjadi opini publik yang berkelindan dengan narasi sejarah dari perspektif Indonesia. Maka, untuk menjawabnya, pertama-tama kita harus melihat di manakah posisi Papua Barat dalam ‘proyek’ pembentukan bangsa Indonesia yang saat itu baru dicanangkan.
Mundur jauh ke belakang, saat sidang BPUPKI yang digelar pada 10-11 Juli 1945, para peserta sidang berdebat alot untuk menentukan wilayah mana saja yang akan menjadi bagian Negara Republik Indonesia. Papua, dalam hal ini masuk ke dalam perdebatan. Masing-masing peserta memiliki argumentasinya sendiri.
Moezakir berpendapat bahwa Papua dan bangsa Melayu yang tinggal di Semenanjung Melayu dapat dimasukkan asalkan dengan kerelaan mereka. Ia tidak mempermasalahkan warna kulit orang Papua yang berbeda dengan orang Melayu karena Papua bisa menjadi aset berharga dengan kekayaan alamnya.
Yamin melihat Papua dari perspektif geopolitik dimana letak Papua yang jauh di timur adalah lompatan terakhir kepulauan Indonesia menuju kepulauan Pasifik. Artinya, bagi Yamin, Papua menjadi batas Republik Indonesia di sebelah timur. Ia menghendaki Papua masuk dalam Republik Indonesia.
Hatta menyangsikan pendapat Yamin bahwa bangsa Papua memiliki kesamaan dengan bangsa Indonesia karena menurutnya bangsa Papua adalah bangsa Melanesia. Ia menyerahkan sepenuhnya kemerdekaan Papua kepada rakyat Papua sendiri.
Soekarno menyambut pendapat Hatta dengan mendasarkan pada Negarakertagama gubahan Prapanca. Menurutnya, di dalam Negarakertagama disebutkan bahwa daerah kekuasaan Majapahit dahulu meliputi Papua. Yang menarik, Soekarno berkata bahwa, “Kita bukan waris orang Belanda” karena Jepang atau Dai Nippon Teikokulah yang kini berkuasa, termasuk atas Papua. Di akhir, Soekarno sependapat dengan Yamin bahwa Papua harus menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Agoes Salim berkata meski tidak membaca Negarakertagama, namun ia membaca riwayat dimana sebagian besar wilayah Nieuw Guinea adalah daerah taklukkan Kerajaan Ternate sebelum ditaklukkan oleh Portugis dan Spanyol.
Sebenarnya masih banyak tanggapan atas tanggapan maupun pendapat dari para peserta lain, namun saat itu semuanya mengerucut pada tiga opsi: 1) Hindia Belanda dahulu, 2) Hindia Belanda dahulu, ditambah Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya, dan 3) Hindia Belanda dahulu ditambah Malaka minus Papua. Setelah dilakukan voting, dari total 66 suara, 39 suara memilih opsi 2, 19 suara memilih opsi 1, 6 suara memilih opsi 3, golput 1 suara, dan yang memilih lain-lain 2 suara.
Saat hal ini disampaikan di sekolah-sekolah, para murid pasti akan menerima mentah-mentah begitu saja. Tapi saat kesadaran kritis mulai terbentuk, maka kita semua akan bertanya-tanya, di manakah suara dari orang Papua itu sendiri yang wilayahnya diperdebatkan begitu alot?
Para peserta yang berdebat di sidang BPUPKI saat itu mungkin tidak akan mengira bahwa masuknya (integrasi) Papua ke wilayah NKRI akan berdampak panjang bagi rakyat Papua. Dampak tersebut akhirnya mengkristal menjadi konflik tak berkesudahan hingga hari ini. Sebenarnya perlawanan rakyat Papua sudah muncul jauh saat kolonial Belanda bercokol di tanah mereka. Pada 1828, Belanda memproklamirkan Papua sebagai tanah jajahan yang dibacakan oleh A.J. Van Delden, komisaris pemerintahan Belanda untuk tanah jajahan Papua:
“Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Netherland bagian daerah Nieuw Guinea dengan daerah pedalamannya dimulai dari garis Meridian 141 derajat sebelah timur Greenwich di pantai selatan terus ke arah Barat, Barat Daya dan Utara sampai ke semenanjung Goede Hoop di pantai utara, kecuali daerah Mansari, Karondefer, Ambarpura dan Amberoon yang dimiliki Sultan Tidore, dinyatakan milik Belanda”.
