Terlahir sebagai seorang Kristen merupakan anugerah yang sangat luar biasa dalam hidupku. Dikelilingi keluarga yang sama-sama menganut Kristen menjadikanku tumbuh sebagai anak yang terus diajar dengan ajaran kasih sebagai filsafat tertinggi dalam ajaran Kristen. Aku, abang, kakak, adik, dan kedua orangtuaku adalah keluarga kecil yang sungguh sempurna.

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun kami lewati bersama. Tak ada sesuatu hal yang kami gelisahkan. Yang pasti, kami merasa bahagia. Sampai terjadi suatu peristiwa yang membuatku terpukul. Ketika aku berusia 4 tahun, aku kehilangan ayah. Ia akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah setahun berjuang menghadapi tumor ganas yang menyerang lehernya.

Aku masih ingat, saat proses persemayaman, aku mengamati ayah yang terbujur kaku di ruang tamu rumah. Aku ingat para pelayat mengenakan baju hitam-hitam dan beberapa dari mereka tampak meneteskan air mata. Aku yang masih balita tak mengerti makna dari peristiwa yang terjadi di rumah itu. Justru aku sibuk menari, menyanyi, dan meminta uang pada orang-orang yang hadir di acara persemayaman ayah.

Ketika beranjak dewasa, aku kemudian menggali informasi peristiwa kematian ayah dari ibuku. Ibu menuturkan kesedihan peristiwa yang terjadi pada tahun 2000 tersebut.  Aku meneteskan air mata ketika mendengarnya. Haru-biru perjuangan ayah, ditambah kondisi ibu yang lintang pukang mencarikan dana pengobatan, kian menambah pilu hatiku.

Saat itu aku masih terlalu muda untuk merasakan kepedihan yang ditanggung ibu beserta keluarga dan kerabat dekat. Mampukah aku menanggung beban ini selanjutnya?

Singkat cerita, ibu membesarkan kami seorang diri. Istilah yang sering kita dengar adalah single parent. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi ibu membesarkan anak-anaknya seorang diri, sebelum akhirnya ia memutuskan menikah lagi.

Banyak liku-liku yang dihadapi ibu untuk mencukupi kebutuhan kami. Mulai dari menjual  bensin kesana kemari, menjual makanan kesana kemari, hingga menjadi kuli di kebun-kebun orang. Memang kalau pepatah demikian sangat benar, kasih ibu sepanjang jalan. Tak akan dibiarkan anaknya melarat.

Baiklah pembaca, di sini saya bukan hendak menceritakan bagaimana kegigihan ibu dalam mencari nafkah. Justru, aku ingin berbagi pengalaman hidup kami yang pada akhirnya berubah 180 derajat pasca ibu menikah lagi.

Demikian kisahnya.

***

Setelah ibu memutuskan menikah lagi pada 2007, saat itu aku berusia 11 tahun. Aku merasakan perlahan ibu mulai berubah. Ibu yang biasanya selalu taat bergereja dan tak lupa mengingatkan aku dan adik-adik untuk selalu beribadah kepada Tuhan di hari Minggu, kini tak pernah melakukannya lagi.

Ibu kerap berujar, “Sudah, tak perlu ke gereja lagi”. Ketika kami bertanya alasan ibu menyuruh kami tidak bergereja, jawaban yang kami dapat tidak pernah memuaskan.  

Bukan hanya sekali dua kali kami disuruh untuk tidak bergereja. Seingatku, sekitar 4-5 kali kami tidak bergereja karena dilarang ibu. Paman kami yang tinggal berdekatan dengan kami kebetulan adalah sesama orang Kristen; ia merasa curiga melihat aku dan adikku yang biasanya rajin ke gereja kini tidak pernah lagi pergi beribadah.

Ia kemudian bertanya kepada ku dan adik-adikku; mengapa kami tidak pernah ke gereja lagi. Dengan polosnya kami menjawab persis seperti yang dikatakan Ibu saat pertama kali malarang kami pergi ke gereja. Paman naik pitam mendengarnya, tanpa menunda-nunda ia mendatangi dan memarahi Ibu yang sedang berjualan ketika itu. Ia meluapkan kemarahannya dengan tidak terkontrol.

Ibu yang tidak mau memperuncing masalah memilih tidak menanggapi ocehan paman. Hari terus berganti, situasi semakin pelik. Bagai peribahasa yang mengatakan; sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh jua.

Melihat ada ketidakberesan dengan keluarga kami, Paman berkonsultasi dengan ompung boru (panggilan untuk nenek dalam bahasa Batak) untuk mencari tahu mengapa ibu sudah tidak pernah lagi bergereja dan melakukan pertamiangan (dalam bahasa Indonesia artinya perkumpulan gereja).