Anehnya, dalam negosisasi penguasaan wilayah Papua, Pemerintah Belanda membayar ganti rugi pada Sultan Tidore yang dianggapnya sebagai hak Tidore atas wilayah Papua. Orang Papua sendiri tak dilibatkan. Maka mulailah terjadi konflik antara rakyat Papua dan pihak Belanda sehingga menyulitkan Belanda membuka pos-pos pemerintahan di Papua. Tak berhenti di sana, konflik masih terus berlangsung hingga mengundang perhatian internasional.
Secara garis besar, Pigay (dalam Kossay, 2011), membagi konflik di Papua menjadi tiga bagian, yaitu konflik rakyat Papua dan Belanda pada 1828-1962, konflik Indonesia dan Belanda pada 1946-1962, dan konflik rakyat Papua dan Indonesia dari 1964-sekarang. Rentetan konflik ini masing-masing dipicu oleh dorongan dari masing-masing pihak yang terlibat, yaitu nasionalisme Indonesia, nasionalisme Papua, dan imperialisme Belanda.
Nasionalisme Indonesia yang menginginkan wilayah Papua masuk ke dalam bagian NKRI mencapai puncaknya saat Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961. Bagi Victor Yeimo dan rakyat Papua Barat, peristiwa ini dipandang sebagai awal mula aneksasi Indonesia atas Papua Barat. Kata ‘aneksasi’ mungkin akan terdengar aneh bagi rakyat non-Papua Barat yang sebagian besar menerima secara taken for granted nasionalisme Indonesia. Tapi sebenarnya tak seaneh itu juga.
Kenyataannya, nasionalisme Indonesia memang tak mengakar pada rakyat Papua Barat. Tidak adanya sejarah bersama, pengalaman bersama, atau interaksi dengan para elit Hindia Belanda menjelaskan mengapa rakyat Papua Barat tak terikat dengan gerakan nasionalisme Indonesia pada 1920-1930an (Bertrand, 2012). Justru, kesadaran nasionalisme Papua Barat mulai tercipta sedikit demi sedikit oleh sekelompok elit kecil –sebagaimana terjadi di tempat-tempat lain-- yang kemudian menyebar melalui mobilisasi dan sosialisasi.
Kelompok elit yang terdidik ini adalah hasil dari persiapan Belanda menjelang janji kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat. Jika kita lihat di mana-mana, ‘politik balas budi’ seperti diterapkan Belanda ini adalah fenomena dekolonisasi pasca-Perang Dunia 2. Untuk menyongsong perubahan dunia, pihak kolonial harus menciptakan berbagai perangkat dan infrastruktur pada wilayah jajahannya. Rakyat Papua Barat menerima hasil dekolonisasi ini dalam pembentukan partai politik, organisasi buruh, Undang-Undang Pemilihan Umum, dan pendirian New Guinea Council serta beberapa langkah lainnya. Antusiasme rakyat Papua Barat demi lahirnya negara yang bebas dari kekuatan asing mulai tumbuh dalam periode tersebut.
Dalam periode tersebutlah rakyat Papua Barat mulai berupaya menciptakan pengalaman dan sejarah bersama untuk membentuk ikatan menjadi sebuah bangsa. Langkah ini dimulai pada 19 Oktober 1961 ketika New Guinea Council bersama pemimpin-pemimpin lokal bertemu dalam Kongres Masyarakat Papua pertama. Sebulan kemudian, tepatnya 1 Desember 1961, bendera Bintang Kejora berkibar menandakan Papua Barat telah merdeka. Naas, Trikora mematahkan semua impian rakyat Papua Barat. Apa sebenarnya yang mendasari Indonesia menyerang Papua Barat?