Setelah menelusuri lebih jauh, keluarga kami (paman, tetangga, ompung, aku, adik, abang, kakak) sangat terkejut, karena terungkap ketika menikah yang kedua kalinya dengan marga Siregar, ibu telah berpindah ke agama Islam. Bagai tersambar petir di siang bolong, sontak saja keluarga besar kami marah, terlebih ompung boru.

Seperti adegan-adegan dalam sinetron, ompung pun mengusir ibu dan suaminya dari rumah. Memang dari awal Ompung tidak merestui pernikahan antara ibu dengan marga Siregar tadi. Kira-kira sekitar 3 bulan Ibu tinggal di rumah ayah keduaku ini, ia belum berani kembali ke rumah ompung karena masih takut.

Hingga kemudian ayah tiriku mendesak Ibu datang kembali ke rumah ompung untuk meminta restu. Entah ayahku memang berani atau hanya mencoba-coba peruntungan, ia bersama Ibu datang ke tempat ompung dan “merayu”ompung untuk memberikan restu bagi hubungan mereka.

Singkat cerita, lima kali ayah tiriku datang ke rumah ompung guna meyakinkan ompung bahwa ia sangat mencintai ibuku. Akhirnya upayanya berhasil. Ompung dengan nada tinggi, maklum orang Batak, menasihati mereka. Panjang lebar nasihat itu hingga ayah tiri dan ibuku tak lagi bisa berkata-kata, hanya tertunduk lesu mendengarkan ocehan ompung.

Restu itu merupakan sinyal yang sangat berharga bagi kedua orang tuaku. Dengan restu dari ompung, maka pepatah surga ada di telapak kaki ibu berlaku. Memastikan hubungan mereka tidak menjadi kutuk.

Perlahan tapi pasti, orang tuaku mengarungi bahtera rumah tangga. Hari terus berganti, kami berdua, aku dan adikku, dibesarkan dalam keluarga campuran, ada Kristen dan ada Islam. Pasalnya, ayahku juga membawa kelima anaknya tinggal bersama dengan kami. Mereka berlima Muslim dan kami berdua Kristiani.

Dari sini pembaca mungkin sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupan keluarga kami. Jelas saja, di awal-awal kebersamaan, aku dan adikku masih agak canggung berkomunikasi dengan saudara-saudara tiri. Untuk bertegur sapa saja bisa dihitung jari. Apalagi untuk bercengkrama atau bermain bersama, terbilang minim.

Sesuatu yang wajar dalam sebuah komunikasi bila individu yang berbeda dan belum saling kenal, memilih urung melakukan komunikasi karena masih ada rasa segan. Sikap saling canggung kami terbilang awet. Butuh beberapa minggu hingga kami betul-betul cair dalam berkomunikasi.

Sungguh aneh. Saudara-saudara tiriku salat lima waktu, sementara aku dan adikku baru melakukannya di hari Minggu.

Kami betul-betul merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam keluarga baru kami. Untungnya, berkat peran kedua orang tuaku dalam mencairkan suasana, kami pun mulai lancar berkomunikasi. Uniknya, cara orang tuaku adalah dengan mengajak kami makan bakso beramai-ramai. Sejak saat itu kami semakin dekat.

Pembaca yang budiman, cerita belum berakhir di sini. Setelah komunikasi internal keluarga kami sudah mulai mencair, tantangan selanjutnya ialah tetangga-tetangga yang menggunjingkan keluarga kami. Melihat keluarga kami yang menganut agama berbeda dalam satu rumah, orang-orang di sekitar kami mulai mencemooh keluarga baru kami.

Keperihan dan siksaan batin yang kami terima terus berlanjut sampai sekarang. Kalau istilah kerennya sering disebut bullying. Teman-teman sekolah juga sering melakukannya. Mereka berkomentar, “Ekh, kok bisa ya keluarga mereka begitu, begini, dan begono.....”. Bahkan yang lebih miris lagi adalah ketika guru saya yang seharusnya menjadi penyejuk situasi, justru melakukan hal yang sama. Tak usah lah saya sebutkan siapa beliau, cukup hati dan otak ini yang merekamnya baik-baik.

Perlu pembaca ketahui, terlahir sebagai seorang Kristen, namun tumbuh besar dalam lingkungan penganut agama yang berbeda merupakan hal yang sangat berat bagi saya. Bayangkan bila anda Muslim tetapi mempunyai saudara kandung yang berbeda agama dengan anda. Pun sebaliknya, bayangkan jika misalnya anda sejak kecil menganut agama Hindu, Buddha, atau Kristen, namun kemudian dihadapkan pada situasi seperti yang saya alami di atas. Bukan hanya beban hidup anda bertambah, tapi beban moril, psikis, dan batin juga bertambah.

Meskipun demikian, kondisi ini justru memacu ku menjadi pribadi bermental kuat. Apapun pergunjingan yang datang dari sana sini, aku lebih sering menganggapnya sebagai pujian. Bahkan bisa dikatakan aku sudah kebal dengan keadaan demikian.