Kita bisa meringkasnya dengan empat kata: Dari Sabang Sampai Merauke. Inilah proyek kesatuan yang diusung Indonesia saat itu –dan hingga sekarang.
Jika kita baca lagi sekilas perdebatan pada sidang BPUPKI di atas, alas yang mendasari masuknya wilayah-wilayah menjadi bagian dari Republik Indonesia yang baru berdiri saat itu adalah wilayah-wilayah taklukkan Hindia Belanda. Maka tak heran saat Hatta melancarkan argumen ofensif, Soekarno mengatakan RI bukanlah warisan Belanda. Jauh sebelum Belanda datang, menurutnya, sudah ada wilayah taklukkan Majapahit yang –saya pun heran—sama seperti wilayah Hindia Belanda. Oleh karenanya, Jacques Bertrand menyatakan sebenarnya tak ada landasan budaya obyektif yang melatari bentuk nasionalisme (Bertrand, 2012:238).
Pendapat Bertrand ini berbeda dari Ernest Renan yang dikutip Soekarno, yakni keberadaan suatu bangsa hanya mungkin terjadi apabila rakyat memiliki suatu nyawa; suatu asas. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, Soekarno menulis dalam Di Bawah Bendera Revolusi bahwa bangsa lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar namun luhur, yakni nasionalisme yang mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia dan mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok.
Pendapat kaum nasionalis saat itu memang sejalan dengan Renan mengenai bangsa yang terdiri dari dua faktor, yaitu “One is the possession in common of a rich legacy of memories; the other is present day consent, the desire to live together [..] A heroic past, great men, glory, this is the social capital upon which one bases a national idea”. Masalahnya, kembali lagi, a heroic past yang diusung Indonesia –dalam hal ini narasi sejarah Jawa-- tak sama seperti yang dirasakan rakyat Papua.
Nasonalisme sebagai sebuah konsep politik yang bertujuan membentuk sebuah entitas politik baru dengan memisahkan diri dari entitas politik lama sebenarnya adalah counter-ideology dari kolonialisme. Akan tetapi dalam perjalanannya dalam membentuk nation building setelah kolonialis bubar, konsep ini akan berbenturan atau setidaknya menghadapi reaksi dari entitas politik lama yang dirugikan. Inilah yang terjadi hingga saat ini di Papua Barat. Menurut Paskalis Kossay (2011:98), perlawanan rakyat Papua Barat, setidaknya memiliki 6 hal yang menjadi landasan, yaitu:
1) Penentuan batas wilayah Republik Indonesia dalam sidang BPUPKI mengenai Papua, 2) Maklumat Trikora 19 Desember 1961 dinilai sebagai aneksasi atas kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961, 3) Pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan New York Agreement, 4) Tindak kekerasan terhadap rakyat Papua Barat yang berlangsung massif, 5) Tingkat kesejahteraan yang tak kunjung membaik, dan 6) Sumber daya alam yang dikeruk habis.
Mengenai poin ke-3 di atas, yakni pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis memang menjadi isu sentral dan hari ini makin menguat. Belanda dalam New York Agreement mengalihkan Papua Barat kepada pemerintahan sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962 dan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Dalam perjanjian itu, PEPERA akan diselenggarakan sebelum 1969 dengan terlebih dahulu bermusyawarah dengan rakyat Papua Barat.
Hal ini tak diindahkan oleh Indonesia. Kita dapat membaca beberapa laporan terkait pelanggaran HAM sebelum dan makin menguat setelah PEPERA. Pada 1963, setelah Indonesia memasuki Papua Barat, militer Indonesia melarang partai-partai dan kegiatan-kegiatan politik. Militer meningkatkan intimidasi-intimidasi menuju PEPERA, para pengamat dari PBB juga dibatasi ruang geraknya, dan semua aktivis berbau oposisi ditahan. Semua ini akan mengalami pengulangan pada integrasi Timor-Timur tahun 1975.
Betapapun PBB menerima hasil PEPERA yang ternyata tidak one man one vote seperti dijanjikan pada New York Agreement, namun bagi sebagian besar rakyat Papua Barat PEPERA itu sangat tidak demokratis. Saya mengutip pendapat salah satu narasumber dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia hal. 240:
“Orang-orang Papua dipaksa [untuk menerima hasil]… dipaksa! [Sebab saat itu, rezim] sangat otoriter. Selain itu, orang-orang Papua dianggap primitif dan sangat tidak mungkin untuk bisa memberikan suara dalam Tindakan Pemilihan Bebas dengan sistem satu orang satu suara. Tetapi semua ini keliru!”
Jika kita bisa membayangkan bagaimana situasi saat itu dimana intimidasi menjelang PEPERA makin meningkat dan perwakilan rakyat Papua Barat dalam PEPERA juga pasti mengalami intimidasi, maka kita juga pasti akan memahami kekesalan yang memuncak. Kekesalan yang tak bisa didiamkan lagi ini akhirnya mengambil bentuknya melalui jalan perlawanan bersenjata. Kelompok-kelompok kecil perlawanan bersenjata ini kemudian dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kita akan menyaksikan jalannya sejarah yang berdarah-darah setelah perlawanan ini muncul. Salah satu laporan berjudul The Neglected Genocide: Human Right Abuses Against Papua in The Central Highlands, 1977-1978 yang dipublikasi oleh Asian Human Rights Commission dan The International Coalition of Papua melaporkan bahwa jumlah korban tewas dalam kurun waktu 1977-1978 dalam 15 distrik berjumlah 4.146 orang. Laporan tersebut mengkategorikan tindakan militer Indonesia sebagai genosida karena unsur-unsur genosida telah terpenuhi.
Tak hanya dari sisi militer, ‘smooth genocide’ dilakukan melalui program transmigrasi. Pada 1977, Papua Barat (Irian Jaya pada saat itu) menjadi daerah tujuan prioritas transimgrasi. Jumlah transmigran antara 1979-1989 berkisar dari 70.000 sampai 150.000. Saat itu pemerintah menargetkan jumlah 1,7 juta jiwa yang otomatis menempatkan rakyat Papua Barat menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Program transmigrasi yang masih dijalankan sampai saat ini bertujuan satu: asimilasi atau --dalam bahasa Victor-- Indonesianisasi.
Dalam tulisannya ini, Victor menulis "Praktek ini [Indonesianisasi] dijalankan dengan pendapat bahwa orang Papua masih terbelakang dan tuntutan kemerdekaan yang muncul semata-mata karena ketidakpahaman mengenai ke-Indonesia-an itu sendiri. Praktek Indonesianisasi ini, misalkan, dijalankan melalui pendidikan sosial budaya baik melalui sekolah maupun institusi terkait lain."
Dalam secuplik adegan dalam film dokumenter Al Jazeera yang menjadi pembuka tulisan ini kita akan menyaksikan Reverend Sokratez Yoman, seorang aktivis HAM mengatakan pemilik toko-toko besar yang tersebar di berbagai tempat Papua Barat saat ini bukanlah rakyat Papua Barat. Ia berkata:
“Itu migran. Itu Indonesia, bukan Papua.”
Begitulah fakta yang terjadi di Papua Barat. Dalam sejarahnya, rakyat Papua Barat terus mengalirkan darah dan luka. Dalam ekonomi, mereka hanya menjadi penonton. Dan dalam kedaulatan, mereka tak punya. Jadi, jika di antara kita masih ada yang mengatakan Papua Barat tak boleh menentukan nasibnya sendiri karena nanti akan dijajah pihak asing, maka izinkan saya menunjuk hidungnya dan berkata: “Betul, mereka tak ingin dijajah siapapun, termasuk Indonesia”.
Jika nasib rakyat Papua Barat tak kunjung membaik dan tak pernah bisa berdaulat, maka pemerintah Indonesia saya rasa perlu mempertimbangkan untuk merevisi Pembukaan Undang-Undang Dasarnya:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, kecuali Papua Barat."
REFERENSI TERKAIT
Bertrand, Jacques, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, Penerbit Ombak, Jakarta, 2012.
Kossay, Paskalis, Konflik Papua: Akar Masalah dan Solusi, Tollelegi, Jakarta, 2011.