Salah satu rahasia ampuh dalam menghadapi situasi demikian ialah dengan mendoakan orang yang menghinamu dan lebih memilih untuk tidak memedulikannya.

Aku berkata dalam hati, “Toh, mulut-mulut mereka itu nantinya akan diam juga.” Bahkan ibu dulu pernah mengatakan, “Sudah, jangan diladeni yang seperti itu, toh yang jalani kehidupan ini adalah kita. Selama kita gak ganggu mereka, ya biarin aja, tak perlu ditanggapi. Lebih baik kita mendoakan mereka”. Prinsip Lakum Diinukum wa Liya Diin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) sepertinya menjadi prinsip demoktratis yang keluarga kami terapkan.

Keluarga kami terus meniti kehidupan dari awal lagi. Perlahan tapi pasti kehidupan keluarga kami bisa dikatakan agak harmonis. Meskipun belum padu, setidaknya kami

masih memiliki sikap toleransi satu sama lain. Bila sudah menunjukkan waktu salat, biasanya aku yang mengingatkan mereka untuk salat. Demikian juga, bila hari Minggu tiba, ibu dan ayah mengingatkan aku untuk bergereja.

Selang beberapa tahun kemudian konflik baru muncul. Kali ini bukan kedua orang tuaku yang terlibat cekcok atau apa, namun kakak perempuan kandungku (anak kedua) yang membuat masalah. Entah ada angin apa, kakakku yang ketika itu baru duduk di bangku kelas 2 SMA memutuskan menikah.

Menikah di usia muda tentu sah-sah saja. Namun, hal yang membuat ibuku kurang setuju ialah ketika kakak memutuskan untuk pindah agama. Ibu khawatir akan terjadi lagi konflik dalam keluarga besar kami. Kakak menikah dengan seorang Jawa yang kemudian membawanya menganut Islam. Kejadian ini benar-benar membuat keluarga besar kami kembali berkonflik. Bahkan tulang (panggilan untuk paman dalam bahasa Batak) sempat tidak mengizinkan pernikahan mereka.

Tulang yang dalam adat Batak sangat dijunjung tinggi (istilah Batak-nya disebut hula-hula) bersikeras untuk kembali menarik kakakku masuk Kristen. Namun, karena ikatan batin yang begitu melekat antara anak dan ibu, ibuku akhirnya membujuk tulang untuk mengizinkan kakak menikah dan pindah agama. Beberapa kali usaha yang dilakukan ibu hingga akhirnya tulang beserta keluarga besar Kristen memberi restu kepada kakak dan ipar ku.

Pembaca yang budiman, anda pasti sudah bisa menebak apa yang terjadi setelahnya; pergunjingan dan penghinaan pun menghebat. Situasi kakak yang menikah muda diperparah dengan beralihnya agama kakak menjadi Islam. Keluarga kami menjadi bahan olok-olokan semua orang. Pada berbagai perbincangan di gereja, di tempat main, dan di lingkungan tetangga; tak pernah lepas kami dari pertanyaan, “Kok bisa kakakmu pindah agama dan nikah muda, Jar?.”  Kata-kata itu tidak hanya membuatku sedih, tapi juga membuat luka yang terus membekas hingga akhir hayat.

Itu ibarat sebuah paku yang ditancapkan. Memang kita bisa mencabutnya. Tapi pastilah meninggalkan bekas. Meskipun begitu, saya selalu ingat pesan ibu untuk tidak menanggapi dan selalu memaafkan mereka yang menghina kami.

Sepuluh tahun berlalu, di tahun 2017 ini lika-liku dalam kehidupan keluarga kami tidak lagi berbicara soal agamamu dan agamaku. Kini kami terus diproses menjadi pribadi-pribadi yang semakin toleran satu sama lain.

Kuncinya memang pada kesadaran internal, baru selanjutnya kita bergerak ke kesadaran eksternal. Apapun ocehan dan hinaan yang dilayangkan kepada kami, satu hal yang kami pahami bahwa bukan mereka yang memberi kami makan. Dan kami tidak akan mati hanya karena umpatan-umpatan mereka.

Begitulah kondisi dan pengalaman hidup kami dalam keluarga yang plural, pembaca yang budiman. Mulai dari rasa pedih, kebersamaan, dan kesenangan telah kami lalui bersama. Hendaknya kita bisa mendapat pesan moral yang berharga dari kisah nyata yang saya alami.

Hidup dalam perbedaan akan mengajarkanmu tentang makna kehidupan. Hidup dalam perbedaan akan mengajarkanmu sikap toleransi. Hidup dalam perbedaan niscaya menguatkanmu menjadi pribadi yang semakin dewasa dan selalu bersandar pada Tuhan.

Mari selalu kita junjung sikap toleransi.

Kisah ini merupakan kisah yang betul-betul nyata yang dialami penulis, bukan fiktif.